Oleh: Anton Kibar - Penyintas Budaya Bangka Belitung
BICARA budaya, kita akan bertemu dengan ide atau gagasan, sedangkan kebudayaan lebih luas lagi, mencakup sistem nilai, norma, dan artefak yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan konsep tersebut, budaya maupun kebudayaan bisa kita anggap sangat serius, bahkan bisa juga sebaliknya.
Budaya boleh diobrolin setengah bercanda, namun jangan melupakan hakikat kerja kebudayaan itu sendiri. Mengapa demikian, karena kebudayaan itu bukanlah urusan formalitas belaka dengan pentas “sambut sana dan sambut sini”. Kebudayaan adalah cara hidup manusia. Manusia hidup tidak ajek, selalu tumbuh dan berkembang. Manusia akan selalu mengembangkan akal serta budi dayanya dalam berkehidupan, maka kebudayaan pun akan selalu membersamainya.
Dengan latar seperti itu maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menjadi penting sebagai pedoman dalam kerangka kerja kebudayaan. Kebudayaan dalam regulasi itu bicara objek pemajuan kebudayaan (OPK), seperti tradisi lisan; manuskrip; adat istiadat; ritus; pengetahuan tradisional; teknologi tradisional; seni; bahasa; permainan rakyat; olahraga tradisional dan cagar budaya.
Turunan dalam konteks kerja kebudayaan adalah pelestarian dengan melakukan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Adapun untuk mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan dapat dilihat dari tujuh dimensi Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) daerah. Seperti dari dimensi ekonomi budaya; dimensi pendidikan; dimensi ketahanan sosial budaya; dimensi warisan budaya; dimensi ekspresi budaya; dimensi budaya literasi; dan dimensi kesetaraan gender.
Itulah kebudayaan; ada upaya menjaga, melindungi, dan mengembangkan warisan budaya dari suatu masyarakat atau kelompok. Menjaga nilai-nilai tradisional, adat istiadat, bahasa, seni, dan kearifan lokal agar tetap lestari dan relevan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Namun pada kenyataannya, makna kebudayaan sering disempitkan hanya pada urusan seni, dan seni pun disempitkan lagi sebatas seni seremonial belaka, seperti pada acara pentas pisah sambut atau menyambut kedatangan pejabat dengan tak lupa mengalungkan bunga di leher si tamu. Seni dalam kebudayaan sejatinya salah satu pilar penting dalam pemajuan kebudayaan, karena seni memiliki keterkaitan sangat erat dengan seluruh OPK lainnya.
Memerdekakan seni
Adalah Magdalena Abakanowicz, seniman kontemporer asal Polandia dengan karya patung-patung tekstilnya berwujud biomorfik berujar, “Seni tidak menyelesaikan masalah, tetapi membuat kita sadar akan keberadaannya”. Dengan kata lain, kesenian sejatinya tidak hanya untuk menciptakan seniman profesional, tetapi lebih kepada untuk menciptakan manusia yang mampu berpikir kritis dan kreatif.
Sementara itu, Ki Hajar Dewantara mengatakan kesenian berupaya memberi pengaruh baik terhadap perkembangan hidup seseorang, secara jasmani dan rohani. Terutama untuk menjaga jangan sampai bangsa ini terdidik semata-mata dalam suasana penalaran atau intelektualitas karena akan berdampak pada munculnya sikap individualisme dan materialisme.
Penekanan Magdalena pada seni adalah upaya untuk menciptakan manusia yang mampu berpikir kritis dan kreatif. Sementara itu, Ki Hajar mengingatkan bila seni hanya menekankan pada aspek kognitif (penalaran dan intelektualitas), maka akan membentuk individu cenderung menjadi terlalu fokus pada diri sendiri dalam pencapaian materi. Dan hal ini dapat mengabaikan pentingnya nilai-nilai sosial, kebersamaan, dan spiritualitas sebagai esensi kebudayaan.
Pada bulan penuh kemerdekaan ini, sudah saatnya kita memerdekakan seni yang menyempit, seni bukan sekedar pentas “sambut sana dan sambut sini”, tetapi seni hadir ke panggung yang lebih luas lagi – untuk para seniman merayakan seni dalam kehidupan sehari-hari.
Seni menciptakan manusia yang mampu berpikir kritis dan kreatif sekaligus tidak terjebak pada kepentingan diri sendiri demi capaian materi para pengampunya saja. Karena seni yang mewarnai hampir seluruh objek pemajuan kebudayaan tidak dapat lepas, apalagi mengabaikan pentingnya nilai-nilai sosial, kebersamaan, dan spiritualitas. Merdeka! (*)