Mengubur Sejarah Orang Lom

Bergulirnysa era desentralisasi sebagai buah manis reformasi, pada kenyataannya, ..

Editor: Dedy Purwadi
Oleh:Iskandar Zulkarnain
Dosen Sosiologi FISIP UBB 

BERGULIRNYA era desentralisasi sebagai buah manis reformasi, pada kenyataannya, tidak membuat kepala daerah tergerak untuk memoles warisan budaya yang beraneka ragam menjadi sebuah peluang. Padahal, era desentralisasi itu merupakan momentum besar untuk menciptakan arus perubahan sosial dan budaya seperti mengembangkan serta  melestarikan komunitas adat terpencil yang sejak dulu menggadaikan dirinya demi kepentingan kelestarian lingkungan dari tradisi masyarakat urban.

Istilah masyarakat adat telah ada sejak awal dekade 90-an pada saat sejumlah organisasi politik (Orpol)  memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat, yaitu hak memiliki nilai, ideologi, politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum serta wilayah (geografis) sendiri (Simarmata, 2010). Perjuangan menuntut pengakuan hak-hak masyarakat adat yang terpinggirkan menguat pascalengsernya penguasa Orde Baru yang telah melahirkan sebuah gerakan pemberdayaan diri (Davidson dkk, 2010). Atas nama adat, atmosfir era reformasi menghasilkan sebuah penemuan baru, bahwa eksistensi masyarakat adat diperhitungkan dalam kancah perpolitikan saat ini.

Pengakuan hak-hak masyarakat adat itu sesuai dengan keinginan setiap komunitas adat di penjuru dunia dan tanah air, salah satunya komunitas adat Orang Lom di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Menurut Olaf H. Smedel (1989) dalam paper anthrobase.com yang mengatakan, bahwa komunitas Orang Lom di Mapur dan Air Abik sejak dulu telah memiliki wilayah pemerintahan dan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang diatur sedemikian rupa oleh tokoh adat. Praktis, komunitas Orang Lom pun menghendaki pengakuan atas hak-haknya secara komprehensif.

Pengakuan Hak

Tuntutan atas pengakuan hak komunitas Orang Lom tidak berasal dari ruang hampa. Ia muncul dari dua hal yang saling berkorelasi. Pertama, faktor sejarah. Sejarah Orang Lom adalah sejarah budaya yang dicirikan oleh adat istiadat dan sistem kepercayaan masyarakat yang unik dan terus terpelihara lintas generasi. Hasil kajian Balitbang Kabupaten Bangka tahun 2006 menguatkan, bahwa beberapa ritual dan peringatan-peringatan di komunitas Orang Lom seperti ritual pernikahan dan perceraian, kelahiran bayi, prosesi kematian, dan peringatan nujuh jerami, yaitu sedekah kampung pascapanen padi, dapat menjadi aset budaya yang patut dibanggakan dalam meningkatkan modal ekonomi daerah serta modal sosial masyarakat.

Hal lain, kajian tim Sosiologi Universitas Bangka Belitung dan penelitian Nova Adelia (2009) menunjukkan, sumber daya hutan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di dusun Air Abik, dusun Pejam, dan Benak menyimpan sejuta potensi kekayaan seperti ditemukannya beberapa jenis tumbuh-tumbuhan obat tradisional Orang Lom yang bermanfaat untuk menanggulangi penyakit malaria. Hasil penelitian itu menandakan, bahwa warisan budaya leluhur Orang Lom belum dieksplorasi secara optimal untuk kepentingan masyarakat modern. 

Namun faktor sejarah itu tidak linier dengan faktor kedua, yakni permasalahan multidimensional yang dihadapi komunitas Orang Lom saat ini. Dalam bidang ekonomi, pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit dan tambang inkonvensional (TI) oleh perusahaan dan sebagian masyarakat di sekitar kawasan hutan KAT menjadikan Orang Lom kesulitan dalam mengakses kebutuhan hidup sehari-hari, lantaran kerusakan lingkungan yang menyempitkan kawasan hutan sebagai tempat bermukim dan sumber pencaharian utama yakni menanam padi (berume).

Persoalan ini tentu berimplikasi terhadap sosial budaya, yakni kian terlepasnya akar sejarah Orang Lom dari kenyataan sosiologis di mana mereka bertahan hidup dari mengandalkan alam dan kenyataan budaya di mana mulai tergerusnya tradisi masyarakat dari budaya berume ke menambang timah inkonvensional (TI).

Fakta tersebut diiringi oleh bayang-bayang konflik perebutan kawasan hutan KAT yang kian menghangat. Berbagai pihak saling klaim kepemilikan hak atas hutan KAT yang notebenenya merecoki keadaan dan mengaburkan permasalahan. Lantas bagaimana eksistensi Orang Lom ke depan?

Potret Masa Depan

Realitas yang terjadi di komunitas adat Orang Lom saat ini adalah terputusnya regenerasi di mana beberapa sesepuh adat telah tutup usia dan disertai dengan tidak berjalannya sistem adat secara radikal di internal komunitas. Persoalan ini membuat komunitas Orang Lom kehilangan lentera dalam menapaki sejarah kehidupan di abad modern. Ironisnya, pada saat yang bersamaan, pemerintah daerah/provinsi absen dari peran sertanya menyelesaikan masalah serta mengembangkan segala potensi yang dimiliki komunitas Orang Lom.

Akibatnya, hutan KAT sebagai salah satu simbol keberadaan di mana tersimpan peninggalan leluhur di masa silam kini menjadi arena perebutan pihak-pihak tertentu, akibat keserakahan manusia-manusia modern berhati tamak nan rakus.

Kehadiran pemerintah provinsi dan pemda kabupaten Bangka dalam menyelesaikan persoalan yang melilit komunitas adat Orang Lom sangat dinanti. Komitmen keberpihakan pemerintah daerah untuk mengembangkan budaya komunitas adat perlu dipertegas dengan adanya inisiatif untuk melindungi pusaka peninggalan leluhur Orang Lom salah satunya hutan KAT dengan  menerbitkan peraturan daerah (perda). Keberadaan perda menjadi tonggak sejarah politik bagi upaya perlindungan segala aspek termasuk geografis serta pengembangan potensi kawasan yang bernilai budaya tinggi.

Dengan hal tersebut, masyarakat dapat mengetahui, sesungguhnya pemerintah kabupaten/provinsi lebih mendukung pelestarian khazanah budaya tradisional atau melanggengkan budaya kapitalisme yang berpihak pada kepentingan pemilik modal. Jika yang terakhir, sejarah akan mencatat dengan tinta hitam bahwa pemerintah daerah/provinsi turut berkontribusi dalam menggali pusara bagi sejarah Orang Lom yang unik.(*)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Cerpen: Aaah !

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved