Oleh: Chairul Aprizal, S.K.M. - Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
TERNYATA bangsa ini sudah cukup "berumur". Tepat di bulan ini, 17 Agustus 2025, umur kemerdekaan Indonesia sudah 80 tahun. Delapan puluh tahun menyimpan refleksi perjalanan panjang bangsa Indonesia. Apakah rakyat sudah benar-benar merasakan merdeka dalam kesehatan?
Delapan puluh tahun yang lalu, seluruh elemen bangsa Indonesia ini berjuang untuk merebut kemerdekaan. Kemerdekaan yang menjadi cita-cita rakyat Indonesia. Merdeka dari penjajahan bangsa lain, dan kini perjuangan itu dilanjutkan bukan dengan senjata, tetapi dengan memastikan seluruh rakyat Indonesia merdeka dalam kesehatan. Apakah saat ini cita-cita rakyat Indonesia dalam hal kesehatan sudah benar-benar tercapai?
Mendapatkan pelayanan dan akses kesehatan adalah hak seluruh rakyat Indonesia sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya Pasal 28H Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat (3). Negara wajib menjamin seluruh rakyat, tanpa diskriminasi, dapat mengakses pelayanan kesehatan yang adil, merata, dan bermutu. Pertama menjamin kesehatan secara menyeluruh. Jaminan kesehatan universal saat ini yang diberikan negara kepada rakyat melalui program dari BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan hadir sebagai instrumen mewujudkan cita-cita tersebut. JKN dianggap telah menjamin kesehatan secara universal dengan klaim lebih dari 240 juta penduduk sudah terjangkau. Instrumen besar ini dipromosikan sebagai salah satu desain jaminan kesehatan terbesar di dunia. Teorinya rakyat Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan yang setara kaya ataupun miskin sehingga membuat yang miskin tetap mendapatkan pelayanan kesehatan dan yang kaya tidak jatuh miskin ketika berobat. Namun realitasnya masih jauh dari potret idealnya.
Realitas
Tentunya rakyat masih merasakan perbedaan yang sangat jelas antara layanan dan akses di perkotaan dan kawasan pedesaan. Di daerah perkotaan, rakyat dapat dengan mudah mengakses rumah sakit dengan fasilitas sarana dan prasarana yang modern.
Sementara itu, jauh di pedesaan sana, kesehatan masih memiliki banyak kelemahan yang vital seperti fasilitas kesehatan yang kekurangan tenaga medis, obat, hingga peralatan dasar kesehatan. Kekurangan-kekurangan yang terus memaksa rakyat yang berada di kawasan pelosok desa harus menempuh jarak yang berjam-jam untuk pelayanan kesehatan dasar.
Asuransi kesehatan belum ideal
Walaupun sekarang pemerintah meyakini BPJS Kesehatan menjadi tonggak penting dalam menyejahterakan rakyat, tetapi sistem ini belum mencapai kemerdekaan kesehatan bagi rakyat. Pertama, tahapan-tahapan dalam administrasi yang masih berbelit-belit, antrean yang panjang, tidak semua layanan ditanggung karena ada beberapa layanan yang dibatasi, sampai beban biaya pengobatan yang besar membuat anggaran pemerintah defisit, menjadi catatan hitam.
Di beberapa pengalaman rakyat, khususnya pasien rujukan, ada pasien yang mesti menunggu berhari-hari untuk bergiliran mendapatkan kamar rawat inap yang dengan alasan penuh. Bahkan sebagian dari pasien yang tidak mendapatkan kamar rawat mendapatkan penolakan atau diminta pindah ke rumah sakit lain meskipun peserta BPJS aktif. Tidak heran pemerintah daerah menyiapkan rumah singgah bagi pasien yang rujukan ke rumah sakit di luar daerah. Asuransi ini belum mencapai kesempurnaan yang diharapkan dalam pelayanan kesehatan.
Fasilitas dan pelayanan kesehatan
Puskesmas yang digadang-gadang sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada rakyat sering bekerja di bawah tekanan besar. Kekurangan tenaga, keterbatasan obat, dan alat kesehatan yang usang membuat pelayanan jauh dari ekspektasi. Berobat tidak selalu harus ke rumah sakit karena dalam sistem asuransi kesehatan alur penanganan pasien memiliki kriteria yang telah diatur.
Tidak semua penyakit harus selalu dirujuk, dokter di tingkat puskesmas yang akan menentukan pasien tersebut layak dirujuk ke rumah sakit atau ditangani cukup pada tingkat puskesmas. Namun, terkadang kekurangan yang dimiliki puskesmas, ditambah lagi intervensi pasien atau kerabat pasien (termasuk intervensi pejabat berpengaruh) membuat pasien terpaksa dirujuk. Dengan demikian, rumah sakit tertumpuk oleh pasien yang seharusnya cukup dilayani pada tingkat puskesmas.
Apalagi perilaku pelayanan dari tenaga kesehatan/medis tidak mencerminkan keramahan dan kenyamanan terhadap pasien. Memberikan kesan kepada rakyat bahwa pelayanan kesehatan saat ini masih memiliki "tembok api" yang memisahkan antara pelayanan kesehatan dan rakyat. Meskipun begitu, di beberapa daerah pelosok tertentu masih ada pahlawan-pahlawan sunyi kesehatan yang rela menyeberangi sungai dan masuk ke daerah sulit akses transportasi hanya untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya.
Beban berlapis penyakit
Permasalahan kesehatan, khususnya kasus penyakit di Indonesia, kian kompleks. Saat ini, Indonesia memiliki tekanan berlapis penyakit. Penyakit menular, penyakit tidak menular, hingga permasalahan stunting yang menggentayangi calon generasi emas 2045. Penyakit-penyakit menular seperti DBD (demam berdarah dengue) dan tuberkulosis masih menjadi PR besar yang belum terkendalikan. Penyakit menular ini, bahkan menular mendahului upaya promosi dan penanganan pengendaliannya.
Penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, jantung, dan kanker ikut mengalami peningkatan. Di era modernisasi ini justru tren penyakit tidak menular ini mulai menyasar kepada usia muda. Upaya-upaya promosi yang kalah menarik dengan iklan-iklan gaya hidup modern seperti hadirnya rokok elektrik, dan produk makanan instan membuat gaya hidup rakyat menjadi tidak sehat.
Belum lagi dengan masalah stunting yang saat ini membuat masalah kesehatan Indonesia lebih kompleks. Tantangan ini hanya bisa dijawab dengan memperkuat prinsip prinsip promosi dan pencegahan bukan hanya penanganan dan pengobatan saja.
Merdeka kesehatan cita-cita dan realitas?
Menarik beberapa akar masalah yang menghambat cita-cita kemerdekaan kesehatan bangsa Indonesia sebagai berikut ini. Kebijakan-kebijakan yang saat ini ternyata belum benar-benar memihak kepada rakyat kecil. Pemerintah memiliki program-program besar, tetapi implementasi sering bias pada level daerah dan kelompok menengah ke bawah.
Program pembangunan rumah sakit besar modern hanya menjangkau wilayah perkotaan sementara di daerah-daerah yang pelosok realitanya rakyat dan tenaga kesehatan kesulitan mendapatkan fasilitas yang memadai.
Program besar lainnya digitalisasi layanan kesehatan seperti antrean online, mobile JKN, dan sebagainya yang hanya bisa disentuh oleh daerah dengan akses internet stabil, sementara di desa-desa yang blank spot program ini tidak pernah bisa dimanfaatkan. Dan masih banyak lagi program besar yang niatnya baik tetapi tidak tersentuh ke rakyat kecil.
Konsentrasi kepada upaya kuratif yang berlebihan. Pemerintah terus memperkuat upaya pengobatan dengan meningkatkan alat-alat kesehatan yang modern dengan anggaran besar. Beasiswa kesehatan yang hanya digelontorkan untuk membiayai tenaga dokter, sementara tenaga-tenaga kesehatan lainnya minim beasiswa. Mengakomodasi tuntutan kebutuhan hanya pada kelompok-kelompok tenaga kedokteran dan tidak melihat tenaga kesehatan lainnya yang juga butuh dukungan.
Begitu besarnya biaya untuk kesehatan yang digelontorkan untuk pelayanan pengobatan, sedangkan pelayanan yang mendukung pencegahan dan promosi hanya sebatas pertemuan kampanye seremonial, dan penyuluhan.
Dan akar masalah kesehatan lainnya seperti distribusi tenaga medis seperti dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang tidak merata antara perkotaan dan pedesaan. Literasi kesehatan yang rendah dan faktor ekonomi rakyat yang lemah membuat tingkat kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan menjadi lemah.
Memupuk benih kemerdekaan kesehatan yang diimpikan
Pertama, menguatkan layanan primer kesehatan khususnya puskesmas, posyandu, pustu, dan klinik desa karena dari layanan inilah episentrum kesehatan masyarakat itu hidup. Layanan kesehatan yang sejatinya berada di dekat masyarakat, langsung bersentuhan dengan rakyat kecil. Penguatan-penguatan seperti distribusi tenaga, alat, dan dukungan teknologi yang tepat untuk meningkatkan layanan primer.
Kedua, reformasi BPJS Kesehatan dengan mengurai benang kusut sistemnya, mempermudah alur pelayanannya, memperluas cakupan pelayanannya, menginventaris kepesertaannya, dan memperketat pengawasannya agar rakyat tidak dilempar ke sana ke mari dalam pelayanan, juga mencegah diskriminasi atau nepotisme pelayanan.
Ketiga, meningkatkan budaya kesehatan berbasis kearifan lokal, termasuk dalam pemanfaatan pangan lokal. Gerakan-gerakan budaya kesehatan, gaya hidup sehat yang didukung dengan kebijakan berbasis kearifan lokal untuk mencegah penyakit-penyakit tidak menular. Seperti gerakan senam sehat yang difasilitasi oleh pemerintah, kebijakan gotong royong dan bersih-bersih mencegah penularan DBD yang dijadikan kebiasaan rutin, dan menggerakkan masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal dengan menjaga produktivitas petani, nelayan, dan peternak yang ada.
Penguatan berorientasi promosi dan preventif ini sekaligus untuk melawan stunting. Tidak lupa merevolusi mental pelayanan menjadi ramah dan inklusif membuat pasien bukan sekedar objek. Pasien menjadi subjek utama yang harus dilayani dengan empati dari tenaga kesehatan.
Tahun 2025 dengan hitung mundur 80 tahun sudah rakyat merdeka, bangsa ini sudah mengarungi petualangan panjang. Kemerdekaan kesehatan bukan hanya slogan berobat gratis, tetapi memastikan masyarakat sehat tanpa perlu berobat adalah hakikat kemerdekaan itu sendiri.
Maka tugas kita adalah melanjutkan perjuangan kemerdekaan ini. Bukan dengan mengokang senjata, atau mengangkat bambu runcing, tetapi memberikan rakyat kebijakan yang menyentuh, pelayanan tanpa diskriminasi, dan kesadaran sosial menjaga kesehatan bangsa. (*)