Berita Pangkalpinang

Terdata Ada 89 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Babel, Korban Mesti Berani Speak Up

Mirisnya, kebanyakan korban pelecehan seksual adalah perempuan, tanpa memandang status sosial ekonomi, usia, agama, pendidikan bahkan

Penulis: Cici Nasya Nita | Editor: Iwan Satriawan
IST/Dokumentasi Hidayati
Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Bangka Belitung, Hidayati 

BANGKAPOS.COM, BANGKA --Akademisi atau  Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung (UBB), Hidayati ikut menyoroti kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih kerap terjadi di Bangka Belitung.

Dari Januari hingga November 2022, di Bangka Belitung tercatat ada 89 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Hal ini berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan Pencatatan Sipil, dan Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DP3ACSKB) Bangka Belitung.

Dibeberkan Hidayati, berdasarkan data CATAHU 2021 Komnas Perempuan, selama sepuluh tahun terakhir (2010-2020), terjadi peningkatan angka kekerasan seksual terhadap perempuan, mulai dari 105.103 kasus pada tahun 2010 hingga mencapai 299.911 kasus pada tahun 2020 atau rata-rata kenaikan 19,6 persen per tahunnya.

"Mirisnya, kebanyakan korban pelecehan seksual adalah perempuan, tanpa memandang status sosial ekonomi, usia, agama, pendidikan bahkan penampilan fisik," ujar Hidayati, Senin (29/11/2022).

Dia membeberkan faktor penyebab perempuan kerap mengalami kekerasan.

Pertama, budaya patriarki yang masih berkembang di dalam masyarakat, di mana perempuan dianggap lemah posisinya (inferior) sementara laki-laki dianggap lebih kuat (superior) daripada perempuan.

" Sehingga, ketika terjadi pelecehan seksual, perempuan hanya bersikap pasrah dan tidak berani untuk melawan karena takut akan kekuatan laki-laki," katanya.

Kedua, kebanyakan korban pelecehan seksual memilih untuk diam karena merasa malu untuk membuka aib diri sendiri bila melaporkan tindakan pelecehan yang dialaminya.

Para perempuan penyintas pelecehan seksual tersebut merasa terkucilkan dan kehilangan harga dirinya bila ketahuan pernah dilecehkan oleh laki-laki.

"Hal ini lah yang semakin menyuburkan berbagai tindak pelecehan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. Karena tindakan diam ini justru akan semakin membuat si pelaku pelecehan mengulangi lagi dan lagi tindakannya tersebut kepada orang lain," lanjutnya.

Ketiga, sebagian masyarakat masih kurang peka terhadap korban pelecehan seksual, menganggap wajar, dan cenderung menyalahkan korban pelecehan sebagai pengundang nafsu laki-laki.

"Misalnya kita sering mendengar ucapan, wajar digituin, bajunya aja kebuka sana-sini atau wajar dilecehkan kalau bajunya seksi," jelasnya mengumpamakan.

Keempat, pelecehan seksual yang kerap dilakukan oleh laki-laki terhadap pacar perempuannya biasanya tertutupi oleh ke-bucin-an sang perempuan.

"Sikap bucin (budak cinta) seperti ini melegalkan tindakan pelecehan yang dilakukan oleh si lelaki terhadap pacar perempuannya yang secara tidak sadar telah menjadi korban pelecehan seksual," katanya.

Dia menyarankan oleh sebab itu, penting bagi perempuan untuk selektif dalam memilih pacar atau pasangan hidup, bukan hanya melihat sisi fisik dan materi nya saja.

Sebab pelaku pelecehan seksual sulit untuk ditebak, terkadang terlihat normal, tenang, agamis, bahkan berpendidikan.

"Oleh sebab itu, penting untuk memperhatikan hal-hal kecil yang tanpa sadar dilakukan oleh pasangan laki-laki, misalnya bagaimana cara laki-laki berbicara (apakah cenderung mengarah ke pelecehan verbal), bagaimana cari laki-laki bersikap (terlalu sering menyentuh atau berdekat-dekatan) dan yang paling penting adalah mengetahui akun apa saja yang difollow di media sosial (misalnya terlalu banyak mengikuti akun Wanita cantik, model seksi, dan lain-lain) dan riwayat pencarian yang cenderung ke konten pornografi baik di browser, tiktok, youtube, ataupun media sosial lainnya," sarannya.

Hal-hal kecil ini terkadang luput dari perhatian, sebab wanita cenderung melihat laki-laki dalam pandangan yang lebih terlihat secara nyata dan mengabaikan tanda-tanda kecil (little sign) yang merupakan bibit tindakan kearah pelecehan seksual.

Dalam menanggulangi tindak pelecehan seksual ini, sebenarnya pemerintah maupun instansi telah mengeluarkan berbagai macam peraturan, misalnya UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Permendikbudristek No. 30 Tahuun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

"Namun, tentu saja, peraturan ini tidak akan tepat sasaran apabila korban pelecehan seksual tetap diam dan masyarakat tetap mewajarkan tindakan pelecehan seksual dengan menyalahkan perempuan sebagai korbannya.

Oleh karena itu, Sangat penting bagi korban pelecehan seksual untuk speak up mengenai tindakan yang telah dialaminya dan dukungan moral dari masyarakat terhadap korban pelecehan agar memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual," katanya.

89 Kasus Sepanjang 2022

Kasus kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di Bangka Belitung.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan Pencatatan Sipil, dan Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DP3ACSKB) Bangka Belitung, dari Januari hingga November 2022 ada 89 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP3ACSKB Bangka Belitung, Darnis Rachmiyati, mengatakan dari total kasus tercatat dominan kekerasan yang terjadi di rumah tangga atau KDRT.

"Dari data itu terbagi-bagi, ada kekerasan fisik, psikis, penelantaran. Paling banyak itu KDRT, bisa fisik dan psikis, dalam satu rumah tangga," ujar Darnis, Selasa (29/11/2022).

Dia menyebutkan paling dominan kekerasan dalam rumah tangga dilakukan oleh suami.

"Kalau dikelompokkan bisa karena faktor internal dan eksternal. Kalau internal itu bisa karena faktor karakter, mungkin masih labil emosional, faktor perbedaan keyakinan antar pasangan serta faktor kebiasaan," katanya.

Dia menambahkan faktor eksternal terjadi KDRT paling menjadi perhatian adalah faktor ekonomi dan perselingkuhan.

"Selain itu faktor eksternal ini bisa juga karena pernikahan dini ya, bisa kematangan berpikir masih rendah maka terjadi KDRT," katanya.

Pihaknya setelah menerima pengaduan mengenai kekerasan terhadap perempuan, melakukan tindaklanjut seperti mediasi.

"Kita lakukan mediasi dulu, sejauh ini banyak mediasi. Kalau tidak sampai kesepakatan bisa ambil langkah hukum, kita persilahkan tapi ada pendampingan," katanya.

Menurutnya, kasus  kekerasan terhadap perempuan ini termasuk fenomena gunung es.

"Kalau yang gak lapor itu banyak banget, fenomena gunung es itu. Sebetulnya ini tidak menjadi tanggungjawab sendiri Unit PPA, banyak sektor yang terlibat di dalamnya. Kemenag misalnya, sudah ada program membentuk keluarga sakinah untuk mencegah terjadi KDRT," katanya.(Bangkapos.com/Cici Nasya Nita)

 

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved