Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak Bertambah, BPOM Didesak Beri Label Etilon Glikol

Jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak yang dilaporkan hingga 18 Oktober 2022 sebanyak 206 dari 20 provinsi di Indonesia.

Editor: fitriadi
Darwinsyah/BangkaPos
Ilustrasi ginjal. Jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak yang dilaporkan hingga 18 Oktober 2022 sebanyak 206 dari 20 provinsi di Indonesia. 

BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Temuan kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia terus bertambah.

Data yang diperoleh Kementerian Kesehatan, jumlah kasus yang dilaporkan hingga 18 Oktober 2022 sebanyak 206 dari 20 provinsi di Indonesia.

Dari total kasus gagal ginjal akut tersebut, angka kematian sebanyak 99 anak, dimana angka kematian pasien yang dirawat di RSCM mencapai 65 persen.

Untuk temuan kasus gagal ginjal akut di Indonesia, Kemenkes dan BPOM masih melakukan penelitian.

Hingga kemarin belum disebutkan apa penyebab banyaknya kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia.

Kasus serupa ditemukan di negara Gambia, Afrika Barat.

WHO mengungkap sejumlah anak yang mengalami gagal ginjal akut di Gambia karena mengonsumsi obat sirup mengandung zat etilen glikol (EG).

Sementara itu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI dalam rilisnya menyatakan obat sirup yang beredar di Indonesia tidak menggunakan etilon glikol.

Hanya saja etilon glikol kemungkinan bisa dipakai pada kemasan produk makanan dan minuman berbahan plastik.

Guna mengantisipasi masyarakat mengkonsumsi kemasan-kemasan pangan, obat dan minuman yang mengandung etilen glikol, BPOM didesak memberikan pelabelan pada produk.

“Saya kira kalau memang sudah positif WHO mengatakan yang di Afrika itu bahwa sirup obat batuk itu mengandung etilen glikol dan itu mengakibatkan banyak anak di Afrika meninggal karena gagal ginjal, itu kan sebuah data yang dikeluarkan oleh badan dunia tentang kesehatan,” ujar Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait dalam pernyataannya yang diterima Tribunnews.com, Rabu(19/10/2022).

Karenanya, lanjut Arist, meski di Indonesia belum ditemukan obat jenis sirup seperti yang digunakan di Afrika, namun etilen glikol juga banyak digunakan untuk kemasan pangan, salah satunya adalah produk air minum dalam kemasan(AMDK).

“Karena itu, saya kira Badan POM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung etilen glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” katanya.

Menurutnya, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM supaya jauh-jauh sebelumnya bisa diantisipasi supaya masyarakat memahami betul bahaya etilen glikol itu.  

“Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung etilen glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” tukasnya.

Arist menegaskan Komnas PA sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya etilen glikol yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal.

Dia mengatakan Komnas PA sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita gagal ginjal.

Berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Arist mengungkapkan ada sekitar 152 anak yang dinyatakan positif gagal ginjal.

Sementara, IDAI Jawa Timur dan Malang melaporkan dari 13 anak gagal ginjal, 10 di antaranya yang berada di Surabaya meninggal dunia. Di Malang dari 6 anak yang ditemukan gagal ginjal 2 meninggal dunia.

Di Jogja, ada 5 anak yang berumur di bawah 5 tahun meninggal dunia. Di Rumah Sakit Adam Malik Sumatera, dari 11 anak gagal ginjal 6 diantaranya meninggal dunia.

“Ini masih dicari penyebabnya. Kalau memang itu nanti ada dampak dari etilen glikol, saya kira ini harus menjadi perhatian IDAI untuk merekomendasikan kepada Badan POM sebagai pemegang regulasi untuk mengadakan penelitian terhadap kemasan air galon sekali pakai yang mengandung etilen glikol,” ujarnya.

Komnas Perlindungan Anak melihat banyaknya produk plastik atau galon sekali pakai yang dikonsumsikan oleh anak-anak, baik bayi dan balita.

"Misalnya airnya kan nah itu kan bermigrasi itu artinya kan berpindah dan bisa menjadi bahaya kesehatan itu saya kira sikap Komnas perlindungan anak. Kami juga akan terus mengkampanyekan bahaya etilen glikol ini ke masyarakat. Semua produk yang digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk plastik termasuk galon sekali pakai itu harus ada peringatan bahwa kemasan itu mengandung etilen glikol pada labelnya,” katanya.

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Nabil Haroen juga meminta BPOM harus bekerja cepat untuk meneliti ulang kandungan etilen glikol pada bahan kemasan pangan, seperti plastik kemasan air galon yang berbahan PET serta produk lainnya. Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya keracunan etilen glikol pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, Afrika  Barat.  

“Ini (bahan kimia etilen glikol) sangat berbahaya. Jadi, perlu ada tindakan serius dan cepat dari BPOM terkait zat kimia berbahaya ini.  Jangan sampai kasus yang terjadi di Gambia-Afrika terjadi di Indonesia, di mana anak-anak meninggal dan keracunan akibat konsumsi bahan makanan yang mengandung etilen glikol di atas ambang batas,” katanya.

Kemenkes Minta Stop Sementara Obat Sirup

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta seluruh apotek di Indonesia untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirup kepada masyarakat.

Untuk meningkatkan kewaspadaan dan dalam rangka pencegahan, Kemenkes sudah meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirup, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.

Langkah Kemenkes ini diambil mulai sekarang sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.

Saat ini Kemenkes dan BPOM masih terus menelusuri dan meneliti secara komprehensif termasuk kemungkinan faktor risiko lainnya.

