Ibu-ibu Bingung Beri Anaknya Obat Apa, Pemerintah Datangkan Penawar Racun Seharga Rp 16 Juta/Vial

Ibu rumah tangga khawatir memberikan obat pada anaknnya setelah Kemenkes mengumumkan penghentian sementara peredaran dan konsumsi sirup obat.

Editor: fitriadi
TRIBUNKALTIM.CO/DWI ARDIANTO
Ilustrasi penggunaan obat sirup. Ibu rumah tangga khawatir memberikan obat pada anaknnya setelah Kemenkes mengumumkan penghentian sementara peredaran dan konsumsi sirup obat. 

BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Warga terutama ibu rumah tangga bingung mau memberikan obat apa untuk anaknya yang membutuhkan obat.

Mereka kesulitan dan khawatir setelah Kementerian Kesehatan mengumumkan penghentian sementara peredaran dan konsumsi sirup obat.

Penghentikan sementara sirup obat ini dilakukan sebagai upaya pemerintah mencegah meluasnya kasus gagal ginjal akut pada anak.

Untuk saat ini, ada lima merek sirup obat terdeteksi mengandung zat berbahaya melebihi ambang batas yang bisa memicu gagal ginjal akut pada anak.

Sejumlah sirup obat yang ditarik BPOM itu diduga mengandung cemaran etilen glikol yang diduga kuat pemicu gangguan ginjal akut atau gagal ginjal akut yang mematikan.

Obat-obatan dalam bentuk puyer seperti yang disarankan sering kali susah untuk dikonsumsi anak karena rasanya yang pahit.

"Susah, apalagi namanya anak kecil, pasti lebih mudah minum obat sirup. Apalagi obat sirup kan ada rasa-rasanya juga disukai anak-anak," kata Yunita (24), warga Sindangkasih, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (21/10/2022) dikutip dari TribunJabar.id.

Hal serupa diungkapkan Mona (39), warga Kecamatan/Kabupaten Majalengka.

Selain membuatnya bingung, penarikan obat-obatan dalam bentuk sirup ini juga membuatnya khawatir.

"Pusing jadinya," ujar Mona saat ditemui di salah satu apotek di wilayah Kelurahan Babakan Jawa, Majalengka, kemarin.

Baca juga: Penderitaan Bocah Penderita Gagal Ginjal Akut, Harus Cuci Darah Untuk Keluarkan Racun di RSCM

Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak Meningkat Pesat, Waspada Jika Anak Mengalami Gejala Seperti Ini

Kendati demikian, Mona mengaku tetap setuju dengan kebijakan pelarangan sementara peredaran obat sirup yang dicurigai menjadi pemicu penyakit misterius tersebut.

"Khawatirnya, saya kan sebagai masyarakat tidak paham ya namanya obat. Jadi harus memang mengikuti aturan pemerintah," ujarnya.

Selama ini, kata Mona, obat sirup kerap menjadi andalannya saat sang buah hati mulai merasakan demam atau flu di rumah. Anaknya kerap menolak jika tidak disodorkan obat selain sirup.

Selain Mona, kekhawatiran juga diungkapkan Caca (26).

"Jadi takut, khawatir beli obat sirup, gara-gara berita gagal ginjal," kata perempuan pedagang makanan di wilayah Kelurahan Majalengka Wetan ini.

Burhanudin (44), warga Cimahi, berharap pemerintah segera melakukan pengecekan pada semua jenis obat.

"Karena ini masalah kesehatan. Tentunya kami kalau membeli obat itu kan untuk kesembuhan atau kesehatan bukan justru menjadi parah," katanya saat ditemui di Jalan Aceh, Bandung, kemarin.

Senada dengan Burhanudin, Nurhalisyah (25) warga asal Kopo.

Ia mengaku menjadi lebih selektif ketika hendak membeli obat untuk anaknya yang masih balita pascaramainya kasus gagal ginjal akut pada anak ini.

"Ya sekarang mah ketika membeli obat itu bertanya-tanya dahulu ke apotekernya dan saya juga membaca komposisi obatnya," katanya.

Kemenkes Temukan Obat Sirup Dikunsumsi Penderita Gagal Ginjal Akut

Menyusul merebaknya gangguan ginjal akut misterius pada anak, puluhan merek obat kini tengah dalam penelitian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Puluhan merek obat itu diteliti karena sempat dikonsumsi pasien yang mengalami gangguan ginjal akut. Obat-obatan tersebut didapat dari rumah pasien.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya sudah mendatangi 156 rumah dari 241 pasien gangguan ginjal akut.

"Dari 156 itu kita sudah menemukan obat-obat yang ada di lemari keluarga ini yang jenisnya sirup," kata Budi dalam konferensi pers di kantor Kemenkes, Jakarta, Jumat (21/10).

Budi mengatakan, Kemenkes akan secepatnya mengumumkan jenis obat sirup yang aman untuk dikonsumsi masyarakat.

"Kami melapor (ke presiden) dan Pak Presiden bilang, 'Pak Menkes dibuka saja biar tenang masyarakat'. Dan kita (akan) lakukan transparansi ke publik," katanya.

Hal ini disebut juga sudah didiskusikan bersama Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), ahli farmakologi, hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"BPOM nanti akan lihat dari sekian ribu atau sekian puluh ribu ini obat-obatan sirup, mana yang tidak ada polietilen glikol-nya. Itu nanti akan dibuka. Jadi harapan weekend ini, ya," ujar Budi.

Pemerintah Akan Datangkan Obat Penawar Racun

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pemerintah bakal mendatangkan 200 vial obat Fomepizole (penawar racun) yang akan digunakan untuk menangani gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI

Budi Gunadi menuturkan, ratusan vial obat itu akan didatangkan dari Singapura dan Australia. Vial merupakan wadah dosis tunggal atau multi dosis suatu obat.

“Kita mau bawa 200 dulu karena satu vial bisa buat satu orang,” kata Budi i dalam konferensi pers di kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta Selatan, Jumat (21/10).

Budi Gunadi lantas mengaku telah menghubungi rekannya, Menteri Kesehatan Singapura dan Australia terkait pengiriman obat ini.

Obat tersebut nantinya akan disuntikkan beberapa kali ke pasien gangguan ginjal akut misterius. Namun, menurutnya, setiap pasien cukup menerima satu vial.

“Ada beberapa kali injeksi tapi bisa cukup satu vial,” ujar Budi.

Menurutnya, harga per vial Fomepizole saat ini adalah Rp 16 juta.

Untuk biaya, Budi Gunadi mengatakan, sementara ini akan ditanggung pemerintah. "Untuk sementara kita yang nanggung,” katanya.

Budi mengatakan, kasus gangguan ginjal akut misterius belum memenuhi syarat untuk ditetapkan menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). "Status KLB, kita sudah diskusi, belum masuk KLB," kata Budi.

Sebelumnya, Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, merekomendasikan agar gangguan ginjal akut ini segera ditetapkan sebagai KLB.

"Saya sampaikan bahwa ini sudah KLB gangguan gagal ginjal akut yang saat ini terjadi beberapa kota di wilayah Indonesia yang case fatality ratenya sudah cukup tinggi," ujar dia saat berbincang dengan Tribun.

Pada kesempatan yang berbeda, mantan petinggi WHO Prof Tjandra Yoga Aditama menyebut kejadian hampir 100 anak meninggal dengan penyakit yang sama dan belum diketahui penyebab awalnya jelas merupakan kejadian amat serius bagi dunia kesehatan.

"Ini perlu ditangani dengan maksimal, all out, apapun istilah yang akan dipakai (KLB atau tidak)," imbuhnya saat dihubungi Tribun.

Kini yang paling penting dan prioritas bagi pemerintah dan pihak terkait adalah mencari tahu dengan jelas apa penyebab kejadian ini.

"Kalau memang obat maka obat apa namanya, kalau bukan obat maka apa ada faktor lain seperti lingkungan dan lain-lain. Kalau penyebabnya sudah jelas maka penanganannya akan lebih tepat," kata direktur pascasarjana Universitas Yarsi ini.

"Tentang status KLB atau tidak, yang pasti hampir 100 anak meninggal ini jadi masalah serius," sambung Prof Tjandra.

(Bangkapos.com/TribunJabar.id/Kompas.com/Tribun Network)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved