Menjaga DAS dengan WRP

Revitalisasi penambangan (timah) di Babel dan Imbau Pemda Tetapkan WPR merupakan sub judul dari artikel di harian ini, ..

Editor: Dedy Purwadi
Oleh: Eddy Nurtjahya
Ketum Forum Daerah Aliran Sungai
Provinsi Bangka Belitung

REVITALISASI penambangan (timah) di Babel dan Imbau Pemda Tetapkan WPR merupakan sub judul dari artikel di harian ini, 2 September 2012. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) menjadi salah satu usulan solusi permasalahan pertambangan ilegal di Babel. WPR menjadi evolusi terakhir sejak solusi

Gubernur Babel beberapa tahun lalu perihal perlunya legalitas bagi penambang timah rakyat sehingga pembinaan penambangan, penataan lokasi dan bekas tambang, dan jaminan reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang timah dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan. Legalitas tersebut berarti meniadakan usaha penambangan rakyat yang dikategorikan melanggar undang-undang; tidak bermasalah menghadapi penegakan hukum.

Gayung bersambut dari perusahaan dengan pembinaan beberapa koperasi yang setiap koperasi bisa membina beberapa belas atau puluh tambang inkonvensional (TI), tambang skala kecil (TSK) dan TI apung, seperti dilakukan oleh perusahaan tambang besar pemilik izin usaha penambangan (IUP). Harapannya rakyat dapat berpartisipasi menambang dan memperbaiki lingkungan.

Pentingnya DAS
Emil Salim dalam beberapa kesempatan pada beberapa bulan terakhir ini selalu mengingatkan kaitan erat antara daerah aliran sungai (DAS) dengan banjir, kekeringan dan kemiskinan. DAS - wilayah daratan yang merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya - adalah penyuplai air bersih.

Tidak ada teknologi yang mampu menyediakan air bersih dalam jumlah melimpah dan murah sepanjang tahun kecuali hutan. DAS menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. DAS memiliki fungsi ekonomi seperti angkutan, energi, air irigasi, industri dan air minum; sosial seperti air minum dan air produksi; dan lingkungan seperti udara, air, ekosistem, sumber daya alam untuk ekonomi, jasa lingkungan.

Emil Salim mengingatkan bahwa krisis air telah mulai dirasakan oleh sebagian besar penduduk di Pulau Jawa. Jika upaya penanggulangan tidak dilakukan, tingkat krisis meningkat dan menjadi. Disebutkan minimal 30 persen luas wilayah harus berupa hutan.

Masalah pemanfaatan lahan yang tidak memuaskan banyak pihak didasari terutama oleh belum adanya RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) pada kebanyakan provinsi dan kabupaten/kota. Disebutkan baru 17 provinsi dan sekitar 170 kabupten yang telah memilikinya. Proses penetapan RTRW bervariasi dan mencapai beberapa tahun. Menurut Emil Salim (2012) Revisi RTRW Nasional yang akan dilakukan tahun depan seyogyanya memperhatikan ketersediaan mineral; besi diperkirakan habis tahun 2022, bauksit 2018; nikel 2028; tembaga 2045; dan timah 2020.

Usulan alih fungsi 8.000 hektar hutan lindung (HL) menjadi area pemukiman di sebuah kabupaten di Jawa Barat mengundang pelbagai reaksi termasuk ketidaksetujuan Kementerian Kehutanan. Berbagai sumber perbedaan luas kawasan hutan antara lain kesamaan peta kawasan, Di samping itu lemahnya koordinasi antar instansi terkait pemanfaatan dan pengembangan DAS. Karenanya Kementerian Kehutanan memprioritaskan pembuatan rencana pembuatan pengelolaan daerah aliran sungai terpadu (RPDAST) di 108 kabupaten di seluruh Indonesia, termasuk di Bangka Belitung.

Wilayah Pertambangan Rakyat
Pemkab Belitung Timur adalah satu-satunya pemerintah daerah di provinsi ini, dan mungkin di republik ini, yang menerbitkan WPR. Pemda Beltim menerbitkan WPR berbekal surat rekomendasi Ditjen Minerba, Kementerian ESDM tertanggal 28 Maret 2011 perihal Rekomendasi Penetapan WPR (Bangka Pos,  4 April 2011). Rekomendasi yang dikeluarkan merupakan upaya khusus demi kesejahteraan masyarakat di Belitung Timur sekalipun WP (Wilayah Pertambangan) belum ditetapkan oleh Menteri ESDM. Selain WPR, WP terdiri atas WUP (Wilayah Usaha Pertambangan) dan WPN (Wilayah Pencadangan Negara) yang ditetapkan oleh menteri.
Rencana WP ditetapkan setelah ada koordinasi antara Menteri ESDM dan gubernur, bupati/walikota, dan antara Menteri ESDM dengan DPR RI.

Kriteria WPR telah tertuang pada Pasal 26 ayat 2 PP RI Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, seperti: mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 m; merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; luas maksimal WPR sebesar 25 hektar; tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; dan merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Belum adanya penetapan RTRW Provinsi Bangka Belitung sampai sekarang menjadi catatan tersendiri.

Sekiranya legalitas penerbitan WPR masih dipertanyakan karena payung hukum WP belum diterbitkan, mitra tambang, seperti telah dilakukan oleh perusahaan tambang akhir-akhir ini, perlu didukung dan diperluas. Tentu dukungan dari pemangku kepentingan lain terutama dari regulator diperlukan.

Izin menambang sebagai mitra, yang bisa juga diwakili oleh asosiasi pertambangan rakyat, wajib dipatuhi dengan penjualan hasil tambang ke mitra pembina sesuai dengan kesepakatan, sehingga posisi hubungan kedua belah pihak “menang-menang”. Kepatuhan hukum pun perlu ditaati untuk mendukung posisi hubungan tersebut. Reklamasi dan revegetasi yang menjadi kewajiban mitra pembina pun akhirnya mudah terwujud.

Asosiasi pertambangan rakyat dan / atau mitra pertambangan dapat mewakili rakyat dalam proses “sterilisasi” area tambang sehingga lahan bekas tambang telah diyakini tidak lagi ekonomis, sehingga usaha reklamasi dan revegetasi yang akan dilakukan di daerah yang dinyatakan bersama sebagai daerah steril tidak akan ditambang lagi. Sterilisasi adalah istilah yang digunakan di sebagian daerah pertambangan emas, dimana perusahaan bersama dengan wakil dari LSM memastikan bahwa suatu area tidak lagi memiliki cadangan. Jika masih ekonomis ditambang, maka koperasi masyarakat melakukannya. Istilah ini menjadi lebih kompleks manakala menyangkut kandungan timah berkadar rendah (low grade) dan menyangkut upaya menekan sebaran mineral ikutan timah (MIT) yang berpotensi mengandung radioaktif dan bernilai ekonomi tinggi.

Komitmen
Upaya luhur menyelaraskan kebutuhan ekonomi untuk pembangunan dan memperkecil dampak negatif terhadap lingkungan, perbaikan lingkungan, demi mendukung pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan komitmen semua pemangku kepentingan provinsi ini. Ketika pembinaan TSK di darat dan TI Apung di perairan disepakati, kepatuhan semua pihak terhadap hukum dan kesepakatan bersama perlu dijunjung.

Rehabilitasi perlu didukung demi pemulihan DAS dan bukan sekedar melegalkan ekploitasi dan mempercepat ketidaktersediaan cadangan, bak panen raya timah.***

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Cerpen: Aaah !

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved