Pemangkasan Dana Daerah di Depan Mata, Akademisi UBB Ungkap Solusi agar Pemda Tak Kolaps

Rencana pemerintah pusat memangkas TKD pada tahun anggaran 2026 menjadi tantangan besar bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota

Penulis: Rifqi Nugroho | Editor: M Ismunadi
Dokumentasi Rulyanti Susi Wardhani
Rulyanti Susi Wardhani - Dosen Program Studi Akuntansi FEB Universitas Bangka Belitung 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Akademisi Universitas Bangka Belitung (UBB), Rulyanti Susi Wardhani, menilai rencana pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD) pada tahun anggaran 2026 menjadi tantangan besar bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Kepulauan Bangka Belitung (Babel).

Menurut Rulyanti, kebijakan tersebut tidak hanya sebatas pemotongan anggaran, tetapi merupakan reposisi arsitektur fiskal antara pemerintah pusat dan daerah yang bertujuan menata ulang efektivitas distribusi keuangan nasional.

“Pemerintah awalnya mengusulkan TKD sebesar Rp650 triliun, turun sekitar 29 persen dari Rp919,9 triliun pada tahun 2025. Angka itu kemudian direvisi menjadi sekitar Rp693 triliun, tetapi tetap jauh di bawah tahun sebelumnya,” ujar Rulyanti saat dihubungi Bangkapos.com, Minggu (12/10/2025).

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UBB itu menjelaskan, meskipun kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas belanja pusat dan menjaga kualitas layanan publik, dampaknya bisa cukup signifikan bagi daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah.

“Risiko penurunan kualitas layanan publik bisa muncul karena ruang fiskal daerah menjadi sempit, apalagi jika dana TKD tidak lagi mampu menopang program-program lanjutan,” jelasnya.

Rulyanti mencontohkan, beberapa program fisik yang sebelumnya dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) kini dialihkan menjadi proyek kementerian atau lembaga.

Baca juga: Dampak Pemangkasan TKD 2026 di Provinsi Bangka Belitung, Alokasi Dana Transfer Berkurang Rp244 M

Akibatnya, kegiatan pembangunan mungkin tetap berjalan, tetapi tidak lagi tercatat sebagai realisasi TKD di daerah.

“Tentu hal ini membuat ruang diskresi APBD berkurang. Pemerintah daerah harus segera menyiapkan langkah-langkah konkret untuk mengantisipasi dampaknya,” tegasnya.

Dorong Efisiensi dan Inovasi Pembiayaan

Rulyanti menyarankan agar pemerintah daerah memprioritaskan efisiensi belanja publik dengan memastikan setiap pengeluaran benar-benar tepat guna.

Selain itu, optimalisasi PAD perlu dilakukan tanpa menaikkan tarif retribusi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat kesiapan administrasi dan perencanaan agar dapat berpartisipasi dalam proyek-proyek pusat, terutama yang bersumber dari DAK fisik.

“Pemerintah daerah bisa menyiasati perubahan ini dengan menyiapkan readiness criteria yang lengkap, sehingga tetap bisa mendapatkan alokasi proyek dari pusat,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menilai diversifikasi pembiayaan melalui BUMD dan skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) dapat menjadi strategi penting untuk menjaga keberlanjutan pembangunan daerah di tengah keterbatasan fiskal.

“Optimalisasi BUMD dan KPBU perlu digarap serius, disertai advokasi bertahap untuk menyesuaikan skema TKD di masa depan. Tahun 2026 bisa menjadi momentum memperbaiki tata kelola fiskal daerah agar lebih mandiri,” pungkasnya. (Bangkapos.com/Rifqi Nugroho)

 

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved