Tribunners
The Axis Time of Religion: Energi Orang-orang Bijak
Kata"Axis" tidak sekadar sebutan untuk paket handphone, melainkan istilah tersebut memiliki makna terdalam dalam konteks peradaban agama
Oleh: Rusydi Sulaiman - Direktur Madania Center dan Ketua Bidang Fatwa dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
TIDAK mudah menjadi orang pintar bila yang dimaksud dengan segudang teori di kepala. Pintar berbeda dengan bijak (hikmah), karena kata bijak identik dengan intensitas kebaikan (khairan katsiiran). Lihat QS. Al-Baqarah (2): 269--artinya: "(Allah) menganugerahkan hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang diberikan hikmah, maka (ia) telah diberi kebaikan yang banyak. Tidaklah ada yang mampu mengambil pelajaran ( merenung) dari-Nya, kecuali Ulul Al-Bab".
Dalam hal semangat memberlangsungkan kehidupan untuk tujuan kemaslahatan umat, maka Tuhan, Allah Swt tidak menjatuhkan banyak orang bijak sekelas nabi dan rasul di biosfer bumi; terhitung sejak Adam as hingga masa Muhammad Saw, apalagi terkait dengan adanya ide besar, teori, idealisme, ideologi, bahkan keyakinan tertentu. Tokoh-tokoh tersebut memberi pengaruh berbeda satu sama lain, disebabkan oleh faktor tertentu; kekuatan ketokohan, keturunan, peluang dan tantangan, konsep, strategi dan hal-hal yang melingkupi. Sebagian mereka dikisahkan dan sebagian lain tidak dikisahkan dalam Al-Qur'an.
Jauh pasca-kehidupan Adam as atau pastinya abad 6 SM, muncul beberapa orang bijak yang membawa ideologi atau keyakinan tertentu menyamai agama sehingga zaman itu disebut "The Axis Time of Religion", yaitu masa kegemilangan agama. Agama Zoroaster misalnya dinisbatkan kepada orang bijak bernama Zarathustra; Konghucu dinisbatkan kepada Konfusius; dan Buddha dinisbatkan kepada Buddha Siddharta Gautama. Begitu juga sebagian lainnya.
Bila ideologi atau keyakinan tersebut bersumber dari manusia dan tampil dalam bentuk budaya tertentu, disebut cultural religion (agama budaya), namun bila (ia) bersumber dari Tuhan dan diwahyukan kepada nabi tertentu (orang bijak), maka (ia) disebut agama wahyu ( divine religion). Terlepas dari klaim kebenaran terhadap ideologi atau keyakinan tertentu, maka kesemuanya tak lepas dari sentuhan dan peran orang-orang bijak dalam sejarah manusia.
Pengaruh yang ditimbulkannya pun beragam. Vetagoras misalnya, ketokohannya tidak menimbulkan agama tertentu di zaman itu. Selanjutnya fenomena keyakinan politeisme bergeser ke monoteisme karena peran tokoh tertentu. Perlawanan Ibrahim as mengindikasikan hal tersebut; dari garis Ishaq as lahirkan beberapa nabi, tidak demikian dengan Ismail as, kecuali sedikit.
Namun Tuhan, Allah Swt menjatuhkan (tanaazul) orang bijak paling utama di akhir kerasulan, yaitu Muhammad Saw dari keturunannya, dalam QS Al-Baqarah (2): 129--artinya:" Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Mu, dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, dan mensucikan jiwa mereka. Sungguh Engkaulah Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana".
Monoteisme kemudian mengalami intensifikasi hingga saat ini. Kehadiran agama-agama samawi (divine religion) termasuk Islam benar-benar mencerahkan umat sepanjang sejarah peradaban manusia, dan hal itu diperkuat dengan kemunculan orang-orang bijak sekelas nabi dan rasul, filsuf, sufi, dan para ulama belakangan. Orang-orang bijak tersebut diakui memegang peran besar dalam semangat mengembalikan masa kegemilangan agama "The Axis Time of Religion".
Itu adalah energi. Kata"Axis" tidak sekadar sebutan untuk paket handphone, melainkan istilah tersebut memiliki makna terdalam dalam konteks peradaban agama, apalagi melekat kepadanya kata,"time", maka hal itu identik dengan the Golden Age, zaman keemasan dan kemajuan yang gemilang. Mudah-mudahan fenomena tersebut menjadi pijakan bagi generasi di era kontemporer ini untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih berperadaban. Wassalam. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.