Opini: Missing Link Pengembangan Industri Kecil Kerajinan

Data rakor pengelolaan pertambangan umum tahun 2006 menyebutkan jumlah Tambang inkonvensional baik didarat

Opini: Muslim El Hakim Kurniawan, Kepala Seksi Pengembangan Industri Kerajinan Disperindag Prov.Babel

Data rakor pengelolaan pertambangan umum tahun 2006 menyebutkan jumlah Tambang inkonvensional baik didarat maupun di laut mencapai 9.047 unit dan pada saat itu jumlah industri kecil menengah berdasarkan rekapitulasi database IKM 2006 tercatat sebanyak 2.449 unit.

Dari perbandingan diatas terlihat jelas sekali TI sangat dominan dalam menggerakkan ekonomi Babel. Sedangkan Saat ini tercatat ada sebanyak 11.062 industri kecil menengah di Babel dan bila kita sandingkan dengan jumlah tambang timah ilegal 1.640 unit, maka jelas sekali pula saat ini sudah terjadi pergeseran sumber-sumber perekonomian masyarakat.

Apakah data diatas menunjukkan kesuksesan pemerintah dalam mendorong ekonomi pasca timah? mungkin ada yang menjawab iya, mungkin sebagian besar lagi menjawab tidak, apalagi bila dihubungkan dengan kondisi ekonomi saat ini yang terasa sangat suram.

Namun bila dihubungkan dengan pengembangan industri kecil maka dirasa masih ada missing link dalam upaya pengembangan ekonomi pasca timah melalui penumbuhan industri kreatif. Adalah para pengusaha industri kecil kerajinan yang mengeluh mengenai bagaimana susahnya memasarkan karya-karya mereka.

Beberapa waktu yang lalu saat penulis di Belitung, seorang perajin keramik belitung mengatakan bahwa dalam 1 bulan belum tentu ada 1 produknya senilai empat puluh ribu rupiah yang dititipkan di Galery yang laku, jika begini bagaimana bisa kami menggantungkan hidup disini.

Pun begitu dengan komoditi kerajinan lainnya seperti anyaman resam, lidi, pandan, batik tulis yang marak dikembangkan di beberapa Kabupaten, batok kelapa, kerang kreatif, dll. Berbeda dengan industri pangan yang merupakan kebutuhan primer, produk industri kerajinan dapat dikategorikan dalam kebutuhan tersier.

Sehingga bila hanya mengharapkan pasar lokal dengan daya beli yang rendah saat ini, untuk mencukupi kebutuhan primer dan sekunder pun terasa sulit.

Sedangkan untuk dilempar ke pasar luar daerah dengan harga jual produk kita yang tinggi karena ongkos produksi yang tinggi sebagai daerah kepulauan , maka sangatlah sulit untuk bersaing dengan kerajinan dari daerah lain, lengkaplah penderitaan para perajin kreatif kita.

Disisi lain pemerintah dalam rangka penumbuhan wirausaha baru terus-menerus memprogramkan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku di daerah tersebut. Misalnya, karena di Belitung memiliki bahan baku pasir kwarsa yang melimpah dan berkualitas tinggi maka industri kerajinan keramik dikembangkan di daerah tersebut.

Pelatihan membuat keramik bagi pemula, peningkatan desain dan kualitas, magang ke daerah penghasil keramik di pleret, bantuan peralatan, dll, dianggarkan baik melalui APBD maupun APBN. Misalnya lagi, karena Babel sebagai daerah Kepulauan memiliki banyak pohon kelapa, maka pelatihan pembuatan kerajinan dari limbah kelapa seperti batok kelapa, lidi kelapa dan furniture dari batang kelapa juga telah dilaksanakan.

Tapi sekali lagi, satu hal yang sering terlupa (missing link) adalah setelah mereka bisa membuat, kemana mereka harus menjual, lebih jauh lagi bagaimana cara mereka mendapatkan pasar yang berkesinambungan. Sederhananya adalah bagaimana seorang perajin anyaman songkok resam dapat menjual songkoknya satu unit saja perhari.

