Cerpen: Aaah !
Saridin berjalan gontai ke arah halte yang sudah dipenuhi orang-orang yang menunggu. Hari yang masih seperti kemarin,
Cerpen: Adi Zamzam
Saridin berjalan gontai ke arah halte yang sudah dipenuhi orang-orang yang menunggu. Hari yang masih seperti kemarin, menunggu bus seperti kemarin. Bertemu orang-orang kemarin. Duduk di kursi bus yang kemarin. Memerhatikan sopir bus yang ugal-ugalan seperti kemarin.
Menaruh iba dengan kernet muda yang kerap kena semprot sopirnya karena lambat menyambar penumpang seperti kemarin. Entah kenapa orang suka terburu-buru. Padahal hari masih seperti yang kemarin.
Saridin memerhatikan satu persatu penghuni bus. Aneka wajah ia dapati; dari yang serius karena (mungkin) menyimpan banyak masalah, melamun, nyerocos dengan teman duduk, tidur-tiduran, sampai yang asyik dengan telepon genggamnya sendiri.
Semua kesibukan kecil dalam bus itu langsung terhenti tatkala tiba-tiba terdengar benturan benda keras. Orang-orang menjerit histeris.
Ternyata bus menyerempet seorang pengendara sepeda motor. Jatuh terseret dan lalu tak bergerak lagi, darah tercecer di sekitar kejadian, dan langsung menimbulkan kerumunan. Orang-orang dalam bus minta berhenti. Riuh sekali, sebab bus sudah telanjur jauh dari tempat korban. Keriuhan itu semakin memuncak jadi seperti pertengkaran.
Hingga akhirnya bus berhenti. Menunggu polisi. Semua orang pun turun dari bus. Saridin juga ikut turun dari bus. Namun hanya beberapa detik setelah penumpang terakhir turun, bus itu tiba-tiba saja bergerak.
Orang-orang berteriak lagi. Marah. Sebagian bahkan nekat mengejar bus yang sebenarnya takkan mungkin terkejar lagi. Mungkin mereka belum sempat berpikir.
"Hei, aku sudah dapat nomor platnya!" teriak salah seorang ibu yang tak ikut mengejar bus.
Orang-orang pun tertuju kepada ibu yang cerdas itu. Saridin sempat dengar riuh percakapan mereka. Ada yang kebagian tugas pergi ke pos polisi terdekat. Ada juga yang kebagian tugas menengok korban yang sudah jauh di belakang.
"Aaah.!" sergah Saridin dan lalu meninggalkan keriuhan kecil itu.
Beberapa bus menghampiri di sepanjang perjalanannya. Saridin tak acuh. Beberapa kali ia menoleh jam tangan. Sia-sia jika masuk kantor. Ia sudah memutuskan. Saridin tak mau naik bus lagi. Ia juga tak tergoda bujukan tukang ojek di ujung terminal.
"Aaah.!" mulutnya. Menepis suara hati yang bilang bahwa semestinya ia masih bisa sampai ke kantor tepat waktu dengan jasa tukang ojek.
Tapi tidak. Ia justru melangkah ke WC umum. Setelah membuang semua yang sekiranya bisa merepotkan nanti, ia tampak seperti orang yang begitu menikmati pagi. Tak nampak kecemasan akibat bolos kantor. Terus berjalan. Sambil sesekali memerhatikan orang-orang yang diburu waktu, dan juga deretan toko di sepanjang jalan yang seperti puluhan sarang laba-laba yang siap memerangkap mangsanya.
Di sebuah pasar kecil dekat terminal, kaki Saridin sempat henti ketika lihat seorang pencuri burung yang tertangkap basah dan langsung diadili massa. Tubuh pemuda malang itu sudah babak belur. Masih ditambah teriakan-teriakan provokasi dari mulai 'bunuh', 'bakar', 'kebiri', 'potong tangan', dan aneka serapah lainnya. Saridin geleng-geleng kepala ketika tahu burung yang hendak dicuri itu ternyata hanya seharga seratus limapuluh ribu rupiah.
"Apa dia sudah berkeluarga?" tanya Saridin kepada salah seorang yang turut menonton adegan sadis itu.
"Katanya, pemuda itu sudah punya satu anak. Dia butuh uang untuk biaya berobat ke dokter. Tapi orang-orang tak percaya. Bukankah ada Puskesmas yang gratis?"
Tubuh pemuda malang itu lungkrah ke tanah ketika tak mampu lagi menanggung kemarahan orang yang bertubi-tubi memangsanya. Meskipun begitu, beberapa kaki masih dengan senang hati menyasarnya. Saridin sempat ingin mencegah kesadisan itu ketika teringat pimpinan kantornya. Saridin tahu, Pak Rabin kerap menyunat beberapa dana tertentu yang dianggarkan Pemerintah untuk kemajuan pendidikan di kota ini. Setiap ada anak buah yang tahu aksinya itu, Pak Rabin akan menutup mulutnya dengan amplop tebal. Saridin pernah dua kali dapat. Setengah juta bukanlah jumlah sedikit. Saridin tak bisa menolak. Semua teman-temannya juga tak ada yang berani buka mulut. Pak Rabin masih makmur hingga detik ini.
"Aaah.!" Saridin mengibaskan tangan, mencegah suara hatinya sendiri. Jangan sampai cari masalah. Toh ia tak kenal pemuda itu.