Sejak akhir Agustus 2022, Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah menerima laporan peningkatan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Acute Kidney Injury (AKI) yang tajam pada anak, utamanya dibawah usia 5 tahun. Peningkatan kasus ini berbeda dengan yang sebelumnya, dan saat ini penyebabnya masih dalam penelusuran dan penelitian.

Jumlah kasus yang dilaporkan hingga 18 Oktober 2022 sebanyak 206 dari 20 provinsi dengan angka kematian sebanyak 99 anak, dimana angka kematian pasien yang dirawat di RSCM mencapai 65 persen.

“Dari hasil pemeriksaan, tidak ada bukti hubungan kejadian AKI dengan Vaksin COVID-19 maupun infeksi COVID-19. Karena gangguan AKI pada umumnya menyerang anak usia kurang dari 6 tahun, sementara program vaksinasi belum menyasar anak usia 1-5 tahun,” kata juru bicara Kemenkes dr Syahril dilansir Bangkapos.com dari laman resmi sehatnegeriku.kemkes.go.id.

Kemenkes bersama BPOM, Ahli Epidemiologi, IDAI, Farmakolog dan Puslabfor Polri melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut.

Dalam pemeriksaan yang dilakukan terhadap sisa sampel obat yang dikonsumsi oleh pasien, sementara ditemukan jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan AKI.

“Kemenkes mengimbau masyarakat untuk pengobatan anak, sementara waktu tidak mengkonsumsi obat dalam bentuk cair/sirup tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan,” tutur dr Syahril.

“Sebagai alternatif dapat menggunakan bentuk sediaan lain seperti tablet, kapsul, suppositoria (anal), atau lainnya,” katanya.

Perlunya kewaspadaan orang tua yang memiliki anak balita dengan gejala penurunan jumlah air seni dan frekuensi buang air kecil dengan atau tanpa demam, diare, batuk pilek, mual dan muntah untuk segera dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat.

Keluarga pasien diminta membawa atau menginformasikan obat yang dikonsumsi sebelumnya, dan menyampaikan riwayat penggunaan obat kepada tenaga kesehatan.

Sebagai langkah awal untuk menurunkan fatalitas AKI, Kemenkes melalui RSCM telah membeli antidotum yang didatangkan langsung dari luar negeri.

Kemenkes sudah menerbitkan Keputusan Dirjen Yankes tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis AKI pada anak yang ditujukan kepada seluruh dinas kesehatan dan fasyankes.

Kemenkes juga telah mengeluarkan surat edaran kewajiban penyelidikan epidemiologi dan pelaporan kasus AKI yang ditujukan kepada seluruh Dinas Kesehatan, Fasyankes, dan Organisasi Profesi.

Penjelasan BPOM RI

BPOM menerbitkan klarifikasi lanjutan, terkait ramainya isu soal dugaan obat sirup untuk anak yang berisiko mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), yang dikaitkan gangguan ginjal akut.

Keempat jenis yang ditarik di Gambia, saat ini tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia. Selain itu, produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd, India tidak ada yang terdaftar di BPOM.

Berdasarkan informasi dari WHO, keempat jenis obat yang diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, terdiri dari Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup.

BPOM melakukan pengawasan secara komprehensif pre- dan post-market terhadap produk obat yang beredar di Indonesia.

"Sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG," ungkapnya BPOM dikutip dari laman resmi, Rabu (19/10/2022).

Namun demikian EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan.

BPOM telah menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai standar internasional.

Lebih lanjut, kementerian Kesehatan telah menjelaskan bahwa penyebab terjadinya gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) belum diketahui.

Hingga kini masih memerlukan investigasi lebih lanjut bersama BPOM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan pihak terkait lainnya.

Selain itu BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industri farmasi untuk aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pasca penggunaan obat.

Selanjutnya, untuk produk yang melebih ambang batas aman akan segera diberikan sanksi administratif.

Wujudnya, berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan pembuatan obat, pembekuan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), pencabutan sertifikat CPOB, dan penghentian sementara kegiatan iklan, serta pembekuan Izin Edar dan/atau pencabutan Izin Edar.

Semua industri farmasi yang memiliki obat sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG, diminta untuk melaporkan hasil pengujian yang dilakukan secara mandiri sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha.

Industri farmasi juga dapat melakukan upaya lain seperti mengganti formula obat dan atau bahan baku jika diperlukan.

BPOM mengajak masyarakat untuk menggunakan obat secara aman dan selalu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, menggunakan obat secara sesuai dan tidak melebihi aturan pakai. Kedua, membaca dengan seksama peringatan dalam kemasan;

Ketiga, menghindari penggunaan sisa obat sirup yang sudah terbuka dan disimpan lama.

Keempat, melakukan konsultasi kepada dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya apabila gejala tidak berkurang setelah 3 (tiga) hari penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas pada upaya pengobatan sendiri (swamedikasi).

Kelima, melaporkan secara lengkap obat yang digunakan pada swamedikasi kepada tenaga kesehatan.

Keenam, melaporkan efek samping obat kepada tenaga kesehatan terdekat atau melalui aplikasi layanan BPOM Mobile dan e-MESO Mobile.

"BPOM juga mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan menggunakan produk obat yang terdaftar di BPOM yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kefarmasian. Atau sumber resmi serta selalu ingat Cek KLIK (cek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat," tutupnya.

(Tribunnews.com/Willy Widianto/Aisyah Nursyamsi/Bangkapos.com/Fitriadi)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved