Tribunners
Pemilu, Teknologi Informasi, dan Generasi Z
Generasi Z adalah generasi yang unik. Generasi yang kehidupannya sedari kecil telah kenal dan dekat dengan kemajuan teknologi informasi.
Oleh: M Denny Elyasa - Analis Kebijakan Muda Sekretariat DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
MERUJUK Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024, maka saat ini sedang berlangsung proses tahapan pemilu 2024. Tahapan yang telah dimulai sejak 6 Desember 2022 dan berakhir pada 25 November 2023, di mana jadwal pencalonan presiden dan wakil presiden termasuk di dalamnya yaitu dimulai pada tanggal 19 Oktober 2023.
Menurut UU Nomor 7 Tahun 2017, pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakilnya di DPD, DPR, dan DPRD serta memilih presiden dan wakil presiden. Pemilu dapat diibaratkan sebuah 'pesta' demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia yang seharusnya penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, bukan diisi dengan keributan dan rasa permusuhan, apalagi sampai menjadi perpecahan di antara anak bangsa.
Walaupun diibaratkan seperti sebuah pesta, kegiatan ini tetap ada batasannya. Berdasarkan aturan, pemilu hanya dapat diikuti oleh mereka yang telah punya hak memilih yaitu WNI yang genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah menikah. Walaupun kenyataannya di lapangan terkadang tidak mematuhi aturan yang ada. Pelibatan anak-anak banyak terjadi, terutama pada saat kampanye terbuka, entah itu diajak oleh orang tuanya atau tetangga dengan berbagai alasan sebagai pembenaran.
Potensi Generasi Z di Pemilu
Sejauh mana generasi Z akan memberi warna di pemilu yang akan datang? Bila kita mengacu pada proyeksi BPS tahun 2022, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 275,77 juta jiwa. Adapun berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2020, sekitar 27,94 persen dari jumlah penduduk Indonesia merupakan generasi Z.
Generasi Z bersama-sama generasi milenial diistilahkan oleh para ahli sebagai generasi strawberry. Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997-2012, di mana rentang usia mereka saat ini ada di kisaran 11-26 tahun. Disebut generasi strawberry dikarenakan mereka dianggap cerdas dan kritis; penuh inovasi serta kreatif, namun lemah dan gampang rapuh terhadap tekanan, serta mudah kecewa dan sakit hati.
Dikutip dari dataindonesia.id (16/8/2022), menurut data Kemendagri hingga 31 Desember 2021, jumlah penduduk generasi Z sebanyak 68.662.815 jiwa. Jika kita asumsikan sesuai aturan pemilu, di mana usia yang memiliki hak pilih adalah usia 17 tahun atau lebih. Maka, kita dapat membagi generasi Z tersebut menjadi dua kategori yaitu pemilih (17-26 tahun) dan bukan pemilih (usia 11-16 tahun).
Apabila masing-masing kategori tersebut jumlahnya kita bagi rata yaitu 50 persen, maka akan ada sekitar 34.33 juta jiwa potensi pemilih dari generasi Z. Jumlah yang besar untuk diperebutkan oleh para peserta pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa generasi Z tidak bisa dianggap sebelah mata oleh para kontestan pemilu yang membutuhkan dukungan partisipasi politik terbuka.
Oleh sebab itu, hal yang wajar apabila di pemilu 2024 sebagian besar peserta pemilu mulai membidik pemilih pemula dari generasi Z untuk memperoleh suara. Selain menjadi target bagi perolehan jumlah suara, mereka juga potensial menjadi kader di masa mendatang. Berbagai upaya dilakukan oleh partai politik untuk menarik simpati mereka. Dikarenakan jaringan internet sudah makin luas, pemanfaatan sosial media menjadi salah satu cara efektif yang digunakan. Melalui media sosial dapat meningkatkan jaringan komunikasi politik, relasi politik dan partisipasi politik masyarakat dalam pemilu.
Generasi Z tidak hanya sekadar menjadi target potensial peserta pemilu dalam meningkatkan perolehan jumlah suara. Ada baiknya penyelenggara pemilu pun menjadikan generasi ini sebagai target bagi rencana perbaikan pemilu di masa depan. Partisipasi aktif mereka perlu didorong dalam pemilu yang akan datang. Hal tersebut penting untuk menjadikan mereka sebagai generasi baru pemilu masa depan yaitu pemilu bersih, berintegritas, dan minim kecurangan. Mereka juga dapat diarahkan dan dibimbing untuk lebih berpartisipasi dalam pengawasan pemilu. Paling tidak generasi ini tidak hanya menjadi penonton dan suporter saja, tetapi juga belajar dalam kontestasi politik yang ada.
Menurut beberapa penelitian, generasi Z sering dianggap sebagai generasi yang paling tidak peduli dengan persoalan politik. Menurut Education, Audio-visual and Culture Executive Agency (EACEA), partisipasi politik generasi muda masa kini memiliki sifat yang cenderung lebih individual, spontan, berdasarkan isu tertentu dan kurang terkait dengan perbedaan sosial (Nur 2020).
