Ini Alasan Gugatan PDIP soal Pencalonan Gibran Ditolak PTUN

Editor: M Zulkodri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gugatan PDIP soal Pencalonan Gibran Ditolak PTUN - Ketua Tim hukum PDI-P Gayus Lumbuun (tengah) usai mengajukan gugatan untuk KPU di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Cakung, Jakarta Timur, Selasa (2/4/2024).

BANGKAPOS.COM -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Gugatan tersebut berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden RI.

Seperti yang diketahui, saat ini Gibran telah remsi dilantik sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Presiden Prabowo Subianto.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik di Gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta, pada Minggu (20/10/2024).

Meski telah resmi dilantik sebagai wakil presiden, proses hukum yang dilayangkan oleh PDIP terus bergulir di pengadilan.

Kabar terbaru, PTUN menolak gugatan PDIP soal pencawapresan Gibran Rakabuming Raka.

Putusan terhadap gugatan PDIP dengan nomor perkara 133/G/TF/2024/PTUN.JKT itu diketok Majelis Hakim PTUN Jakarta pada Kamis (24/10/2024) secara elektronik melalui e-court.

"Dalam pokok perkara, menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima," tulis Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta melalui situsnya.

Majelis hakim PTUN menyatakan bahwa putusan itu dibuat berdasarkan peraturan perundangan-undangan.

Berdasarkan hasil putusan itu pula, pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) dinyatakan sah.

Tak hanya menolak, majelis hakim PTUN juga menghukum PDIP untuk membayar biaya perkara ini dengan sejumlah Rp 342.000.

Perkara ini diadili oleh tiga hakim yakni Joko Setiono, Yuliant Prajaghupta, dan Sahibur Rasid.

"Menyatakan gugatan penggugat tidak diterima," demikian amar putusan tersebut.

Juru Bicara PTUN Irvan Mawardi mengatakan kepada wartawan alasan gugatan PDIP ditolak.

Bahwasannya salah satu pertimbangan gugatan tidak diterima karena hakim menilai karakteristik permasalahan atau sengketa hukum itu berada dalam sengketa proses pemilu.

Ia menjelaskan penyelesaian sengketa pemilu secara khusus telah diatur pasal 470 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu juncto pasal 2 Perma Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di PTUN.

"Sehingga sengketa ini tidak dapat dimaknai sebagai tindakan atau perbuatan melawan hukum, sebagaimana pasal 1 angka 4 Perma Nomor 2 Tahun 2019 dan juga tidak termasuk sengketa hasil, bukan sengketa hasil pemilu, sebagaimana ketentuan UU Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan UU Nomor 5 tahun 1986," kata Irvan, Kamis.

Ia mengatakan masih ada upaya hukum banding bagi pihak yang tidak puas dengan putusan tersebut.

"Bahwa ini putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga masih dapat dilakukan upaya hukum berikutnya yakni banding ke PTTUN Jakarta, apabila ada pihak tidak puas dengan putusan majelis hakim,"pungkasnya.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Ketua Tim Kuasa Hukum PDIP Gayus Lumbuun mengatakan, gugatan ini bukan merupakan bagian dari sengketa Pilpres 2024 yang sudah ditetapkan di Mahkamah Konstitusi.

Menurut dia, PDIP menggugat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU.

Gayus menyebut esensi gugatan ini sebetulnya agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bisa mempertimbangkan apakah bakal melantik Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih Gibran.

"PDIP ingin memberikan pertimbangan kepada publik bahwa ada pelanggaran hukum dalam penetapan Gibran Rakabuming Raka,” ucap Gayus ada 2 Mei 2024 lalu.

Adapun sebelumnya gugatan dilayangkan PDIP yang teregister dengan nomor perkara 133/G/TF/2024/PTUN.JKT.

Sebagai penggugat diwakili oleh Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP.

Dalam petitumnya, PDIP juga meminta agar PTUN mewajibkan KPU untuk tidak melakukan tindakan administrasi pemerintahan sepanjang berkaitan dengan kepentingan pelantikan cawapres terpilih periode 2024-2029 atas nama Gibran Rakabuming Raka.

