Tribunners

Dilematika Guru Penggerak

Guru penggerak merupakan program pelatihan yang dipersiapkan untuk guru yang menjadi calon pemimpin pendidikan di kelak hari kemudian

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Dr. Bramastia, M.Pd. - Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Pascasarjana FKIP UNS Surakarta 

Oleh: Dr. Bramastia, M.Pd. - Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Pascasarjana FKIP UNS Surakarta

BEBERAPA bulan lalu, kabar yang cukup mengagetkan ketika Mahkamah Agung (MA) mencabut salah satu pasal yang ada dalam Permendikbudristek Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak. Keputusan MA tersebut sontak membawa kegembiraan para guru, terutama yang merasa terdiskriminasi aturan tersebut. Permendikbudristek Nomor 26 Tahun 2022, yakni Pasal 6 huruf d dicabut setelah mendapatkan gugatan dari sejumlah guru yang merasa dirugikan oleh aturan itu. Mengulik laman kspstendik.kemdikbud.go.id, Pasal 6 huruf d berbunyi “Calon peserta pendidikan Guru Penggerak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut pada poin d, yakni memiliki masa sisa mengajar tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun.

Rasanya, Pasal diatas dianggap mendiskriminasikan guru-guru yang sudah berusia lebih dari 50 tahun. Para guru senior terganjal tidak bisa menjadi guru penggerak, padahal banyak di antara mereka yang memiliki kualitas yang baik dibanding guru-guru muda. Haknya untuk menjadi guru penggerak menjadi tak mungkin terwujud, meskipun kapasitasnya sangat memungkinkan untuk lolos sebagai untuk menjadi guru penggerak. Regulasi tersebut oleh beberapa guru dianggap tak adil, maka munculah gugatan dari para guru.

Kesempatan Sama

Guru penggerak merupakan program pelatihan yang dipersiapkan untuk guru yang menjadi calon pemimpin pendidikan di kelak hari kemudian. Guru penggerak adalah program dan konsep Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim setelah merilis program Merdeka Belajar. Bagi Nadiem, guru penggerak memang diproyeksikan untuk para guru untuk menjadi calon kepala sekolah, pengawas sekolah dan pelatihan berkualitas untuk para guru. 

Para peserta yang lulus, diharapkan membawa perubahan besar dan positif bagi pendidikan Indonesia melalui kegiatan belajar di sekolah-sekolah. Karena alasan itulah para pemohon di antaranya Tibyan Hudaya, S.E., M.MPd., Nina Anggraeni, Nunuy Nurokhman, dan Qmat Iskandar, S.Pd., M.Pd. mengajukan permohonan keberatan ke MA. MA pun setelah mempelajari permohonan uji materiel akhirnya mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiel dari para pemohon para guru tersebut.

Adapun alasan dari MA mengabulkan permohonan keberatan dari para pemohon, lantaran regulasi yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 26 Tahun 2022, Pasal 6 huruf d, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Salah satu regulasi yang dipakai MA sebagai rujukan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada salah klausul pasalnya, yaitu pada Pasal 7 ayat 1 huruf g menyebutkan bahwa “Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat”.

Rasa Berkeadilan

Gagasan para pemohon untuk mengajukan uji materiel, tak lebih didorong rasa berkeadilan. Dengan demikian, kesempatan mendapatkan pelatihan untuk meneruskan kariernya, bukan hanya milik guru-guru muda. Guru-guru yang berumur 50 tahun juga bisa merasakan pengalaman manajerial dan menjadi kepala sekolah. Setidaknya bila lulus menjadi guru penggerak, maka kesempatan untuk menjadi pengawas sekolah atau kepala sekolah juga bisa terbuka. Sebab salah satu syarat menjadi kepala sekolah, terlebih dahulu sudah lulus dan mempunyai sertifikat sebagai guru penggerak.

Munculnya regulasi yang digugat para pemohon, menyebabkan beberapa guru tidak bisa mengikuti seleksi calon pengawas dan calon kepala sekolah. Para guru yang sudah berusia 50 tahun ke atas pasti terganjal kariernya menjadi pengawas atau kepala sekolah. Memang pada Pasal 6 huruf d, tidak berkaitan dengan syarat guru menjadi calon pengawas atau kepala sekolah. Pasal itu merupakan syarat menjadi guru penggerak. Hanya saja, dalam aturan lain, syarat untuk menjadi pengawas atau kepala sekolah, guru harus sudah mengikuti tahapan menjadi guru penggerak.

Pemerintah melalui Kemendikbudristek, tidak saja abai akan potensi guru senior yang sudah berpengalaman, namun tidak memperlihatkan pemantauan di lapangan bagaimana guru muda yang sudah lulus sebagai guru penggerak melahirkan perubahan yang signifikan? Pelatihan selama sembilan bulan bagi calon guru penggerak, tentu mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit. Apakah semua biaya yang dikeluarkan itu sejalan dengan tujuan pemerintah bisa bahwa semua lulusan guru penggerak bisa membawa terobosan dan motivasi bagi guru lain?

Begitu banyak fakta di lapangan, usai mengikuti pelatihan sebagai guru penggerak, para guru muda ada yang melemah karena tidak mampu berbuat lebih banyak saat berada di lingkungan sekolah masing-masing. Ada benturan faktor psikologis yang sering dialami guru penggerak muda saat bekerja di lingkungan guru senior yang bukan guru penggerak. Bukannya guru penggerak mendapatkan dukungan, malah makin melemah semangatnya. Pada kasus tersebut, terpantaukah oleh pemerintah? Bagaimana bentuk pendampingan yang harus dilakukan agar para guru penggerak tersebut bekerja sesuai harapan pemerintah?

Apakah dengan melahirkan banyak guru penggerak, perubahan secara signifikan yang diharapkan pada dunia pendidikan di Indonesia bisa dirasakan? Bahwa unsur pendampingan sangat diperlukan pemerintah. Ketika guru yang usia 50 tahun ke atas diizinkan mengikuti pelatihan calon guru penggerak dan pendampingan terus dilakukan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekolah saat lulus menjadi guru penggerak, maka akan maksimal.

Problem lainnya saat beberapa guru senior yang tidak begitu cakap menggunakan kemajuan informasi dan teknologi, sedangkan sebagai guru penggerak, setidaknya harus rajin bekerja dengan gadget karena banyak aplikasi yang harus dikuasai. Tentu kecakapan menggunakan teknologi informasi harus diasah agar tidak gagap saat bekerja. Bagaimana sikap Kemendikbudristek? Bisakah segera turun tangan dan antisipasi segala kemungkinan yang terjadi di lapangan? (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved