Berita Viral

Siapa Mulyono yang Dikaitkan dengan Joko Widodo hingga Trending di X

Penulis: Fitri Wahyuni
Editor: Dedy Qurniawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Siapa Mulyono yang Dikaitkan dengan Joko Widodo hingga Trending di X

BANGKAPOS.COM -- Nama Mulyono dikaitkan dengan Presiden Joko Widodo hingga trending topik di akun X atau Twitter.

Hingga pukul 18.50, hampir lebih dari 200.000 warganet mencuitkan nama Mulyono di X.

Lantas siapa Mulyono dan apa hubungannya dengan Joko Widodo?

Terkuak ternyata Mulyono adalah nama kecil Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Nama asli Jokowi yang belakangan diketahui dengan Mulyono ini mencuat dan menjadi viral lantaran situasi di Indonesia tengah memanas.

Memanasnya situasi saat ini dipicu oleh DPR RI yang mengesahkan RUU Pilkada 2024.

Dimana DPR RI dinilai telah melanggar konstitusi dengan upaya menganulir keputusan Mahkamah konstitusi mengenai syarat usia calon kepala daerah.

Tak hanya dari kalangan mahasiswa dan masyarakat, sederet komika dan artis tanah air ikut turun ke jalan menyuarakan penolakannya.

Sementara itu, akun X yang membahas threat terkait nama asli Jokowi ini menyinggung ilmu klenik atau mistis yang berkaitan dengan perdukunan dan roh leluhur.

Ia menyebut, pemilik weton Rabu Pon akan melemah jika nama aslinya mencuat atau bahkan banyak disebut oleh khalayak. 

Tak ayal, netizen beramai-ramai mengirim pesan langsung ke akun X maupun Instagram Jokowi dengan memanggil nama kelahirannya 'Mulyono'.

Sosok Joko Widodo

Dikutip dari Kompaspedia, Presiden Joko Widodo lahir di Solo pada 21 Juni 1961 dari pasangan Widjiatno Notomihardjo dan Sudjiatmi.

Jokowi adalah anak sulung dan putra satu-satunya dari empat bersaudara.

Ketiga adik perempuannya, yaitu Iit Sriyantini, Ida Yati, dan Titik Relawati.

Ketika lahir, awalnya sang bayi tidak diberi nama Joko Widodo, tetapi Mulyono.

Dalam sebuah wawancara, Jokowi menceritakan asal-usul pergantian nama dari Mulyono menjadi Joko Widodo karena dirinya saat kecil sempat sakit-sakitan.

Nama Mulyono, yang berarti “mulia”, kemudian dirasa tidak cocok untuk bayi kecil itu.

Jokowi lahir dari keluarganya sederhana, saat kecil ia dan keluarga tinggal di sebuah rumah kontrakan sekitar bantaran Kali Anyar di Kampung Cinderejo Lor, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Solo.

Kali Anyar hanya berjarak 20 meter dari rumah orang tua Jokowi.

Selama 12 tahun, Jokowi kecil bersama orang tuanya tinggal di bantaran kali itu.

Untuk menghidupi keluarga, ayahnya berjualan kayu dan bambu di tepi kali.

Bahkan, ayah Jokowi terpaksa berulang kali membawa keluarganya hidup berpindah dari satu rumah sewa ke rumah sewa lainnya.

Tempat tinggal mereka di bantaran Kali Anyar pernah kena gusur Pemerintah Kota Solo.

Mereka kemudian menumpang di kediaman kerabat ayahnya di daerah Gondang.

Pendidikan dasar ditempuh Jokowi di SD Negeri 112 Tirtoyoso, Solo, dan lulus tahun 1973.

Lalu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Surakarta hingga lulus tahun 1976, berlanjut ke SMA Negeri 6 Surakarta dan lulus tahun 1980.

Jokowi melanjutkan ke jenjang S1 mengambil kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Jokowi mengambil jurusan teknologi kayu.

Ia belajar lebih dalam tentang kayu, mulai dari pemanfaatan kayu, struktur kayu, hingga teknologi kayu.

Joko Widodo mengambil bidang studi teknologi kayu karena dirinya sangat erat dengan dunia perkayuan sejak kecil.

Jokowi lulus dari UGM tahun 1985 dengan skripsi berjudul “Studi tentang Pola Konsumsi Kayu Lapis pada Pemakaian Akhir di Kodya Surakarta”.

