Tribunners

Menjembatani Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Pertambangan Timah di Bangka Belitung

Konsep livelihood menjadi jembatan yang memperlihatkan bahwa penegakan hukum tidak boleh dipisahkan dari kenyataan hidup masyarakat.

Editor: suhendri
dokumentasi Syafri Hariansah
Syafri Hariansah - Penggiat Isu Hukum Tata Negara dan Kajian Hukum dan Masyarakat (Socio-legal) 

Oleh: Syafri Hariansah - Penggiat Isu Hukum Tata Negara dan Kajian Hukum dan Masyarakat (Socio-legal)                        

KASUS pertambangan timah di Bangka Belitung menunjukkan betapa sulitnya menyeimbangkan penegakan hukum dengan perlindungan hak asasi manusia. Penegakan hukum yang kaku dan tidak memperhatikan kondisi sosial berisiko kehilangan legitimasi, sementara kebebasan menambang tanpa aturan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengancam hak hidup generasi mendatang. 

Persoalan itu bukan sekadar konflik antara pemerintah dan masyarakat, melainkan menyangkut bagaimana rule of law dapat berjalan seiring dengan perlindungan hak konstitusional warga negara atas hidup yang layak. Dalam konteks ini, isu livelihood atau mata pencaharian menjadi sangat penting, sebab bagi banyak masyarakat di Bangka Belitung, tambang dan laut adalah sumber utama penghidupan masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah pusat dan daerah mengambil langkah tegas untuk menertibkan praktik pertambangan dengan pendekatan pro justicia. Operasi penindakan dilakukan untuk memberantas tambang ilegal, menindak penyalahgunaan izin, dan mengurangi praktik tata kelola yang tidak sesuai ketentuan. Langkah ini tentu selaras dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Dari perspektif rule of law, penegakan hukum di sektor pertambangan merupakan kewajiban konstitusional yang tidak bisa dinegosiasikan. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam berlangsung sesuai hukum dan memberikan manfaat luas bagi masyarakat.

Namun, kebijakan penertiban tersebut menimbulkan persoalan serius pada sisi sosial dan kemanusiaan. Bagi masyarakat penambang kecil, tambang bukan hanya aktivitas ekonomi, melainkan sarana utama untuk bertahan hidup. Masyarakat menggantungkan seluruh sumber pendapatannya pada aktivitas ini. 

Hilangnya akses terhadap tambang akibat penertiban yang tidak diiringi solusi alternatif membuat masyarakat kehilangan sumber penghidupan. Dengan demikian, yang terancam bukan hanya hak untuk bekerja, tetapi juga hak atas penghidupan yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945 serta Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Di lain sisi, masyarakat nelayan di pesisir Bangka Belitung juga menghadapi masalah serupa. Aktivitas pertambangan di laut menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, mengurangi hasil tangkapan, dan mengganggu jalur melaut. Nelayan berpotensi kehilangan sumber pendapatan yang secara turun-temurun menjadi penopang kehidupan mereka.

Situasi itu memperlihatkan bahwa problematika pertambangan timah di Bangka Belitung tidak hanya menyangkut aspek legalitas, tetapi juga berdampak langsung pada hak dasar masyarakat untuk hidup layak, memperoleh lingkungan yang sehat, serta mempertahankan mata pencaharian masyarakat secara aman.

Ketegangan makin tajam ketika hukum formal yang ditegakkan negara tidak sejalan dengan keadilan substantif. Perusahaan besar yang memiliki kekuatan modal dan akses politik sering kali lebih terlindungi dari jerat hukum, sedangkan penambang kecil justru menjadi sasaran utama kebijakan penertiban. Hal ini menimbulkan kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akibatnya, masyarakat merasa hukum tidak hadir untuk melindungi mereka, melainkan untuk menekan ruang hidup yang tersisa. 

Ketidakselarasan itu menimbulkan krisis kepercayaan terhadap negara, yang seharusnya hadir sebagai pelindung hak-hak dasar seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Disharmoni antara penegakan hukum dan perlindungan HAM, terutama dalam kaitannya dengan mata pencaharian (sumber pendapatan) masyarakat, pada akhirnya melemahkan legitimasi hukum itu sendiri.

Kondisi itu mengandung dilema yang kompleks. Di satu sisi, negara berkewajiban menegakkan hukum untuk menjaga tertib tata kelola sumber daya alam, melindungi lingkungan, dan mencegah praktik ilegal yang merugikan. Namun di sisi lain, penegakan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan mata pencaharian masyarakat justru dapat mengorbankan hak konstitusional warga untuk hidup layak. Oleh karena itu, perlu dipikirkan formula yang tidak hanya menekankan aspek legalistik, tetapi juga mampu mengintegrasikan perlindungan HAM ke dalam kebijakan penegakan hukum.

Salah satu gagasan yang dapat ditawarkan adalah model tata kelola kolaboratif. Model ini berangkat dari asumsi bahwa negara, penambang rakyat, dan nelayan memiliki kepentingan yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Negara tetap harus menjalankan fungsi penegakan hukum dengan tegas terhadap praktik ilegal, tetapi juga perlu membuka mekanisme legalisasi terbatas dan terukur bagi penambang rakyat. 

Dengan adanya jalur legal, penambang kecil dapat bekerja sesuai aturan, terlindungi dari risiko keselamatan, sekaligus memberikan kontribusi bagi penerimaan negara. Dengan kata lain, rule of law ditegakkan tanpa mengorbankan livelihood masyarakat penambang dan nelayan.

Bagi nelayan, keterlibatan nelayan dalam perencanaan zonasi pesisir serta pengawasan reklamasi merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa ekosistem laut tetap terjaga. Nelayan harus diberi ruang dalam pengambilan keputusan agar sumber pendapatan dan mata pencaharian mereka tidak tergerus oleh aktivitas pertambangan. 

Sumber: bangkapos
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved