Proses Terbentuknya Kelekak dan Kelukoi

Editor: edwardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi: Warga sedang mengambil air bersih di sumur umum ?Air Mungkus Kelekak Candu diwilayah Padang Lalang, Jumat (4/9). (

Hutan yang sudah ditebas, ditebangi dan dibersihkan secara bersama itu, lalu dibagi sesuai peruntukan atau sesuai kebutuhan tanam. Pembagian lahan untuk bertanam biasanya diundi melalui prosesi bermain gasing. Gasing dimainkan melalui sistem 'uri'.

Siapa yang gasingnya paling terakhir mati (berhenti berputar) maka diberikan kesempatan pertama untuk memilih posisi lahan. Begitulah seterusnya sampai masing-masing mendapat bagian.

Setelah semuanya mendapat bagian, bidang tanah tersebut ditanami padi atau lebih dikenal dengan 'berume'. Padi ditanam dengan cara 'ditugal' dan dilakukan bersama-sama.

Prosesi menugal padi secara bersama ini dinamakan 'beganjal' yakni, suatu sistem gotong-royong dimana para pesertanya tidak mendapatkan atau menerima imbalan apapun dari apa yang telah mereka kerjakan. Semata-mata ikhlas tanpa pamrih (bandingkan dengan 'besaoh' yakni, sestem gotong-royong dimana tenaga dibalas tenaga atau jasa dibalas jasa).

Selesai masa panen, bekas "ume' atau 'uma' ditanami dengan lada atau sahang. Begitu juga selanjutnya, ketika pohon lada sudah tidak produktif lagi, biasanya bekas kebun itu ditanami dengan tanaman keras seperti karet.

Sebagian lagi, ditanami bersama-sama dengan pohon penghasil buah seperti durian, cempedak, manggis, puren, tampui, rambai dan sebagainya. Praktis lahan yang bertahun-tahun mereka garap lantas ditinggalkan dan kembali membuka lahan baru dengan pola yang sama pula.

Jika dikaji lebih mendalam, tradisi bertanam masyarakat Bangka zaman dahulu, sebagaimana dipaparkan di atas, sesungguh para leluhur tempo dulu tidak saja bertanam untuk kepentingan sesaat. Melainkan bertanam untuk kepentingan generasi yang akan datang.

Mereka tidak sekadar menanam, akan tetapi juga memberi 'tanda' bahwa ada sebagian lahan yang kelak dapat diperuntukkan atau dapat diolah kembali oleh anak keturunan mereka (menjadi lahan milik pribadi) dan ada pula lahan yang kelak peruntukkannya khusus masyarakat banyak (wakaf) dan tetap terjaga eksistensinya.

Ada pun tanda yang dimaksud adalah kalau bekas huma/kebun ditanami dengan pohon karet maka kelak, tanah tersebut dapat diolah/dikuasai kembali oleh anak keturunan mereka. Sedangkan jika bekas huma/kebun ditanami bersama-sama dengan pohon penghasil buah, maka kelak, lahan berikut isinya akan menjadi milik masyarakat banyak yakni kelekak wakaf. (Tak menutup kemungkinan, ada juga sebagian masyarakat yang menanam secara sendiri-sendiri bekas kebun mereka dengan pohon penghasil buah, dan lambat laun menjadi kelukoi atau kelekak pribadi).

Tradisi bertanam masyarakat Bangka mulai dari berume, dilanjutkan berkebun sahang dan diakhiri dengan menanam tanaman keras (karet atau pohon penghasil buah), juga menunjukkan kalau masyarakat Bangka zaman dahulu merupakan masyarakat petani yang memiliki kesalehan dalam menjaga keseimbangan lingkungan alam dan manusia (kosmis magis).

Alam sekitarnya tidak sekadar dipahami sebagai ruang tempat menanam, akan tetapi merupakan ruang melakukan interaksi dengan cara menjaga keseimbangan kosmis berdasarkan rasa keadilan dan keadaban. Kesalehan keseimbangan alam dan manusia, ditandai dengan prilaku masyarakat Pulau Bangka tempo dulu sebagai masyarakat petani yang pandai membalas budi, yakni menghijaukan kembali bekas lahan garapan dengan pohon pengganti (kebun karet dan kelekak). Kebun karet yang kelak diharapkan dapat kembali digarap oleh anak keturunan di masa mendatang dan menjadi milik pribadi, serta kelekak yang kelak diharapkan tetap terjaga eksistensinya (tIdak untuk digarap) dan menjadi milik orang banyak (wakaf).

Oleh karena itu, eksistensi kelekak sesungguhnya juga merupakan wujud kesadaran masyarakat petani Pulau Bangka tempo dulu tentang adanya hubungan kosmis magis yang harus selalu dijaga. Kelekak dalam perspektif ini tak saja memiliki tujuan konsumtif, akan tetapi juga memiliki tujuan ekologis, yakni upaya pelestarian lingkungan (sustainable development) agar tidak gundul setelah sebelumnya dibuka kebun dan tetap terjaga eksistensinya sampai kapanpun.

3.Religius Magis

Selain melalui proses di atas, kelekak dapat pula terbentuk melalui proses yang disebut religius magis, yakni terbentuk karena adanya pengaruh kepercayaan akan roh-roh atau hal-hal ghaib lainya yang diyakni menguasai suatu tempat.

Misalnya terjadi perpindahan suatu masyarakat tempo dulu dari tempat tinggal mereka (perkampungan) akibat wabah penyakit yang diyakini disebabkan oleh gangguan makhluk ghaib (roh jahat). Lantaran wabah penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan dan semakin mewabah, maka masyarakat yang berdomisili di perkampungan tersebut akhirnya pindah ke kampung lain atau membangun perkampungan baru. Lokasi perkampungan yang ditinggalkan tersebut kemudian ditandai atau ditanami berbagai pohon penghasil buah yang lambat laun menjadi 'hutan buah-buahan' dan dikenal dengan sebutan kelekak.

Halaman
123
Tags:

Berita Terkini