Bila satu songkok harganya 150 ribu rupiah, maka omset perajin perbulan bisa mencapai diatas 4 juta rupiah, dengan begitu mungkin para perajin tidak akan lagi nyambi "ngaret" di kebun pada siang hari dan baru menganyam songkok di sore hari sehingga membuat penyelesaian satu anyaman songkok membutuhkan waktu berhari-hari dan berimbas pada harga jual produk yang kurang kompetitif.

Bila kita ambil konsep 4P nya kotler (product, price, promotion, place), maka setelah product dan price yang telah didapatkan melalui pelatihan-pelatihan diatas, upaya berikutnya adalah promotion dan place.

Banyak yang menerjemahkan kegiatan promosi ini dalam bentuk kegiatan pameran baik di dalam maupun di luar Babel. Hal ini cukup membantu pemasaran industri kerajinan maupun industri kecil menengah lainnya.

Bahkan Menteri PDT dan Transmigrasi Marwan Jafar baru-baru ini mengatakan bahwa ekonomi desa bisa ditingkatkan melalui pameran. Namun untuk mendapatkan pasar yang berkesinambungan agar para perajin dapat menggantungkan hidupnya dari industri kerajinan tentunya tidak bisa bila hanya mengandalkan keikutsertaan dalam pameran saja dan Place ataupun saluran distribusi dapat menjadi effort selanjutnya.

Terkait dengan hal tersebut Kami tertarik dengan konsep michi no eki di Jepang. Pengalaman kami pada saat perjalanan dari Niigata menuju Tokyo dengan Bis, beberapa kali kami berhenti di michi no eki. Uniknya setiap michi no eki memiliki ke-khasan tersendiri sesuai potensi daerahnya.

Di daerah yang memiliki sumber air panas, maka michi no eki nya menjual onsen (pemandian air panas) sebagai unggulannya. Kerajinan, sayuran, buah-buahan yang dijual di setiap michi no eki juga relatif berbeda sesuai dengan potensi daerah tersebut. Michi no eki adalah tempat beristirahat sementara saat di perjalanan, mungkin mirip dengan deniang saat kita melakukan perjalanan dari Pangkalpinang ke Belinyu.

Dibangun selain untuk restroom juga bertujuan untuk mempromosikan ekonomi lokal. Perajin dan petani lokal yang ingin menitipkan barang mereka di michi no eki, mereka sendiri yang menetapkan harga produk mereka, mengemas sendiri, dan menempel harga sendiri di produknya.

Keesokan harinya mereka sendiri juga yang mengecek barang mereka laku berapa, sisa berapa, dan mengambil uangnya. Untuk jasa titip tersebut pemerintah mendapatkan tax sharing sebesar rata-rata 20%.

Saat ini di Jepang terdapat sekitar 1.040 fasilitas michi no eki. Michi no eki 98 persen dibangun oleh pemerintah pusat melalui Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism dan sebagian kecil di bangun oleh pemerintah daerah atau join dengan swasta.

Dikelola oleh pemda ataupun pihak ke tiga dan sebesar-besarnya bertujan untuk mendorong ekonomi lokal sekaligus melindungi petani dan perajin dari tengkulak karena mereka sendiri yang melakukan aktivitas bisnis secara langsung.

Andai di Pulau Bangka punya sedikitnya 30 fasilitas yang mirip dengan michi no eki tersebut, maka perajin resam tadi dapat menitipkan produknya di 30 fasilitas tersebut, dan bila di tiap fasilitas minimal 1 unit per hari saja songkok yang laku terjual, maka bukan tidak mungkin omset Rp.4.500.000,- perbulan mampu diraih para perajin kita.

Tentu saja usaha ini harus dibarengi dengan beragam usaha lainnya terutama peningkatan jumlah wisatawan yang datang ke Babel, karena pariwisata merupakan pintu masuknya industri kreatif.

Sebuah penelitian mengungkapkan pola pengeluaran wisatawan untuk Akomodasi sebesar 43,7 persen, Makanan 21,8 persen, Souvenir 17,5 persen, Tour 6,4 persen dan Transportasi Umum sebesar 4 persen.

Semoga fasilitas seperti michi no eki ini suatu saat dapat dikembangkan di Bumi Serumpun Sebalai ini, sehingga harapannya missing link dalam pengembangan industri kerajinan tadi perlahan mulai tampak.(*)

Sumber: bangkapos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved