Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah

Hakim Tegur Harvey Moeis, Jawabannya Sudah Disetting, Tak Nyambung dengan Pertanyaan

Penulis: Hendra CC
Editor: Hendra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah Harvey Moeis mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (5/9/2024).

BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim menegur Harvey Moeis dalam sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara sebesar Rp300 triliun.

Teguran tersebut disampaikan hakim anggota Alfis Setiawan, karena Harvey dianggap tidak mendengarkan pertanyaan hakim dengan baik, khususnya terkait jumlah uang yang dikumpulkan oleh bos-bos smelter swasta untuk dana corporate social responsibility (CSR) dalam kerja sama dengan PT Timah Tbk.

Hakim juga marah lantaran Harvey Moeis berbicara terus-menerus tanpa mendengarkan pertanyaan. Hakim menduga jawaban Harvey telah disetting.

Harvey dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Beneficial owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia, Tamron alias Aon, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (4/11).

Awalnya, Harvey menyatakan bahwa tidak ada jumlah minimum dari uang yang dikumpulkan oleh bos-bos smelter
swasta tersebut, karena sifatnya yang sukarela.

“Tidak ada yang minimum (uang dari bos smelter) karena sifatnya sumbangan dan sukarela,” kata Harvey.

“Bukan, itu makanya dengarkan dulu pertanyaannya. Jangan langsung nyerocos saja, kayak sudah disetting saudara
mau ngomong apa, makanya nyerocos saja. Pertanyaan saya didengar dulu,” tegur Hakim.

“Ini enggak nyambung pertanyaan saya sama penjelasan saudara, kayak sudah diajarin saudara tadi, ini saja, atau sudah dihapalin, maka dengarkan dulu,” kata Hakim.

Hakim kemudian mengulangi pertanyaannya mengenai jumlah uang yang diterima Harvey dari Helena Lim, pemilik PT
Quantum Skyline Exchange.

“Tidak ada mininumnya, Yang Mulia,” jawab Harvey.

“Kan ini bervariasi, tidak dicatat? Tidak ingat? Saudara pengusaha batu bara loh. Yang masuk akal dong,” ujar
Hakim.

“Saya tidak ingat, Yang Mulia, tidak dicatat,”jawabnya.

Hakim mempertanyakan mengapa Harvey tidak mencatat jumlah uang yang diterimanya, padahal seharusnya ada laporan keuangan kepada Kapolda Bangka Belitung.

“Tidak saya catat, itu catat bagi saya agar lebih tertib, Yang Mulia,” ucap dia.

Alkes Covid-19

Dalam sidang tersebut, Harvey juga mengungkapkan bahwa dana CSR yang dikumpulkan dari bos-bos smelter digunakan untuk membeli alat kesehatan terkait Covid-19.

Hal tersebut disampaikan Harvey dalam sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga timah untuk empat terdakwa yaitu Beneficial Ownership CV Venus Inti Perkasa (VIP) sekaligus Komisaris PT Menara Cipta Mulia (MCM) Tamron; General Manager Operational CV Venus Inti Perkasa Ahmad Albani; Direktur Utama CV Venus Inti Perkasa Hassan Thjie alias Asin; dan wiraswasta Kwang Yung.

“Untuk Covid-19, Yang Mulia. Saya belikan alat-alat Covid-19, Yang Mulia,” ujarnya.

Hakim kemudian mempertanyakan relevansi penggunaan dana tersebut untuk alat kesehatan.

“Apa urusannya saudara dengan alat Covid-19?” tanya hakim.

“Ketika itu kondisinya semuanya lagi kekurangan, Yang Mulia, ada kawan kami yang kebetulan main alkes, kebetulan
beliau menawarkan,” jawab Harvey.

Harvey mengaku belum memberikan informasi kepada para bos smelter bahwa dana tersebut digunakan untuk membeli alat kesehatan.

Ia menyebutkan bahwa alat kesehatan tersebut disalurkan ke dua rumah sakit, yaitu RSCM dan RSPAD.

Harvey mengatakan, alat kesehatan itu langsung dikirimkan oleh produsen ke rumah sakit mengingat sulitnya mendapatkan alat kesehatan tersebut. 

“(Dikirim oleh) Yang menjual itu, dia bilang waktu itu karena alat-alat jarang sekali susah didapat, dia menyampaikan
kepada saya bahwa dia bisa dapat alokasi 3 alat ventilator dan 2 alat PCR, Yang Mulia,” ucap Harvey.

Smelter Tak Tahu

Setelah itu, Hakim mendalami lagi soal penggunaan dana yang tadinya untuk CSR itu apakah diberitahu Harvey Moeis kepada para smelter swasta.

Harvey Moeis mengatakan dirinya tidak memberitahu kepada para smelter swasta jika uang-uang tersebut digunakan untuk membeli peralatan Covid-19.

“Jadi uang itu digunakan untuk beli alat Alkes? Ada keuntungan ya dari Alkes itu?” tanya Hakim.

“Saya bukan pemainnya Yang Mulia, saya hanya ikut menyumbang Yang Mulia,” ujar Harvey Moeis.

“Disampaikan enggak kepada smelter itu uang itu digunakan untuk itu?,” tanya Hakim.

“Belum sempat Yang Mulia,” pungkas Harvey Moeis.

Adapun terkait hal ini sebelumnya dalam dakwaan penuntut umum Ada empat perusahaan smelter swasta yang mengumpulkan dana pengamanan kepada Harvey Moeis melalui Helena Lim, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Inter Nusa.

Masing-masing menyerahkan uang pengamanan dengan nilai yang berbeda-beda. Dari CV VIP, pemiliknya, yakni Tamron alias Aon menyerahkan Rp 122 miliar lebih kepada Harvey Moeis langsung maupun melalui Helena Lim ke
money changer miliknya, PT Quantum Skyline Exchange.

Kemudian Robert Indarto dari PT Sariwiguna Binasentosa enam kali menyerahkan uang pengamanan dalam bentuk
Dolar Amerika Serikat dan Singapura.

Uang dari Robert Indarto ini ditransfer ke rekening PT Quantum Skyline Exchange milik Helena Lim. Selanjutnya Suwito Gunawan sebagai perwakilan PT Stanindo Inti Perkasa menyerahkan uang pengamanan ke rekening PT Quantum Skyline Exchange sebanyak enam kali. Tiga di antaranya, dia memerintahkan anak buah.

Penyerahan sendiri dilakukannya pada 18 Desember 2023 sebesar USD 500 ribu dan 10 Agustus 2018 sebesar Rp
1,5 miliar. 

Sedangkan melalui anak buahnya, Suwito memerintahkan penyerahan uang sebanyak tiga kali sebesar Rp 500.000.000, Rp 600.000.000, dan Rp 1.000.000.000.

Kemudian dari PT Tinindo Inter Nusa melakukan setor tunai uang ke Money Changer PT Quantum Skyline Exchange
melalui Bank BCA sebesar SGD 25.000 tiap kali setoran sejak 2018 sampai dengan 2020.

Jaksa juga mengungkapkan bahwa perbedaan besaran uang pengamanan dari para perusahaan smelter ini bergan-
tung pada banyaknya hasil tambang.

Para perusahaan smelter swasta ditarik biaya pengamanan USD 500 sampai USD 750 untuk setiap ton.

Atas perbuatannya Helena didakwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-1 KUHP terkait dugaan korupsi.

Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 56 ke-1 KUHP. (kcm/tribunnews.com)

Berita Terkini