Liputan Khusus
Revisi UU ITE Bikin Netizen Hati-hati, Baca Ini
Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang berlaku sejak 28 November lalu
BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang berlaku sejak 28 November lalu, membuat ancaman pidana terhadap pelanggar menjadi lebih ringan. Meski begitu, pengguna Media Sosial (Medsos) diwanti-wanti agar lebih berhati-hati.
Pasalnya, revisi itu juga menuntut masyarakat harus bertanggung jawab atas informasi yang didapatnya.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Bangka Belitung, Noviar Ishak mengaku belum menerima surat terkait revisi UU ITE. Dia baru mengetahuinya dari pemberitaan yang beredar.
Sejauh ini, Diskominfo Babel, kata Noviar, belum mampu melakukan blokir terhadap dokumen elektronik yang menyebarkan informasi berbau pornografi, SARA, terorisme, hingga pencemaran nama baik.
"Yang tidak boleh itu membuat dan menyebarkan (share) informasi berunsur fitnah dan kegaduhan. Mungkin ada beberapa yang beranggapan ini membatasi kebebasan berekspresi tapi seluruh masyarakat harus bertanggung jawab terhadap informasi yang kita dapatkan. Tangkap (pesannya), serap, saring baru disebar," kata Noviar saat ditemui Bangka Pos belum lama ini.
Menurut Noviar, selama ini kebebasan berpendapat di media sosial sudah kelewat batas. Masyarakat kini begitu lincah memposting informasi di media sosial.
" UU ITE sebagai cara pemerintah mendewasakan rakyat agar jempol tak lincah bermain share informasi yang membuat kegaduhan dari informasi bukan original tapi informasi yang dimodif," ujarnya.
Dilansir Kompas.com, setidaknya ada empat penambahan pasal dalam revisi UU ITE. Pertama, ada hak untuk dilupakan.
Jika seseorang sudah terbukti tidak bersalah di pengadilan, maka dia berhak mengajukan permintaan agar berita tentang dirinya yang menjadi tersangka dihapuskan.
Kedua, ada penambahan ayat baru pada pasal 40. Pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi melanggar undang-undang, seperti pornografi, SARA, terorisme, hingga pencemaran nama baik.
Pemerintah akan langsung memblokir situs tersebut jika tidak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai perusahaan media.
Namun jika yang melanggarnya adalah situs berita resmi, maka akan diselesaikan mengikuti mekanisme di Dewan Pers.
Ketiga, UU ini mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi kalau dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan tanpa seizin pengadilan dianggap tidak sah sebagai bukti.
Terakhir, pemotongan masa hukuman dan denda. Berdasarkan pasal 21 KUHAP, hukuman maksimum penjara dikurangi dari enam tahun menjadi empat tahun. Begitu juga dengan denda uang.
Jika awalnya maksimal Rp1 miliar, diubah menjadi Rp 750 juta. Ancaman pidana kekerasan di Pasal 29 yang sebelumnya maksimal 12 tahun diubah menjadi empat tahun, sedangkan dendanya dikurangi dari Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.