Tribunners

Masyarakat Adat dalam Pusaran Disrupsi Media 

Editor: suhendri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

M Adha Al Kodri - Dosen Kriminologi Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

Oleh: M Adha Al Kodri - Dosen Kriminologi Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

BULAN Agustus tidak hanya menjadi momen penting dalam menyambut perayaan kemerdekaan Indonesia. Lebih dari itu, Agustus juga menjadi bagian penting bagi masyarakat adat, khususnya masyarakat di Indonesia dalam menyuarakan eksistensi dan perjuangannya dalam memperoleh pengakuan atas identitas, wilayah, hak atas tanah, serta sumber daya alam yang telah mereka jaga selama bertahun-tahun. 

Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat sebagai komunitas adat (Dalidjo, 2021).

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi 49/214 tertanggal 23 Desember 1994 telah memutuskan Hari Masyarakat Adat Sedunia diperingati setiap tanggal 9 Agustus. Peringatan ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan berupaya mempertahankan eksistensi kebudayaan yang mereka miliki. Namun juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam melindungi hak-hak masyarakat adat. 

Di tengah kuatnya arus modernisasi yang salah satunya ditandai dengan hadirnya disrupsi media, makin membuat kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat. Tantangan tersebut tidak hanya berkaitan dengan ketimpangan akses atau marginalisasi ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan eksistensi narasi di ruang publik digital. Disrupsi merupakan suatu fenomena di mana terdapat sejumlah perubahan atau lompatan besar, yang keluar dari tatanan lama, dan mengubah sistem lama menjadi sebuah sistem baru (Gabriel, 2022).

Era disrupsi media yang ditandai dengan lahirnya media sosial sebagai platform berita, konten video dan podcast, hingga munculnya media berbasis artificial intelligence (AI). Perkembangan ini di satu sisi dapat membuka peluang baru bagi masyarakat adat. Namun di sisi lain, hadirnya disrupsi media justru dapat memperlebar jurang ketimpangan naratif. Masyarakat adat bukan hanya berisiko menjadi invisible (tak terlihat), tetapi juga dapat menjadi korban misrepresentasi yang sistematis.

Peluang masyarakat adat di era disrupsi media

Disrupsi media merupakan perubahan fundamental yang terjadi berkaitan dengan cara media beroperasi dan berinteraksi dengan audiensnya. Kondisi ini menandai terjadinya pergeseran besar dalam proses produksi, penyebaran, dan pola konsumsi informasi. Dahulu, media massa konvensional seperti radio, televisi, dan surat kabar menjadi otoritas tunggal. Berbeda halnya yang terjadi di era disrupsi media. Kini, siapa saja bisa menjadi aktor penyebar informasi (citizen journalism) yang cepat melalui media sosial. 

Hal ini menandai terjadinya demokratisasi media dan sekaligus memberikan ruang yang luas bagi masyarakat adat dalam menyuarakan keberadaan dan perjuangannya. Artinya, media sosial, podcast, dan hadirnya AI dapat digunakan masyarakat dalam mengembangkan kemampuan self-representation, yakni menyuarakan identitas dan narasinya sendiri. Media sosial, konten video, podcast, dan hadirnya AI menjadi alat untuk menceritakan kisah komunitas dari sudut pandang mereka sendiri.

Selain itu, disrupsi media memberikan peluang bagi masyarakat adat dalam mendokumentasikan atau mengarsipkan pengetahuan dan kebudayaan yang dimiliki. Langkah ini menjadi penting di tengah ancaman kepunahan budaya akibat modernisasi.

 Di sisi lain, hadirnya disrupsi media memungkinkan masyarakat adat membangun solidaritas dan jejaring global. Dengan demikian, isu perjuangan yang dahulu hanya bersifat lokal dapat menjadi perhatian dunia. 

Media sosial seperti Instagram dan X menjadi contoh nyata ruang maya menjadi ruang advokasi melalui tagar yang dapat mengangkat berbagai isu, baik dari level nasional hingga internasional. Hal ini tentunya memaksa berbagai pihak, baik pemerintah, perusahaan, maupun kelompok lainnya untuk lebih berhati-hati karena sorotan publik bisa berdampak pada reputasional.

Tidak kalah penting, hadirnya disrupsi media dapat memberikan ruang edukasi, literasi, dan penguatan kapasitas bagi masyarakat adat melalui pendidikan maupun pelatihan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan generasi muda adat yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga mampu menggunakan teknologi sebagai ruang advokasi bagi masyarakat adatnya.

Di sisi lain, hadirnya disrupsi media juga memberikan peluang ekonomi berbasis budaya bagi masyarakat adat, seperti kerajinan tangan, musik tradisional, pariwisata virtual, hingga kuliner lokal. Bila strategi ini dijalankan, maka dapat menjadi sumber pendapatan tanpa mengorbankan nilai budaya yang ada.

Dengan kata lain, hadirnya disrupsi media tidak hanya sekadar berfokus pada pelestarian, namun juga menjadi basis pengembangan ekonomi kreatif, pendidikan adat berbasis teknologi, hingga sumber pengetahuan alternatif yang bermanfaat untuk kepentingan riset dan solusi pembangunan berkelanjutan.

Halaman
12

Berita Terkini