Berita Belitung

Warga Pulau Gersik Belitung Mulai Mengungsi Tak Tahan Dihantam Cuaca Buruk

Sejumlah warga Pulau Gersik Kecamatan Selat Nasik Kabupaten Belitung mulai mengungsi akibat cuaca buruk.

Editor: fitriadi
Istimewa/Posbelitung.co
Rumah penduduk Rt 02/01 Dusun I, Desa Pulau Gersik, Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tergerus abrasi air laut. Tampak ombak pantai mengikis pondasi dan dinding rumah warga. Foto diambil pada Kamis (7/12/2017). 

BANGKAPOS.COM, BELITUNG - Cuaca buruk menghantam Pulau Gersik, Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pekan lalu. Hujan disertai puting beliung merusak rumah warga.

Tak hanya itu warga dibayangi ketakutan pada gelombang yang terus menggerus pulau tersebut.

Desa Pulau Gersik termasuk satu di antara desa di Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung yang terletak di tengah laut. Karena letak geografisnya dekat dengan laut lepas, bahkan bersebelahan dengan Alki 1, desa ini sangat berisiko terhadap perubahan cuaca dan iklim.

Bahkan setiap harinya, setiap senti area pantai Desa Pulau Gersik terus tergerus gelombang laut.

“Kalau risiko cuaca itu benar, karena pulau kami terletak di tengah laut. Abrasi juga tinggi karena tidak ada pemecah gelombangnya,” ujar Kepala Desa Pulau Gersik, Marham saat dihubungi Posbelitung.co pada Minggu (6/10/2024).

Ia menjelaskan Desa Pulau Gersik memiliki penduduk 645 kepala keluarga (KK) yang tersebar di empat dusun yaitu di Gersik dan sisanya di Pulau Kuil dan Pulau Buntar.

Menurut Marham, warganya memang dominan bermukim di wilayah Kecamatan Tanjungpandan. Tujuannya untuk memunuhi ekonomi dan menemani anak melanjutkan sekolah ke jenjang SMA
dan perguruan tinggi.

Meskipun demikian, warga desa tetap akan kembali ke pulau misalnya libur panjang atau hajatan pernikahan.

“Sebenarnya bisa dibilang bolak-balik lah. Kecuali memang rumahnya yang rusak atau hanyut akibat abrasi, mereka sudah jarang pulang. Kami sudah bertahun-tahun berharap di sini
dibangun pemecah gelombang untuk mengurangi abrasi. Karena Gersik ini bukan hanya pulau tapi satu desa yang diakui pemerintah,” katanya.

Ancaman Serius

Berkaca dari Pulau Gersik, menunjukkan Bangka Belitung kini berada di tengah ancaman serius akibat krisis iklim yang tidak lagi menjadi sekadar wacana, melainkan kenyataan yang sudah terjadi.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, menegaskan bahwa wilayah ini menghadapi berbagai bencana ekologis yang berkaitan langsung dengan praktik-praktik penghancuran lingkungan yang terstruktur oleh industri ekstraktif.

Salah satunya adalah abrasi dan kenaikan permukaan air laut di Kecamatan Selat Nasik, Pulau Gersik, yang memperlihatkan dampak nyata dari perubahan iklim global.

“Kalau dilihat bahwa Kepulauan Bangka Belitung terancam tenggelam, rentan tenggelam. Seperti di Pulau Gersik dulu 1.000 jiwa, sekitar setengahnya sudah mengungsi,” ungkap Hafiz, Jumat (4/10) malam.

Data BPBD mencatat, antara tahun 2016-2020, terdapat 1.084 bencana ekologis di Bangka Belitung, termasuk banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan.

Potensi bahaya gelombang ekstrem dan abrasi mencapai 42.245 hektare, dengan kerugian fisik sebesar Rp 2,6 miliar dan kerugian ekonomi mencapai Rp8,31 miliar.

Di sisi lain, dalam kurun waktu 2016-2020 saja, Bangka Belitung telah kehilangan 460 ribu hektare hutan tropis, dengan laju deforestasi yang semakin tinggi.

Deforestasi ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya flora dan fauna, namun juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat, petani, dan komunitas perempuan serta anak-anak yang semakin terpinggirkan.

“Ekspansi ini juga merusak keseimbangan alam dan tradisi masyarakat lokal yang dulunya hidup secara arif dengan alam,” tambahnya.

Di Bangka Belitung, 71 persen dari luas wilayah kini dikuasai oleh industri ekstraktif berupa pertambangan timah dan perkebunan monokultur skala besar seperti sawit.

Ini merupakan penyebab utama deforestasi masif dan kerusakan ekosistem yang menimbulkan konflik sosial dan bencana kemanusiaan.

