Tribunners
Sintesis Utilitarianisme dan Keadilan Restoratif: Kajian Filsafat Hukum Terhadap Tawuran di Babel
Data kepolisian menunjukkan bahwa sejak Januari 2024, Polresta Pangkalpinang telah mengamankan setidaknya 91 remaja yang diduga hendak tawuran
Oleh : Selma Claudya, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
TAWURAN pelajar di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), telah mencapai tingkat krisis yang memerlukan analisis filsafat hukum mendalam.
Data kepolisian menunjukkan bahwa sejak Januari 2024, Polresta Pangkalpinang telah mengamankan setidaknya 91 remaja yang diduga hendak tawuran. Mayoritas di antaranya diamankan bersama senjata tajam (sajam.
Kasus seperti penangkapan enam pelajar dengan barang bukti pedang dan samurai pada April 2025 menjadi indikasi jelas bahwa aksi kekerasan remaja telah bergeser dari kenakalan biasa menjadi perencanaan kriminal serius.
Merespons fakta ini, negara dihadapkan pada dilema filosofis: antara tuntutan ketertiban umum (Utilitarianisme) dan kewajiban rehabilitasi terhadap anak pelaku (Deontologi/Keadilan Restoratif).
Meskipun kepolisian telah berupaya memberikan pembinaan, tingginya angka penangkapan menunjukkan bahwa upaya represif yang berorientasi pada efek jera belum menyentuh akar permasalahan yang bersifat internal, seperti krisis identitas dan solidaritas destruktif kelompok remaja.
Oleh sebab itu, tinjauan ini bertujuan mengevaluasi kewajaran respons hukum negara dari sudut pandang filosofis.
Secara filsafat hukum, aksi tawuran pelajar yang melibatkan kekerasan kolektif dan berpotensi menghilangkan nyawa adalah tindakan yang secara fundamental salah.
Kesalahan ini bersifat Mala in Se—perbuatan yang secara inheren jahat, bertentangan dengan kewajaran, moral, dan prinsip umum masyarakat beradab.
Aksi ini melanggar hak dasar setiap warga negara atas rasa aman dan ketertiban sosial. Bahkan tanpa adanya undang-undang spesifik yang melarang, kekerasan yang merusak tatanan sosial ini tetap dianggap jahat oleh hati nurani publik.
Kompleksitas di Bangka Belitung diperburuk oleh maraknya penggunaan senjata tajam. Kepemilikan sajam melanggar Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.
UU Darurat ini, yang membawa ancaman hukuman tinggi, berfungsi sebagai instrumen Mala Prohibita. Artinya, perbuatan ini dilarang karena diatur demikian oleh Undang-Undang, demi tujuan Utilitarian (kemanfaatan umum).
Namun, ketika Mala Prohibita (membawa sajam) digunakan sebagai sarana untuk memfasilitasi Mala in Se (kekerasan massal), maka larangan hukum positif tersebut dibenarkan secara filosofis.
Logika Utilitarian Jeremy Bentham mendukung penindakan keras terhadap kepemilikan sajam karena hal itu mencegah potensi ancaman masif terhadap keamanan publik, yaitu kerugian terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Tindakan represif kepolisian di Pangkalpinang, yang secara proaktif mencegah aksi tawuran dan menyita sajam, adalah manifestasi Utilitarianisme klasik. Prinsip ini menjustifikasi bahwa hukum harus memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Upaya preventif dan penindakan tegas adalah benar secara Utilitarian karena mencegah potensi cedera atau kematian di tengah masyarakat.
Dalam konteks kerentanan sosial yang diperburuk oleh faktor sosiologis seperti apatisme masyarakat, prioritas Utilitarian untuk memastikan ketertiban publik menjadi sangat penting.
Meskipun demikian, Utilitarianisme yang terlalu fokus pada efek jera menghadapi kritik serius dari perspektif Deontologi (misalnya, John Rawls).
Kritik ini menyatakan bahwa Utilitarianisme rentan mengorbankan kepentingan minoritas (anak pelaku) demi kemanfaatan umum. Memperlakukan anak sebagai "alat" untuk mengirim pesan peringatan kepada remaja lain adalah salah secara filosofis karena melanggar martabat dan hak anak.
Sebaliknya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengamanatkan pergeseran dari paradigma Retributif menuju Keadilan Restoratif (Restorative Justice/RJ).
RJ adalah pendekatan yang secara filosofis paling benar karena memandang anak sebagai individu yang harus dibimbing dan direhabilitasi, bukan dihukum secara keras. RJ, yang fokus pada perbaikan hubungan dan tanggung jawab moral, relevan diterapkan pada kasus tawuran pelajar.
Menurut saya, penyelesaian filosofis atas dilema tawuran di Bangka Belitung terletak pada sintesis yang mengintegrasikan kekuatan Utilitarianisme (ketegasan) dan kewajiban Deontologis (rehabilitasi).
Ancaman hukuman berat dari UU Darurat 12/1951 harus digunakan sebagai daya tekan (leverage) agar anak yang tertangkap bersedia tunduk dan berpartisipasi secara tulus dalam proses rehabilitasi restoratif. Dengan cara ini, sanksi pidana dijadikan instrumen Utilitarian untuk mencapai tujuan moral yang lebih tinggi.
Untuk mencapai keadilan substantif yang berkelanjutan, maka penegak hukum di Pangkalpinang harus mengoptimalisasi program Diversi secara holistik. Diversi harus diarahkan untuk mengembangkan hati nurani, tanggung jawab dan nilai-nilai moral anak, melibatkan keluarga dan sekolah dalam mediasi.
Selama proses Restoratif ini dilaksanakan secara komprehensif, respons negara terhadap tawuran di Babel secara filosofis dapat dinilai sebagai benar dan berkesinambungan, mengubah siklus represi sementara menjadi investasi pada generasi muda. (*/E7)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.