PDIP meminta majelis hakim PTUN Jakarta memerintahkan KPU untuk menunda pelaksanaan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024 sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Majelis hakim juga diminta memerintahkan KPU untuk tidak menerbitkan dan melakukan tindakan administratif apa pun sebagai bagian dari pelaksanaan Keputusan KPU 360/2024 sampai dengan perkara a quo berkekuatan hukum tetap.

Dalam pokok perkara, PDIP meminta majelis hakim PTUN Jakarta menyatakan batal Keputusan KPU dimaksud.

Selain itu, majelis hakim diminta memerintahkan KPU untuk mencabut kembali Keputusan KPU 360/2024.

"Memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan tindakan mencabut dan mencoret pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto dan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih berdasarkan suara terbanyak sebagaimana tercantum pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 360 Tahun 2024," bunyi petitum PDIP.

Adapun Prabowo-Gibran telah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada Minggu (20/10/2024) lalu.

Mereka juga telah membentuk dan melantik menteri dan wakil menteri serta Kepala Badan di Kabinet Merah Putih.

Memahami Gugatan PDI-P atas KPU ke PTUN

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Sunny Ummul Firdaus mengatakan, tak ada lembaga peradilan lain di luar Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat menyelenggarakan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

Oleh karena itu, keputusan mengenai perselisihan hasil pemilu yang dibacakan oleh MK bersifat final dan tidak dapat diubah.

Meski demikian, masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan selama proses pemilu, baik perorangan maupun lembaga, dapat mengajukannya ke PTUN.

“PTUN merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi masyarakat Indonesia yang mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara,” ujat Sunny saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/4/2024).

Sebagai informasi, sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul antara orang, atau badan hukum, atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun daerah, sebagai akibat diambilnya keputusan tata usaha negara.

Dalam hal ini, Sunny menyebutkan bahwa gugatan PDI-P ke PTUN bukan tentang selisih hasil pemilu, melainkan sengketa tata usaha berupa proses pemilu.

“Meskipun demikian, terdapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2017 mengatur tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara," jelas dia.

"Jadi selain di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sengketa proses pemilihan umum juga dapat diselesaikan di PTUN,” lanjutnya.

Adapun sengketa proses pemilu yang dapat diselesaikan di PTUN, antara lain sengketa antara partai politik calon peserta Pemilu, atau calon anggota DPR, DPD, DPRD, atau bakal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang tidak lolos verifikasi dengan KPU, KPU Provinsi, maupun KPU Kabupaten/Kota.

Sunny menjelaskan, semua pihak yang merasa dirugikan dalam proses pemilu atau ada dugaan suatu hal yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka pihak tersebut dapat menggugatnya ke PTUN.

Adapun pihak yang dapat mengajukan diri sebagai penggugat, antara lain beberapa orang atau organisasi, seperti calon anggota DPR, DPD, DPRD, calon presiden dan calon wakil presiden.

Sementara itu, objek yang menjadi bahan sengketa proses pemilu adalah keputusan KPU mengenai partai politik calon peserta politik, daftar tetap calon legislatif (caleg), maupun penetapan pasangan capres-cawapres.

“Jadi kita harus membedakan antara perselisihan hasil pemilu dan sengketa proses pemilu. Itu merupakan hak warga negara untuk mencari keadilan,” kata Sunny.

Lebih lanjut, Sunny menilai bahwa PDI-P terlambat mengajukan sengketa proses Pemilu 2024 ke PTUN.

Idealnya, penggugat mengajukan gugatan kepada objek sengketa yang merupakan bagian dari keputusan KPU sebelum pemungutan suara dilaksanakan.

Hal tersebut sesuai dengan Perma Nomor 5 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa objek yang diperkarakan adalah hal-hal yang terjadi sebelum pemungutan suara.

“Objek sengketa itu bisa banyak, putusan KPU, putusan Bawaslu, dan sebagainya. Apabila dilihat dari definisinya, masih ada kata calon dalam putusan," ujarnya.

"Jadi yang dipersoalkan terjadi jauh sebelum pemungutan berlangsung dan terlepas dari persoalan hasil,” sambungnya.

(Bangkapos.com/Tribun-Medan.com/Kompas.com)

Berita Terkini