Setahun setelah lulus, Jokowi menikah dengan Iriana pada 24 Desember 1986.

Dari pernikahan tersebut, Jokowi dan Iriana dikaruniai dua anak laki-laki dan satu anak perempuan.

Mereka adalah Gibran Rakabuming Raka (1987), Kahiyang Ayu (1991), dan Kaesang Pangarep (1994).

Indonesia Darurat Demokrasi, Rakyat Sipil: Selamatkan Konstitusi, Turunkan Jokowi!

Kelompok massa yang memberi dukungan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (22/8/2024), bergerak ke Gedung DPR RI.

Mereka yang terdiri dari guru besar, akademisi, dan aktivis 1998, itu bergabung dengan massa aksi di depan Gedung DPR RI, Senayan.

Rakyat Indonesia menilai keputusan Badan Legislasi DPR untuk menolak putusan MK merupakan bentuk nyata pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi dan kedaulatan rakyat. 

Pemerintah dan DPR dianggap melakukan pembangkakan terhadap konstitusi, hingga merampok hak rakyat atas demokrasi.

"Karena itu, kita ke Gedung DPR untuk menyetop DPR melakukan langkah-langkah binal, langkah-langkah brutalnya. Atau (DPR) dibubarkan oleh rakyat!” ujar Jubir Maklumat Juanda, Alif Ilman saat orasi di depan Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024).

Sebagian massa yang ada di depan MK juga didorong untuk bisa mengikuti aksi Kamisan yang akan diadakan pada pukul 15.00 WIB di Taman Pandang, Istana Merdeka.

Massa membubarkan diri setelah sejumlah perwakilan mereka diterima langsung oleh Juru Bicara MK, Fajar Laksono dan anggota MKMK, Yuliandri.

Dalam pertemuan dan diskusi itu, perwakilan massa menyampaikan sejumlah catatan dan sikap mereka terhadap situasi demokrasi saat ini.

 “Kami para guru besar, akademisi, aktivis pro demokrasi, civil society dan aktivis 1998 menyatakan, telah terjadi pelanggaran secara sistematis terhadap konstitusi UUD 1945 oleh penguasa yang telah menjalankan kekuasaan secara autocratic legalism dan korup,” ujar mantan kader Partai Golkar Wanda Hamidah dalam pertemuan dengan pihak MK.

Massa juga menyatakan dukungan mereka terhadap putusan MK yang dinilai pro demokrasi, terutama terkait dengan putusan 60 dan 74 tahun 2024.

Sebelumnya, Aktivis 1998 dan para akademisi memekikkan “Selamatkan demokrasi”, “Selamatkan Konstitusi” saat tiba di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan aksi unjuk rasa untuk mengawal putusan MK terkait dengan UU Pilkada.

“Selamatkan demokrasi. Selamatkan Konstitusi. Turunkan Jokowi,” pekik para aktivis saat berjalan dari arah Gedung RRI ke depan Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024).

 Massa datang ke MK sambil membawa sejumlah spanduk dan banner.

Beberapa di antaranya bertuliskan “MK itu Solusi Jangan Lu Lagi Lu Lagi”,”#Save MK Jangan Begal Konstitusi”, “Demokrasi di Titik Nadir”.

Lalu, ada juga, banner ukuran besar bertuliskan ”Indonesia Darurat Demokrasi, Matinya Demokrasi Indonesia”, “Baleg DPR Pembangkang Konstitusi”, “Tolak Pilkada Akal-akalan Penguasa, Kawal Putusan MK”.

Demokrasi Indonesia kembali berada di ambang krisis serius saat Baleg DPR dengan berani menentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Alih-alih menjalankan peran konstitusionalnya untuk menjaga supremasi hukum, DPR justru melangkah lebih jauh dengan menolak putusan yang seharusnya menjadi dasar hukum tertinggi.

Padahal, putusan MK bersifat mengikat dan non-binding.

Keputusan ini dinilai tidak sekadar mencerminkan penolakan terhadap batas usia calon kepala daerah, tetapi lebih dalam dari itu, mengisyaratkan adanya pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi dan kedaulatan rakyat yang menjadi fondasi negara ini.

(Bangkapos.com/Kompas.com)

Berita Terkini