Saridin pun meneruskan jalan kakinya. Santai saja. Betapa sesekali ia ingin menikmati hidup tanpa diburu-buru sesuatu. Makan es krim dengan nyaman. Pesan cilok dengan riang. Seperti anak kecil yang hanya tahu senang-senang. Juga ketika ia sampai di alun-alun kota, dan melihat pemandangan itu. Ada ribut-ribut di sebelah utara taman kota. Saridin tahu itu ulah para polisi pamong praja. Beberapa pedagang kaki lima tampak gigih mempertahankan gerobak dagangan mereka. Umpatan-umpatan kasar dan kotor terdengar nyaring, menyita perhatian Saridin dari riuhnya arus lalu lintas.
"Aaah.!" desis Saridin, tak mau matanya terganggu dengan pemandangan itu.
Tapi lagi-lagi matanya terantuk peda sesuatu yang mengganjal pemandangan. Sebuah poster besar yang terpampang dekat masjid. Foto seseorang yang mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di negeri ini.
"Aaah.!" desis Saridin lagi, yang lalu beranjak demi mencari tempat yang enak buat nongkrong.
Di sekitaran taman kota itu Saridin jalan santai sambil ngemil. Tak peduli bahwa mungkin di kantor, bosnya menggerutu panjang lebar karena laporan tentang detail pendanaan beberapa proyek kota pasti akan mundur jadwal penyelesaiannya. Lalu sampailah ia di teras masjid. Saridin sempat berpikir bahwa masjid mungkin bisa menjadi tempat duduk sejenak untuk memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Namun ketika telinganya mendengar riuh tentang seseorang yang kehilangan sandal baru, hatinya tiba-tiba kembali terasa sumpek. Padahal hanya.
"Aaah.!" Saridin pun lekas-lekas beranjak dari masjid.
"Sampeyan ndak salat Zuhur dulu, Mas?" tanya seorang lelaki yang tadi duduk berdiam-diam saja di dekat Saridin.
"Aaah.!" Saridin hanya menoleh sejenak dan lalu meneruskan langkah meninggalkan masjid. Membuat lelaki yang tadi menegur jadi melongo.
Sekeluarnya dari masjid, Saridin mulai merasa terteror dengan perutnya yang sudah minta diisi. Pandangannya edar ke segenap penjuru taman kota. Hanya sisa beberapa pedagang kaki lima-yang tertib-setelah aksi para Satpol PP tadi. Hingga akhirnya ia memutuskan parkir di kursi seorang penjual bakso.
Udara panas membuat Saridin kegerahan. Keringatnya mulai menimbulkan bau. Dibukanya dua kancing baju bagian atas demi mendapatkan angin. Namun hanya selang beberapa menit ia menikmati kenyang, datanglah seseorang yang membuat kantuknya segera hilang.
Seorang lelaki yang separuh rambut kepalanya sudah uban dan langkah kaki tak seimbang, tampak menengadahkan tangan dengan raut memelas. Wajah legamnya yang penuh kerut-merut, seperti lipatan-lipatan cerita kusam. Sepertinya, kebanyakan adalah cerita sedih, cerita lusuh kehidupan, seperti baju yang ia pakai.
Saridin pura-pura tak lihat. Ketika bakso pesanan kedua sudah siap, Saridin pura-pura khusyuk dengan makanannya sendiri. Bermenit-menit Saridin hanya mengaduk-aduk kuah yang sudah dicampurinya dengan kecap, cuka, dan sambal. Bermenit-menit. Tak seperti ketika ia berhadapan dengan bakso pesanan pertama tadi.
Berkali-kali Saridin menoleh ke arah si penjual bakso. Dengan mata ia bilang, "Kenapa kau suguhi pula aku dengan menu gembel bau ini?"
Si penjual bakso itu menjawab dengan mata pula, "Sudahlah, Pak. Biarkan saja. Nanti kalau kakinya sudah linu, dia pasti akan pergi sendiri."
Namun hingga bermenit-menit ternyata pengemis itu tak juga beranjak dari posisinya. Hingga akhirnya Saridin berhasil-meski dengan susah payah-menghabiskan bakso rasa kain lusuh.
Dengan gegas Saridin pun beranjak ke penjual bakso. Menyelesaikan transaksi. Dan lalu melangkah keluar warung sambil berujar, "Aaah.!" tanpa mengulurkan sereceh pun uang kepada pengemis tadi. Ia mendadak yakin, pengemis itu adalah seseorang yang telah terlatih mendramatisir keadaannya sendiri. Mungkin saja sebenarnya ia tidak pincang. Bisa jadi ia bukan seorang tuna wisma. Ia punya rumah di desa entah, menghidupi banyak anggota keluarga dari anak sampai cucu. Konon penghasilan seorang pengemis(profesional) bisa melebihi gaji pegawai kantoran kelas bawah.
"Aaah.!" Saridin menghentikan kembara pikirannya.
Dan kini ia telah duduk santai di taman kota. Berjam-jam ditemani kepul asap rokok. Menikmati hari yang mulai dibungkus senja. Melihat orang-orang yang gegas pulang. Lampu-lampu satu persatu dinyalakan. Seperti aba-aba menyambut episode baru kehidupan. Dengan khidmat Saridin menyesap sebatang demi sebatang.
Tiba-tiba saja telepon genggamnya berbunyi. Sebuah pesan pendek masuk. Dari istrinya. 'Mas Idin sedang di mana? Pulang kantor kenapa tak pulang dulu?'
"Aaah.!" desis Saridin tak mengacuhkan perhatian itu.*