Untuk itu agar mereka lebih partisipatif pada pemilu, perlu dipikirkan bagaimana pola pendekatan dan penyampaian informasi yang baik terhadap generasi ini. Partisipasi politik generasi sekarang akan jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Metode konvensional dengan aksi ramai-ramai turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi, walaupun masih ada relatif dengan jumlah yang makin sedikit.
Partisipasi politik generasi ini lebih banyak dilakukan melalui internet dan media daring (online) sebagai wadahnya. Kita lihat bagaimana calon presiden dan wakil presiden yang ramai-ramai memanfaatkan media sosial, selain sebagai alat promosi diri, tetapi juga berusaha mengidentifikasi diri bahwa mereka dekat dan memahami generasi ini. Jika tidak mereka lakukan akan dianggap kuno, gaptek, dan lain sebagainya. Akan sulit bagi mereka untuk masuk dan meraup suara dari generasi ini.
Teknologi Informasi dan Generasi Z
Generasi Z adalah generasi yang unik. Generasi yang kehidupannya sedari kecil telah kenal dan dekat dengan kemajuan teknologi informasi. Keseharian mereka tidak bisa dilepaskan dari kecanggihan gadget. Internet menjadi teman sehari-hari mereka, media sosial dan hiburan menjadi 'asupan' harian. Saking majunya teknologi informasi saat ini, jangankan mengenal permainan orang tuanya dahulu, telepon genggam zaman awal yang hanya bisa untuk SMS dan telepon saja banyak di antara mereka tidak tahu.
Menurut laporan Survei Internet Indonesia APJII 2021-2022 (Q1), kontribusi internet pada rentang umur 5-34 tahun sebesar 43,38 persen. Berdasarkan laporan dari perusahaan riset Data Reportal dikutip dari goodstats.id (2022), di awal tahun 2022 jumlah perangkat seluler yang terkoneksi di Indonesia mencapai 370,1 juta. Jumlah tersebut meningkat 13 juta atau 3,6 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Adapun menurut Kemenkominfo RI, jumlah penduduk yang menggunakan ponsel pintar mencapai 167 juta orang atau 89 persen dari total penduduk Indonesia.
Apabila dilihat dari sisi umur, besarnya pasar generasi ini memiliki kerentanan untuk dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan. Luas dan bebasnya skala informasi di internet menyebabkan sulitnya mengontrol distorsi informasi yang terjadi. Meningkatnya isu negatif, produksi informasi bohong atau hoaks yang ada di berbagai platform media sosial sebagai contoh dampak negatif yang terjadi. Meningkatnya hoaks ini akan mengaburkan banyak informasi yang berdasarkan fakta sebenarnya. Makin dekatnya waktu pemilihan dan makin panasnya suhu politik maka hoaks akan makin bertebaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Oleh karena itu, penyelenggara pemilu perlu mengambil langkah untuk meningkatkan penetrasi informasi kepada generasi Z. Tentu saja berbagai pendekatan yang ada disesuaikan dengan karakteristik mereka. Melalui penetrasi informasi secara sistematis dan masif lewat berbagai kanal informasi yang ada, diharapkan mampu menekan miskomunikasi dan hoaks yang ada. Hal ini perlu diantisipasi dari sekarang, dikarenakan pemilu 2024 ini akan menjadi pengalaman pertama buat sebagian mereka.
Pendekatan melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dapat menjadi pola pendekatan pertama. Remo Adhy Pradhana (2018) menyatakan bahwa diseminasi pesan politik melalui media sosial memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap political efficacy dan pengetahuan politik.
Generasi Z menghabiskan banyak waktu dengan memegang telepon genggam untuk mengakses internet ke berbagai aplikasi, entah itu media sosial, hiburan, informasi, bahkan belanja online. Menurut penelitian Juditha dan Darmawan (2018) telepon seluler adalah gawai yang paling banyak digunakan saat terhubung internet dengan durasi 5-10 jam/hari .
Pendekatan kedua melalui sosialisasi di sekolah/kampus berupa seminar, semiloka ataupun perlombaan bertema pemilu. Penetrasi informasi ke sekolah melalui sekolah/kampus diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru dan penting tentang pemilu kepada pelajar/mahasiswa sehingga usaha untuk meningkatkan partisipasi mereka di pemilu dapat tercapai.
Ketiga, pelibatan mahasiswa dalam beberapa kegiatan KPU dan Bawaslu sehingga punya pengalaman dan pengetahuan lebih terkait pemilu. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya terfokus dalam penggunaan hak pilihnya saja. Kemampuan mereka dalam mengakses dan memanfaatkan teknologi informasi dapat dimanfaatkan dalam pengawasan tahapan pemilu.
Pemilu, jika diibaratkan sebuah pertandingan di mana akan ada yang menang dan tersingkir. Pertandingan tersebut bukan sekadar milik penyelenggara dan peserta pemilu saja. Kita jangan memosisikan diri hanya sebagai penonton saja, tetapi jadilah penonton sekaligus suporter yang cerdas dan partisipatif, agar para kontestan menyadari bahwa kehadiran kita penting karena dapat menentukan siapa yang akan memenangkan pertandingan tersebut. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.