Prilly dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyebutkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu pihak yang memiliki kerentanan terhadap triple planetary crisis, yakni perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Menurutnya beberapa hal yang menjadi latar belakang kerentanan ituialah, kawasan Asia Tenggara dikelilingi oleh garis pantai yang panjang, kemudian sejumlah besar populasi sangat terkonsentrasi, serta banyaknya pusat perekonomian yang masih terus berkembang di wilayah pesisir.

Menurut dia, Indonesia sebagai negara kepulauan merasakan dampak yang sangat signifikandari krisis iklim.

Terdapat peningkatan risiko ancaman bahaya dan dampak perubahan iklim di Indonesia.

Dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana merekam terjadinya bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian yangmengakibatkan 38.533.892 orang menderita, 3,5 juta lebih orang mengungsi, dan lebih dari Prily mengatakan 12
ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia.

Bahkan Bappenas juga memprediksi kerugian ekonomi mencapai Rp 544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim. 

Bantuan Beras Untuk Korban

BPBD Pertanian Kabupaten Belitung mendistribusikan bantuan beras kepada waga terdampak bencana angin puting beliung di Desa Pulau Gersik, Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Jumat (5/10/2024).

Total terdapat 181 warga terdampak angin puting beliung menerima beras Cadangan Pangan Pemerintah Daerah (CPPD) untuk kebutuhan 20 hari ke depan.

Sebanyak 10 anggota TRC dan Damkar BPBD Belitung bersama penyuluh dan Camat Selat Nasik menuju desa yang berjarak puluhan mil laut itu.

“Kami kembali lagi ke Desa Pulau Gersik untuk medistribusikan beras CPPD kepada korban terdampak bencana,” ujar Kepala BPBD Belitung, Agus Supriari kepada Posbelitung.co, Jumat (4/10).

Bantuan secara simbolis diserahkan kepada Kepala Desa Pulau Gersik Marham di balai desa. Usai menyerahkan bantuan, petugas kembali melanjutkan pembersihan pohon beringin besar yang tumbang dibantu warga setempat, mengingat beberapa hari sebelumnya, petugas hanya membersihkan bagian kecil saja.

“Tadi kami melanjutkan memotong pohon yang tumbang kemarin. Alhamdulillah kepedulian masyarakat setempat bagus membantu petugas,” katanya.

Solusi Palsu

Dewi dari Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) mengatakan percepatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim sebagai respons terhadap dampak krisis iklim yang semakin parah di Indonesia sangat penting dilakukan.

Dewi mengatakan krisis iklim telah menyebabkan berbagai bencana besar dan mempengaruhi kehidupan jutaan orang, namun solusi yang ditawarkan pemerintah sejauh ini justru kerap disebut sebagai ‘solusi palsu’.

"Krisis iklim bukan hanya sekadar fenomena alam, melainkan hasil dari masifnya aktivitas industri ekstraktif yang menyumbang besar terhadap emisi gas rumah kaca. Krisis iklim sangat nyata," kata Dewi.

Dari 2013 hingga 2022, kata Dewi, Indonesia telah mengalami lebih dari 28 ribu bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim, dengan 35 juta orang terdampak langsung, 3,5 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan lebih dari 12 juta jiwa terancam.

Data ini menunjukkan urgensi untuk segera menyusun kebijakan yang melindungi masyarakat dan lingkungan. Kebijakan yang selama ini dijalankan atas nama pengendalian
perubahan iklim.

Kebijakan yang diusulkan dalam Prolegnas 2019-2023 melalui RUU Pengendalian Perubahan Iklim tidak menempatkan keselamatan manusia dan lingkungan sebagai fokus utama.

"Banyak proyek dan program yang dijalankan justru menambah ketidakadilan dan memperparah masalah yang dihadapi masyarakat terdampak," kata Dewi.

Dewi menyebut fenomena ini sebagai “solusi palsu,” di mana proyek-proyek yang dijalankan untuk transisi energi dan penanggulangan krisis iklim sering kali tidak menyelesaikan akar masalah.

Sebaliknya, proyek-proyek tersebut merampas lahan masyarakat, menciptakan polusi baru, serta menyebabkan pencemaran air dan laut.

"Alih-alih membantu masyarakat, proyek transisi energi ini justru melanggar hak asasi manusia, merusak lingkungan, dan menambah beban masyarakat," kata Dewi.

Dewi mengatakan banyak proyek yang atas nama transisi energi, tetapi faktanya menciptakan pencemaran baru dan merampas tanah rakyat. Kondisi ini semakin memperberat beban masyarakat yang sudah rentan akibat krisis iklim.

"Kami mendesak agar keselamatan manusia dan lingkungan diletakkan sebagai satu kesatuan
dalam kebijakan penanganan krisis iklim," kata Dewi. (del/dol)

 

 

 

 

 

 

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved