Kisah Pieter Sambo yang Batal Jadi Kapolri di Zaman Soeharto, Penyebabnya Diungkap LB Moerdani
Kisah Pieter Sambo yang Batal Jadi Kapolri di Zaman Soeharto Soeharto, Penyebabnya Diungkap LB Moerdani
Kala itu saya masih kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin ( Unhas ) Makassar.
Saya belum Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Sebagai mahasiswa semester akhir, rasa ingin tahu tentang kondisi negara mulai membuncah.
Saya juga termasuk orang yang mengagumi sosok bernampilan rapi, necis, dan pembawaan tenang.
Sosok itu saya temukan pada Mayor Jenderal (Pol) Pieter Sambo.
Itulah juga kenapa saya memilih profesi jadi pramugara dan advokat setelah meraih gelar sarjana.
Saya masih ingat penampilannya.
Baju dan celanannya selalu licin tersetrika.
Dari jarak 10 meter, sepatu sol tinggi mengkilap, berbalut rim atau kepala sleve yang juga selalu di-brazzo.
Belakangan aku tahu, kenapa dia selalu memilih sepatu kulit bersol tinggi, sebab potongan dan postur tubuhnya sangat pas-pasan untuk ukuran militer polisi era Orde Baru.
Tidak tinggi, gempal berotot, berkulit bersih, pokoknya necis.
Sekali-kali kedua tangannya dimasukkan dalam saku celananya, dengan senyum khas lalu kepala menggangguk itu ciri khas yang selalu saya kenang dari Om Piet.
“Rapi itu adalah kesan pertama sekaligus karakter,” katanya suatu waktu.
Perkenalan saya dengan Pieter Sambo boleh disebut tanpa sengaja.
Saat itu, dia tengah merintis upaya mengubah apotik yang dikelola istrinya, menjadi klinik kesehatan ibu dan anak di Makassar.