Tribunners
Eksistensi Satlinmas pada Pilkada 2024: Antara Ada dan Tiada
Satuan pelindungan masyarakat merupakan ujung tombak dan garda terdepan dalam pelindungan masyarakat
Oleh: Rizky Anugrah Perdana, S.H. - ASN Polisi Pamong Praja Ahli Pertama Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Belitung
SATUAN pelindungan masyarakat atau dikenal sebagai satlinmas adalah organisasi yang beranggotakan unsur masyarakat yang berada di kelurahan dan/atau desa yang dibentuk oleh lurah dan/atau kepala desa untuk melaksanakan pelindungan masyarakat (linmas).
Pelaksanaan linmas yang dimaksud adalah segenap upaya dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka melindungi masyarakat dari gangguan yang diakibatkan oleh bencana serta upaya untuk melaksanakan tugas membantu penanganan bencana guna mengurangi dan memperkecil akibat bencana, membantu memelihara keamanan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat, membantu kegiatan sosial kemasyarakatan, membantu memelihara ketenteraman dan ketertiban pada saat pemilihan kepala desa (pilkades), pemilihan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan umum (pemilu), serta membantu upaya pertahanan negara.
Definisi tersebut tertuang dalam ketentuan umum Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 26 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat serta Pelindungan Masyarakat (Tibumtranlinmas).
Satuan pelindungan masyarakat beranggotakan warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan dan secara sukarela turut serta dalam kegiatan warga masyarakat yang disiapkan dan dibekali pengetahuan serta keterampilan dalam melaksanakan pelindungan masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah daerah dan pemerintah desa.
Satuan pelindungan masyarakat merupakan ujung tombak dan garda terdepan dalam pelindungan masyarakat karena menjadi jajaran keamanan yang pertama kali turun di masyarakat ketika adanya ancaman terhadap ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Sayangnya, dalam pelaksanaan di masyarakat, satlinmas telah mengalami distorsi makna sehingga terjebak dalam anggapan publik yang mengartikan peran satlinmas dengan makna yang sempit. Dengan demikian, tercipta stigma negatif di dalam benak masyarakat bahwa satlinmas tidak lebih hanya sebagai penjaga keamanan di kampung-kampung yang hanya duduk dan minum kopi di pos ronda lalu memukul kentongan bambu apabila ada aksi pencurian.
Bahkan, tidak jarang masyarakat memberikan gelar sarkastik yang cenderung memiliki makna negatif terhadap satlinmas yaitu pasukan hajatan atau pasukan dangdutan. Akibatnya, masyarakat tidak lagi memandang satlinmas sebagai aparatur negara yang memiliki peran dan fungsi penting. Hal ini juga yang menyebabkan minat pemuda untuk menjadi anggota satlinmas sangat kecil.
Sering kali anggota satlinmas diisi oleh orang tua yang sudah uzur. Berdasarkan data Satlinmas Kabupaten Demak 2020 yang dipublikasikan pada tahun 2023 menunjukkan bahwa di 14 kecamatan sebanyak 2.942 anggota satlinmas berumur di atas 50 tahun, sebanyak 2.597 anggota satlinmas berumur antara 30-50 tahun, sedangkan sebanyak 1.212 anggota satlinmas berumur di bawah 30 tahun. (https://katalog.data.go.id/dataset/data-Satlinmas-berdasarkan-umur-dan-pendidikan-tahun-2020)
Hal itu juga sebetulnya tidak lepas dari fakta lapangan bahwa satlinmas sering kali hanya dilibatkan pada situasi-situasi yang sifatnya insidental saja. Padahal, sesungguhnya peran satlinmas lebih daripada itu. Ia memiliki fungsi vital dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di skala kelurahan/desa. Bahkan fungsi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada dan pemilu dalam rangka suksesi kepemimpinan.
Peran satlinmas yang terlupakan
Berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) Huruf b Permendagri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Tibumtranlinmas bahwa terdapat salah satu tugas dari 9 tugas utama satlinmas yang erat kaitannya dengan suksesi kepemimpinan, yaitu tugas membantu penanganan ketenteraman, ketertiban umum, dan keamanan dalam penyelenggaraan pilkada dan pemilu. Hal ini berarti satlinmas memiliki tanggung jawab untuk membantu lurah/kepala desa dalam rangka menyukseskan penyelenggaraan pilkada dan pemilu dengan cara menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Di dalam Pasal 3 Ayat (4) Permendagri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Tibumtranlinmas menyatakan bahwa penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat meliputi kegiatan bersifat preventif yaitu deteksi dini dan cegah dini, pembinaan dan penyuluhan, patroli, pengamanan, pengawalan, serta kegiatan bersifat represif yaitu penertiban dan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa.
Perlu diketahui bahwa satlinmas juga memiliki tugas pokok dan fungsi yang tidak jauh berbeda dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh satuan polisi pamong praja (satpol PP). Hanya saja yang membedakan adalah skala dalam penyelenggaraannya. Satuan polisi pamong praja menyelenggarakan pada skala kabupaten/kota, sedangkan satlinmas menyelenggarakan pada skala kelurahan/desa.
Apabila kita merujuk pada regulasi, maka pemerintah daerah dan pemerintah desa sepatutnya melibatkan satlinmas untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan pemilu dan pilkada, baik pada masa sebelum pemilihan, pada saat pemilihan berlangsung, hingga setelah pemilihan selesai. Terutama mengoptimalkan 5 fungsi utama bersifat preventif, yaitu deteksi dini dan cegah dini, pembinaan dan penyuluhan, patroli, pengamanan, pengawalan.
Namun, yang terjadi setiap masa pemilihan adalah satlinmas hanya dilibatkan pada saat waktu pemilihan berlangsung, yaitu penjagaan terhadap tempat pemungutan suara (TPS). Adapun masa sebelum pemilihan hanya berupa kegiatan yang bersifat formalitas saja. Seperti peningkatan kapasitas yang justru digabungkan dengan kegiatan mobilisasi melalui semacam apel gelar pasukan yang dilaksanakan pada saat akhir masa kampanye. Melupakan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat secara keseluruhan. Alasan yang sering dipakai oleh pemerintah daerah dan pemerintah desa adalah tidak cukup tersedianya alokasi anggaran untuk pemberdayaan satlinmas.
Bencana sosial pada pilkada 2024
Bencana sosial terjadi di beberapa daerah pada kontestasi pilkada serentak 2024. Misalnya, pada hari pemilihan terjadi konflik antara para pendukung paslon di Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua Tengah, yang menyebabkan 94 orang terluka dan 40 rumah terbakar. Setelah kejadian tersebut, para calon bupati dan tim sukses masing-masing kubu membuat konsensus dalam rangka menghentikan konflik. Namun, upaya ini dinilai sangat terlambat, seharusnya konsensus dibuat sebelum pilkada dilaksanakan.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur, sekitar 10 hari sebelum pemilihan berlangsung. Seorang saksi dibacok hingga meninggal dunia akibat konflik yang masih berkaitan dengan masa kampanye pilkada.
Selain itu, di Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan, terjadi konflik antarpendukung yang menyebabkan seorang warga mengalami luka di kepala diakibatkan oleh sabetan benda tajam. Selanjutnya, terjadi di Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Diduga kurang lebih 10 orang melakukan perusakan dan pembakaran kotak suara di TPS Kota Sungai Penuh.
Kejadian lainnya, terjadi pembacokan terhadap seorang ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 2 di Desa Waduwani, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Korban dibacok saat sedang bertugas di TPS.
Beberapa dampak nyata bencana sosial dalam kontestasi pilkada 2024 bahkan hingga menimbulkan korban jiwa telah menjadi bukti bahwa peran satlinmas belum optimal diterapkan di masyarakat. Padahal, satlinmas memiliki fungsi yang sangat penting yaitu penekanan pada upaya-upaya preventif dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Dibandingkan dengan stakeholder keamanan lain yang menekankan tindakan represif. Bukankah lebih baik melakukan upaya pencegahan daripada mengobati?
Anggaran bukan masalah
Sering kali pemerintah daerah dan pemerintah desa tidak memberdayakan satlinmas secara optimal dengan alasan anggaran yang tidak cukup. Bahkan, untuk sekadar pengadaan kartu anggota saja pemerintah daerah dan pemerintah desa saling lempar tanggung jawab.
Padahal, dalam Pasal 39 Ayat (1) Permendagri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Tibumtranlinmas mencantumkan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, kabupaten/kota, bahkan anggaran pendapatan dan belanja desa sebagai sumber pendanaan. Apalagi ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sehingga wajib diprioritaskan sebagaimana amanat Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Hal tersebut berarti urusan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sama pentingnya dengan urusan kesehatan dan pendidikan. Sebab berkaitan dengan pelayanan dasar terhadap masyarakat di daerah.
Terkait dengan anggaran pendapatan dan belanja desa juga tidak patut dijadikan alasan untuk tidak mengoptimalkan peran satlinmas. Sebab, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 352 Tahun 2024 tentang Rincian Insentif Desa Setiap Desa Tahun Anggaran 2024 menetapkan bahwa alokasi tambahan dana desa tahun anggaran 2024 sebesar Rp2 triliun.
Semoga melalui tulisan ini pemerintah daerah dan pemerintah desa bisa sadar dan lebih peduli terhadap optimalisasi peran satlinmas, terutama terkait peran menjaga ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dalam rangka suksesi kepemimpinan. Sebab, satlinmas adalah jajaran keamanan pertama yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Apalagi, regulasi sudah jelas mengatur terkait kewenangan hingga pendanaannya. Tinggal kemauan dari pemerintah daerah dan pemerintah desa mau mengoptimalkan peran satlinmas atau tidak. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.