Tribunners
Masyarakat Adat dalam Pusaran Disrupsi Media
Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun.
Invisibilitas masyarakat adat
Salah satu bentuk marginalisasi masyarakat adat di era disrupsi media adalah invisibilitas. Kondisi kini tergambar dari banyaknya masyarakat adat yang tidak memiliki akses terhadap infrastruktur teknologi komunikasi digital.
Ada berbagai faktor penyebab, mulai dari keterbatasan jaringan internet, biaya perangkat telekomunikasi yang mahal, hingga lemahnya keterampilan literasi digital. Akibatnya, masyarakat adat makin tertinggal dalam menyampaikan narasi sendiri di ruang digital.
Di sisi lain, masyarakat adat di ruang media arus utama maupun di media sosial sering kali direpresentasikan stereotipikal. Masyarakat adat sering kali digambarkan sebagai masyarakat yang terbelakang atau hanya sekadar ornamen budaya yang digaungkan dalam promosi pariwisata dan penguatan nasionalisme romantik. Akhirnya, arus perjuangan akan identitas, hak atas tanah adat (konflik agraria), hingga terjadinya pelanggaran dan eksploitasi sumber daya alam yang mereka miliki justru terabaikan.
Pada akhirnya, invisibilitas bukan hanya karena mereka tidak mampu menyampaikan narasinya, tetapi lebih kepada suara mereka tidak terangkat oleh algoritma digital karena hanya memprioritaskan konten tertentu. Kondisi ini sejalan dengan pemikiran sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu yang menyatakan bahwa kekuasaan dalam ruang simbolik ditentukan oleh siapa yang mendefinisikan kenyataan. Di era disrupsi media, media sosial, podcast, hingga AI memegang peranan tersebut.
Peran negara dan media arus utama
Disrupsi media nyata bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi teman dengan menghadirkan peluang positif, namun di sisi lain justru dapat menjadi musuh dengan hadirnya marginalisasi terhadap masyarakat adat.
Oleh karena itu, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin hak tersedianya infrastruktur teknologi komunikasi digital, seperti halnya kemudahan terhadap akses internet, perlindungan data, hingga perlindungan terhadap ujaran kebencian hingga isu suku, agama, ras, dan antargolongan.
Tidak hanya negara, media arus utama juga harus mengambil peran penting dalam menarasikan dan merepresentasikan masyarakat adat. Hal ini dapat berupa liputan adil dan berimbang, hadirnya jurnalisme berbasis komunitas adat, serta adanya kolaborasi dengan masyarakat adat yang dijadikan sebagai narasumber utama.
Langkah tersebut dilakukan tidak hanya memperkaya wacana publik semata terkait eksistensi dan perjuangan mereka, lebih dari itu dapat menjadi langkah strategis dalam memperbaiki ketimpangan narasi yang selama ini kerap kali terjadi.
Saatnya media berhenti melihat masyarakat adat hanya sebagai objek eksotisme dan terbelakang. Masyarakat adat merupakan salah satu aktor penting dalam pembangunan bangsa yang memiliki suara dan agenda perjuangan.
Hadirnya disrupsi media dapat menjadi kesempatan untuk memperluas keberagaman suara bagi seluruh masyarakat, bukan pada tataran mempersempitnya pada logika klik, share, dan viral. Di peringatan hari masyarakat adat sedunia tahun 2025 dengan mengusung tema Indigenous People and AI: Defending Rights, Shaping Futures, kita suarakan optimisme bagi masyarakat adat dalam menyuarakan narasi perjuangan akan hak yang mereka miliki, sehingga terbentuk masa depan yang lebih baik.
Selamat Hari Masyarakat Adat Sedunia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.