Tribunners

Kerja Manusia dan Robot AI

Rendahnya adopsi AI di perusahaan Indonesia ditengarai sebagai akibat perbedaan persepsi antara pemimpin dan karyawan terhadap implementasi AI

Editor: suhendri
ISTIMEWA
John de Santo - Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka 

Oleh: John de Santo - Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka

SALAH satu pendiri dan eks CEO Microsoft, Bill Gates, belum lama ini bicara soal AI atau kecerdasan buatan di podcast ‘What Now?’. Gates membayangkan masa depan pasca-AI, di mana manusia hanya perlu bekerja selama 3 hari dalam seminggu. Prediksi Gates kerja 3 hari dalam seminggu ini hanya mungkin terwujud berkat kemajuan kecerdasan buatan. Gates memberi tahu Trevor Noah, sang host bahwa di masa depan, manusia “tidak perlu bekerja terlalu keras.”

Hal senada pernah disampaikan Sophia, robot manusia yang memulai debutnya dengan melakukan kunjungan dua hari ke Indonesia pada 16-17 September 2019. Robot berkepala plontos, berwarga negara Arab Saudi, dan ciptaan teknologi Hansen Robotic itu, diundang dalam rangka menghadiri sebuah dialog internasional yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Dalam sebuah wawancara, Sophia menegaskan bahwa, di masa depan, banyak pekerjaan akan diambil alih oleh robot AI sehingga manusia akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ia sukai. Bagaimana kita menyikapi hal ini?

Makna Pekerjaan

Sebuah pekerjaan atau profesi mengacu kepada kegiatan rutin atau jabatan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan upah atau gaji. Pekerjaan itu sendiri sekaligus merupakan sarana, melaluinya seseorang berkontribusi terhadap ekonomi atau masyarakat berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan keahliannya.

Jadi, pekerjaan atau profesi itu sendiri tidak sekadar merupakan cara untuk memperoleh nafkah hidup, tetapi ia juga menyangkut martabat manusia. Orang sering mengidentikkan diri dengan pekerjaan atau profesinya. Karena melalui pekerjaan atau profesi itu manusia mengaktualisasikan potensi dirinya sekaligus menerima penghargaan dan penghormatan dari orang lain.

Jenis pekerjaan atau profesi biasanya dikategorikan menjadi dua, yakni pekerjaan kerah biru (blue-collar jobs) yakni pekerjaan yang biasanya dikerjakan dengan menggunakan tangan atau melibatkan kerja fisik di industri-industri seperti manufacturing, konstruksi, pemeliharaan, atau transportasi. Sementara itu, pekerjaan kerah putih (white-collar jobs), meliputi pekerjaan-pekerjaan yang fokus pada pemberian layanan seperti kesehatan, pendidikan, dan layanan penginapan, konseling, dan lain-lain.

Selain kedua jenis pekerjaan di atas, masih ada yang disebut kerja kreatif yang menyangkut bidang kerja kreatif seperti desain, menulis, musik, produksi film, dan kerja-kerja kreatif lain. Pertanyaannya, apakah robot AI akan menggantikan manusia dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di ketiga profesi itu, ataukah hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bisa digantikan oleh mesin cerdas itu, sedangkan pekerjaan lain, tidak bisa atau tidak mungkin digantikan oleh robot AI?

Dalam konteks lebih luas, Gates mengatakan AI berpotensi untuk mengerjakan pekerjaan yang repetitif seperti seperti customer service dengan chatbot, face recognition, dan analisis video. Bahkan, pemilik Microsoft itu memproyeksikan, AI juga dapat dimanfaatkan untuk proyek pembangunan 1 juta rumah dengan teknologi 3D printing. Meskipun, beberapa industri seperti pariwisata yang identik dengan keramahtamahan, ia anggap belum cocok mengadopsi teknologi ini.

“Pertanyaan kita, apa yang akan dikerjakan tukang bangunan jika pekerjaannya diambil alih oleh 3D Printing?” Menurut Gates, para tukang bangunan dapat dilatih untuk menjadi operator 3D Printing sehingga tak perlu lagi mengaduk semen, atau mengangkut batu bata, tetapi mereka dapat mengembangkan keterampilan yang memudahkan pekerjaan membangun. Asumsi ini tentu tak semudah membalik telapak tangan. Karena berdasarkan studi Microsoft dan IDC Indonesia tentang adopsi AI di negara kawasan Asia Pasifik (APAC) berjudul Future Ready Business: Assessing Asia Pacific’s Growth Potential Through AI, hanya 14 persen dari seluruh perusahaan di Indonesia yang benar-benar sudah menerapkan AI dalam sistem operasionalnya.

Sikap Ragu

Rendahnya adopsi AI di perusahaan Indonesia ditengarai sebagai akibat perbedaan persepsi antara pemimpin dan karyawan terhadap implementasi AI itu sendiri. Menariknya, banyak pekerja yang skeptis terhadap adopsi AI di perusahaan tempat mereka bekerja. "Pegawai lebih skeptikal dibanding pemimpin bisnis terhadap pengadopsian AI di organisasi mereka," kata Haris Izmee, Presiden Direktur Microsoft Indonesia dalam sebuah acara temu media di Jakarta (2019).

Haris menyebut kebudayaan di setiap perusahaan menjadi tantangan lain dalam mengadopsi AI di Indonesia. Bagaimanapun yang dimaksudkan dengan "kebudayaan itu selalu berkaitan dengan skill dan leadership. Pemimpin harus menyiapkan situasi yang kondusif sebelum mengadopsi AI. Hal ini antara lain dengan berinvestasi melakukan pelatihan di perusahaan," ujarnya.

Saat ditanya apakah infrastruktur turut ambil andil dalam lambannya penerapan AI? Menurut Haris, justru saat ini pemerintah sudah mulai tertarik untuk mulai mengeksekusinya. Ia mencontohkan saat penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang. "Asian Games juga menggunakan AI untuk mengawasi kondisi stadion dan memastikannya aman untuk semua orang."

Selebihnya Haris mengungkap, ada sejumlah softskill utama yang banyak dibutuhkan di Indonesia, yakni kepemimpinan dan manajemen, kewirausahaan, dan keterampilan mengambil inisiatif, serta keterampilan berpikir analitis. Adapun keterampilan teknologi yang paling banyak dibutuhkan saat ini adalah keterampilan teknologi, seperti IT dan programing. Sejumlah penelitian mengemukakan fakta bahwa mulai banyak perusahaan yang menyadari pentingnya re-skilling dan re-training bagi karyawannya untuk menghadapi perubahan lanskap bisnis.

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved