Larangan MK, Ini Deretan Nama Jenderal Polisi Aktif di Jabatan Sipil, Kapan DIterapkan?

Mahkamah Konstitusi resmi melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil. Putusan ini berdampak pada banyak jenderal yang saat ini menjabat

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
Istimewa
LARANGAN MK--Ilustrasi Polisi, Deretan Nama Jenderal Polisi Aktif di Jabatan Sipil, MK Buat Putusan Larangan, Kapan Diterapkan 
Ringkasan Berita:
  • Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh lagi mengisi jabatan sipil tanpa pensiun atau mengundurkan diri.
  • Putusan ini berdampak pada sejumlah jenderal yang kini menduduki posisi strategis di berbagai kementerian dan lembaga negara.
  • Deretan Nama Jenderal Polisi Aktif di Jabatan Sipil

 

BANGKAPOS.COM--Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengeluarkan putusan bersejarah yang menghentikan praktik penempatan anggota Polri aktif pada jabatan sipil tanpa proses pengunduran diri atau pensiun.

Putusan ini dibacakan pada Kamis (14/11/2025) dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat, melalui perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025.

Langkah MK tersebut menegaskan bahwa setiap anggota Korps Bhayangkara yang ingin menduduki jabatan sipil harus terlebih dahulu melepaskan status keanggotaannya dari institusi kepolisian.

Aturan lama yang memungkinkan penugasan ke lembaga sipil hanya dengan persetujuan Kapolri kini dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

Keputusan ini sekaligus mengubah cara negara memperlakukan batas fungsi kepolisian dalam struktur pemerintahan.

Akar Permohonan: Kekhawatiran Terhadap Netralitas dan Meritokrasi

Permohonan uji materi ini diajukan oleh Syamsul Jahidin, seorang warga negara sekaligus profesional sipil yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat praktik penempatan polisi aktif di jabatan strategis pemerintahan.

Ia menilai praktik tersebut menabrak prinsip dasar netralitas aparatur negara, serta mengikis sistem meritokrasi yang menjadi fondasi pelayanan publik.

Dalam permohonannya, Syamsul menyampaikan bahwa pengisian jabatan publik seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang adil dan terbuka bagi seluruh warga, bukan melalui penugasan internal antar-lembaga.

Menurut pemohon, kondisi yang terjadi selama beberapa tahun terakhir telah membentuk situasi mirip dwifungsi Polri, sebab aparat kepolisian tidak hanya menjalankan peran keamanan dan penegakan hukum, tetapi juga memasuki ranah birokrasi, pemerintahan, hingga fungsi sosial kemasyarakatan.

“Anggota Polri aktif tidak dapat secara bersamaan menjalankan fungsi kepolisian dan fungsi jabatan sipil,” tulis Syamsul dalam permohonannya.

Ia mengingatkan bahwa hal ini berpotensi mengganggu keseimbangan sistem demokrasi dan membuka ruang konflik kepentingan.

Deretan Nama Jenderal Polisi Aktif di Jabatan Sipil

Dalam berkas permohonannya, Syamsul menyertakan sejumlah nama pejabat tinggi Polri yang sedang menjabat di lembaga non-kepolisian.

Nama-nama ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan publik dalam melihat urgensi perubahan regulasi.

Beberapa di antara pejabat tersebut adalah:

  • Komjen Pol Setyo Budiyanto, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
  • Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
  • Panca Putra Simanjuntak, yang bertugas di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas).
  • Komjen Pol Nico Afinta, Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum.
  • Komjen Pol Suyudi Ario Seto, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).
  • Komjen Pol Albertus Rachmad Wibowo, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
  • Komjen Pol Eddy Hartono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
  • Irjen Pol Mohammad Iqbal, Inspektur Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Tak hanya berhenti pada posisi strategis tingkat nasional, sejumlah pejabat Polri juga mencatatkan kehadiran di berbagai kementerian yang baru dibentuk maupun lembaga sektor teknis:

  • Brigjen Sony Sanjaya, Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN).
  • Brigjen Yuldi Yusman, Plt. Dirjen Imigrasi di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
  • Kombes Jamaludin, pejabat di Kementerian Haji dan Umrah.
  • Brigjen Rahmadi, Staf Ahli di Kementerian Kehutanan.
  • Brigjen Edi Mardianto, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri.
  • Irjen Prabowo Argo Yuwono, Inspektur Jenderal Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  • Komjen I Ketut Suardana, Inspektur Jenderal Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Daftar tersebut menjadi sorotan karena menunjukkan betapa luasnya cakupan jabatan sipil yang diduduki oleh polisi aktif selama beberapa tahun terakhir.

MK: Fungsi Kepolisian Tidak Boleh Tumpang Tindih

Dalam putusannya, MK menekankan bahwa fungsi kepolisian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 memiliki karakteristik yang melekat pada tugas keamanan dan penegakan hukum.

Karena itu, penempatan anggota Polri dalam jabatan sipil dianggap berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan mengaburkan batas profesionalisme institusi.

MK juga mempertimbangkan prinsip check and balance, di mana setiap lembaga negara harus berjalan dalam koridor kewenangan sesuai konstitusi.

Anggota Polri yang memegang jabatan di kementerian atau lembaga sipil bisa mereduksi otonomi lembaga tersebut, terutama jika lembaga tersebut membutuhkan independensi dalam membuat kebijakan publik.

Prinsip ini, menurut MK, sangat penting dalam menjaga kesehatan demokrasi dan mencegah timbulnya konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada institusi tertentu.

Implikasi Putusan, Mutasi Karier Polri Akan Berubah Total

Putusan MK ini akan menciptakan perubahan besar dalam pola karier Polri dan mekanisme penempatan pejabat di lembaga pemerintahan.

Sejak putusan ini berlaku, anggota Polri:

  • Tidak dapat lagi ditugaskan ke jabatan sipil dengan hanya memakai surat tugas atau izin Kapolri.
  • Harus mengundurkan diri atau menjalani pensiun jika ingin menduduki jabatan sipil.
  • Dilarang menjalankan dua fungsi berbeda secara bersamaan.

Dalam jangka pendek, kementerian dan lembaga yang saat ini dipimpin atau diisi oleh perwira Polri aktif akan menghadapi transisi struktural. 

Pemerintah harus segera menunjuk pengganti dari kalangan sipil atau menunggu proses pengunduran diri resmi dari pejabat terkait.

Langkah untuk Memperkuat Demokrasi

Putusan MK ini disambut beragam reaksi publik. Sebagian besar pengamat politik, aktivis masyarakat sipil, hingga akademisi menilai keputusan tersebut sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi Indonesia.

Praktik dwifungsi, baik TNI maupun Polri, telah lama menjadi isu yang dikhawatirkan mampu mengikis batas sipil-militer dalam pemerintahan.

Dengan larangan resmi dari MK, Indonesia dinilai semakin memperkokoh prinsip bahwa birokrasi sipil harus dikelola oleh aparatur sipil negara, bukan oleh institusi pemegang fungsi keamanan.

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pelarangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil menjadi tonggak penting dalam perjalanan reformasi sektor keamanan dan tata kelola pemerintahan di Indonesia.

Larangan ini bukan hanya soal disiplin struktur, tetapi juga mengenai keadilan, profesionalitas, dan netralitas penyelenggara negara.

Ke depan, pemerintah wajib memastikan bahwa seluruh proses pengisian jabatan publik berjalan secara meritokratis dan terbuka, sekaligus membangun kepercayaan warga terhadap sistem demokrasi dan tata kelola negara.

Sumber Kompas.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved