Profil Tokoh

Profil Syamsul Jahidin Advokat Muda yang Gugat Uang Pensiun DPR

Syamsul Jahidin menggugat aturan tunjangan pensiun seumur hidup mantan anggota DPR ke MK.

Editor: Fitriadi
Mkri.id/Humas MK/Panji
ADVOKAT MUDA - Syamsul Jahidin pemohon uji materi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), di ruang sidang panel MK, Selasa (29/7/2025). Kini, advokat muda ini menggugat uang pensiun seumur hidup mantan anggota DPR RI ke MK. 

BANGKAPOS.COM - Sosok advokat dan dosen ilmu hukum, Syamsul Jahidin jadi sorotan di balik gugatan aturan tunjangan pensiun seumur hidup mantan anggota DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Syamsul Jahidin bersama psikolog dr Lita Linggayati Gading atau biasa disapa Lita Gading, mengajukan gugatannya ke MK  pada 30 September 2025 lalu.

Alasan mereka menggugat aturan tunjangan pensiun seumur hidup mantan anggota DPR karena pemberian tunjangan itu menjadi beban negara dan membuat ketimpangan nyata bagi rakyat Indonesia.

Baca juga: Profil Nadif Mantan Anya Geraldine yang Kini Mesra dengan Azizah Salsha

Dalam 17+8 Tuntutan Rakyat setelah gelombang demonstrasi pada akhir Agustus 2025 lalu, publik memasukkan poin tuntutan penghapusan uang pensiun anggota DPR RI.

Sosok Syamsul Jahidin

Mengutip profil dari Linkedin pribadinya, Syamsul Jahidin adalah seorang advokat muda berusia 31 tahun.

Baca juga: Profil Akhmad Wiyagus, Lulusan Akpol 1989 yang Kini Jabat Wamendagri, Ternyata Punya 2 Adik di Polri

Ia lahir pada 27 Mei 1992 di Pangesangan, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Syamsul merupakan pengacara konstitusional dan managing partner di ANF Law Firm (terdaftar AHU-0000456-AH.01.22 Tahun 2022).

Namanya tercatat sebagai advokat anggota Dewan Pengacara Nasional (DPN).

Syamsul dulu bersekolah di SDN 39 Mataram, SMP 15 Mataram, dan SMA Hang Tuah Mataram.

Setelah menyelesaikan kuliah dengan gelar Sarjana Hukum (SH) dan Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom), Syamsul melanjutkan studi S2.

Syamsul Jahidin mendapat sejumlah gelar magister di beberapa bidang keilmuan.

Ia lulus dari Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Politik dan Sosial, Universitas Muhammadiyah dengan IPK kumulatif 3,3 (2020).

Syamsul juga tercatat sebagai lulusan Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Jurusan Hukum, STIH Sabili, Universitas Bandung dengan IPK kumulatif 3,25 (2021).

Ia juga meraih gelar Magister dari Fakultas Manajemen, Jurusan Manajemen, STIE Tribuana JKT, Universitas Negeri Jakarta dengan IPK kumulatif 3,15 (2022).

Syamsul Jahidin juga  menempuh pendidikan Magister (S2) Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan IPK 3,65 (2023).

Tak hanya itu, Syamsul juga merupakan lulusan Hukum Operasional Militer dari Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) dengan IPK 3,65 (2024).

Saat ini, Syamsul sedang menempuh doktor (Dr. cand.) di Universitas 17 Agustus 1945 (UTA'45), setelah gelar S.I.Kom, S.H, magister hukum militer, dan komunikasi di STHM.

Sertifikasiknya mencakup M.M, CIRP, CCSMS, CCA, dan C.Med, menjadikan dirinya sebagai seorang ahli di litigasi, kepailitan, mediasi, serta advokasi konstitusional.

Sebagai dosen hukum dan anggota DPN, ia aktif berbagi ilmu melalui Instagram @syamsul_jahidin, di mana ia membahas kasus-kasus kompleks dan ekspansi firma hukumnya.

"Hukum adalah alat untuk keadilan sosial," tulisnya dalam salah satu postingan, yang kini menjadi mantra bagi ribuan pengikutnya.

Sebagai advokat, Syamsul banyak terlibat dalam penyelesaian perkara litigasi dan nonlitigasi terutama membela hak pekerja atau buruh.

Ia juga tidak sungkan ikut turun ke jalan bersama para aktivis untuk memperjuangkan keadilan kaum buruh.

Syamsul Jahidin pernah mengajukan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi. Gugatannya terkait anggota Polri yang menduduki jabatan sipil.

Ia juga tercatat pernah menggugat pemberian pangkat Letkol Tituler Deddy Corbuzier ke Pengadilan Jakarta Pusat.

Gugatan tak hanya ditujukan ke Deddy Corbuzier, tetapi juga tiga pihak lain diantaranya Kementerian Pertahanan, Panglima TNI dan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad).

Alasan Gugat Uang Pensiun DPR

Gugatan Syamsul dan Lita Gading terdaftar dalam perkara nomor 176/PUU-XXIII/2025, menguji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980, tentang Hak Pensiun Bekas Kepala Lembaga Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 1a, Pasal 1f, dan Pasal 12.

