Kepolisian
Mengenal Apa Itu Obstricution Justice dan Justice Collaborator yang Muncul dalam Kasus Brigadir J
obstruction of justice adalah segala tindakan mengancam (lewat kekuasaan, komunikasi) memengaruhi, menghalangi, menghambat
Penulis: Iwan Satriawan CC | Editor: Iwan Satriawan
BANGKAPOS.COM-Dua istilah dalam dunia hukum yaitu obstricution justice dan Justice Collaborator muncul dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
Kasus ini sendiri menjadi sorotan banyak pihak lantaran melibatkan seorang jenderal bintang dua di kepolisian.
Pada, Selasa (9/8/2022) malam WIB, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) nonaktif Ferdy Sambo sebagai tersangka baru kasus pembunuhan Brigadir J.
Ferdy Sambo yang akhirnya dicopot dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri itu menjadi aktor utama dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Sambo, kata Kapolri, berupaya merekayasa kasus agar seolah-olah Brigadir J tewas akibat aksi tembak-menembak dengan tersangka pertama, Bhayangkara Dua Richard Elizier Pudihang Lumlu alias Bharada E.
Singkatnya, Ferdy Sambo berupaya mengaburkan fakta-fakta kasus pembunuhan ini kepada para penyidik.
Dalam istilah hukum, aksi Sambo ini dikenal dengan obstruction of justice.
Lalu, apa itu obstruction of justice?
Arti Istilah Obstruction of Justice
Melansir Cornell Law School, obstruction of justice adalah segala tindakan mengancam (lewat kekuasaan, komunikasi) memengaruhi, menghalangi, menghambat sebuah proses hukum administratif.
Singkatnya, obstruction of justice adalah segala bentuk intervensi atau menghalangi sebuah proses hukum.
Obstruction of justice juga termuat dalam Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), serta Pasal 221 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 21 UU Tipikor:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Pasal 221 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
(2) Barangsiapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Aturan di atas tidak berlalu bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.
Justice Collaborator
Istilah Justice Collaborator belakangan ramai diperbincangkan di media sosial.
Justice collabolator muncul usai kasus tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J dan penetapan Bharada E sebagai tersangka.
Dalam kasus tersebut kuasa hukum Bharada E, Deolipa Yumara menyatakan Bharada E bakal menjadi justice collabolator.
Hal ini karena Deolipa menganggap kliennya tersebut bisa menjadi saksi kunci mengungkap kasus kematian Brigadir J.
Dengan menjadi Justice Collaborator Bharada E diketahui bisa mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK hanya bisa memberikan perlindungan kepada seseorang berstatus saksi, korban, dan saksi korban kasus pidana.
Lantas apa sebenarnya Justice Collaborator dan bagaimana perannya?
Justice Collaborator (JC) adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum.
Melansir lk2fhui.law.ui.ac.id, selanjutnya JC tersebut akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus, dan sebagainya.
Keberadaan Justice Collaborator juga didukung dengan Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, Whistle Blower, dan Justice Collaborator.
Hampir sama dengan ketetapan dalam pasal 37 UNCAC 2003, yaitu pasal 26 United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime 2000 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009.
Kriteria untuk menjadi JC tercantum dalam SEMA No. 4 tahun 2011 pada Angka (9a) dan (b) dan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM, yaitu digunakan dalam mengungkap tindak pidana yang luar biasa/terorganisir.
JC bukanlah pelaku utama, keterangan yang diberikan pelaku harus signifikan, relevan, dan andal.
Pelaku mengakui tindakan yang dilakukannya disertai kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dengan pernyataan tertulis, mau bekerja sama dan kooperatif dengan penegak hukum.
Peran Justice Collaborator
Sementara itu Kriminolog, Ahmad Sofian mengatakan justice collaborator adalah saksi kunci untuk menguak tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum.
"Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan penegak hukum," tulis Ahmad Sofian dalam laman resmi Business Law Universitas Bina Nusantara.
Dalam ketentuannya, justice collaborator bisa disandang oleh saksi sekaligus tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan.
Selanjutnya dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat (AS) sekitar tahun 1970-an.
Ini merupakan salah satu norma hukum di AS saat itu dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut.
Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum.
Ahmad menjelaskan, ada sejumlah peran yang dimiliki oleh justice collaborator, antara lain:
1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara;
2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Adapun justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
(*/kompas.tv/Vigestha Repit)