Saat itu, dia sedang melaut menjalankan aktivitas sehari-harinya sebagai nelayan lokal.
Sebagai nelayan, hasil tangkapan tak bisa diprediksi. Kadang cukup buat makan, kadang bisa dijual untuk keperluan lain, kadang tidak dapat sama sekali.
Hari itu, Amri berangkat subuh agar mendapatkan rejeki yang lebih baik untuk keluarga.
Semua berjalan lancar, awalnya.
Meski belum mendapatkan hasil tangkapan, Amri tetap fokus mengais rejeki dari laut.
Tiba-tiba, ada telepon dari istri yang memintanya untuk segera pulang.
Sekedar informasi, Amri melaut tidak jauh, hanya sekitar 17 atau 18 kilometer dari bibir pantai.
"Bini bilang bang pulang, Jihan rewel," ucap Amri mengulang permintaan istri di telepon.
Sebetulnya, Amri mengaku sudah sejak awal cemas.
Jihan, sudah beberapa hari menangis tak henti-henti, siang dan malam.
Ternyata apa yang ditakutkan terjadi.
"Biniku dak berani ngomong. Emakku cerite, kate e Jihan dak de jubur (anus), ya ampun lemes rase e. Biniku ge kate emakku nak pingsan. Sebener e la berape hari, Jihan tuh nangis terus siang malem. Perutnya macem kembung, besar. Waktu pagi ku mancing tulah, pas bini mandiin e, die tekejut ngelihet dak de jubur e (anus)," cerita sambung Amri.
"Jadi men ku itung dari lahir, pas 37 hari baru tahu dak de jubur e (Jihan)," sambung Amri.
Mendengar kabar ini, membuat Amri dan Misrah panik sekaligus bingung.
Ia kemudian meminta bantuan kerabat dan keluarga untuk mencari kendaraan menuju ke rumah sakit.