Satu dari poin gugatannya adalah perihal tunjangan pensiunan seumur hidup mantan anggota DPR yang menurutnya merugikan negara serta menunjukkan ketimpangan nyata bagi rakyat Indonesia.

Kepada Tribunnews.com, Syamsul Jahidin menyebut beberapa keresahannya bersama dr. Lita Gading berbuntut pada gugatan ke MK.

"Keresahan saya dan dr. Lita Gading jelas adanya pensiunan (seumur hidup) anggota DPR ini membawa ketimpangan yang nyata. Seorang anggota DPR bekerja 1-6 bulan saja sudah dapat pensiun meskipun hanya 20 persen. Sementara rakyat biasa, ASN, TNI dan Polri harus kerja puluhan tahun dulu," jelasnya saat diwawancarai pada Senin (6/10/2025).

Ia pun dengan tegas menyebut hal itu sebagai pelanggaran terhadap prinsip keadilan konstitusional.

Lantas, aturan tersebut sudah ada sejak 1980 yang artinya sudah berlangsung selama sekitar 45 tahun.

Namun, kata Syamsul, belum penah adanya koreksi terhadap aturan tersebut membuatnya merasa terpanggil untuk menggugat.

Menurut perhitungan kasarnya, seluruh mantan anggota DPR bakal mendapatkan Rp226 miliar uang pensiun per tahun dengan rata-rata Rp3,6 juta per orang.

Lalu, ketua komisi bisa menerima pensiunan Rp16 jutaan per bulan, ketua DPRD sekitar Rp30-Rp40 juta.

"Ini angka besar untuk masa kerja yang sangat singkat. Rakyat Indonesia harus tahu, tidak ada yang memperhatikan hal ini selama puluhan tahun lamanya, Buat saya  bukan sekadar ingin, tapi harus menggugat," ucapnya menambahkan.

Tunjangan pensiunan tersebut membuat Syamsul merasa  tak rela sebagai pembayar pajak yang tidak mendapatkan apapun.

Sementara anggota DPR yang seharusnya bekerja untuk rakyat justru mendapat uang pensiun walau hanya beberapa bulan menjabat.

Latar belakangnya melakukan gugatan juga atas dasar manifestasi beberapa persoalan yang meresahkan masyarakat sejak lama.

Mulai dari keterlibatan artis menjadi anggota DPR dan duduk pada komisi yang bukan di bidangnya alias tak berkompeten.

Kemudian keresahan lain misalnya gaji honorer yang hanya menerima Rp400 ribuan di daerah pelosok juga menjadi keamarahan tersendiri bagi Syamsul membandingkan dengan pensiunan anggota DPR.

"Sebetulnya latar belakang masalahnya kompleks, namun jika dicontohkan itu tadi salah satunya. Anggota DPR yang harusnya wakil rakyat untuk rakyat ini mana perannya?" sindir pengacara bidang hukum tata negara ini.

Adapun jadwal sidang perdana alias sidang pendahuluan di MK untuk perkara gugatan pensiunan DPR bakal dilangsungkan pada 10 Oktober 2025.

Syamsul mengaku siap dan telah mengumpulkan segala kebutuhan untuk mendukung sidang tersebut.

Di sisi lain, kesiapannya bersama dr. Lita Gading itu sebagai bentuk kolaborasi mereka menargetkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang asas-asas pemerintahan yang baik, menyoroti ketidakadilan sistem yang memberikan hak istimewa kepada elite politik sambil merugikan rakyat biasa.

Dirinya juga menegaskan, aksinya bersama dr. Lita Gading tak ditunggangi oleh siapapun dan pihak manapun.

"Ini murni dari keresahan kami dan hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, dari pada memberi pensiunan DPR lebih baik untuk menggaji guru honorer, kasihan mereka di pelosok sana. Negara harus adil," paparnya.

Aturan Pensiun DPR

Regulasi yang mengatur hak pensiun anggota DPR tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1980 menyatakan bahwa pimpinan dan anggota DPR yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak mendapat tunjangan pensiun.

Eks anggota lembaga lain, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) juga memiliki hak yang sama.

Pada Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa uang pensiun itu ditetapkan berdasarkan lamanya masa jabatan.

Pasal 13 ayat (2) menyatakan bahwa besarnya pensiun pokok sebulan adalah satu persen dari dasar pensiun untuk tiap-tiap satu bulan masa jabatan dengan ketentuan bahwa besarnya pensiun pokok sekurang-kurangnya enam persen dan sebanyak-banyaknya tujuh puluh lima persen dari dasar pensiun.

Berdasarkan beleid atau aturan tersebut, eks legislator yang menjabat penuh satu periode dan yang diberhentikan dengan alasan kesehatan yang disebabkan oleh dinas bisa memperoleh tunjangan pensiun hingga 75 persen.

Sementara itu, Pasal 15 menyatakan bahwa tunjangan pensiun bagi mantan anggota DPR dibayarkan terhitung pada bulan berikutnya setelah legislator tersebut berhenti dengan hormat. Sedangkan Pasal 26 menyebutkan tunjangan pensiun bagi mantan anggota DPR dibebankan pada APBN.

(Bangkapos.com/Tribunnews.com/ Chrysnha, Chaerul Umam)

 

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved