Kisah Rio Martil Pembunuh Sadis yang Berakhir di Depan Regu Tembak
Sehari-hari Rio Martil dikenal tak banyak bicara, meski juga tidak terkesan menyeramkan bagi orang lain.
Jeje meladeni pembicaraan itu semata untuk menyenangkan hati kliennya saja.
Matanya sesekali melirik ke arah televisi sambil menyimak Rio yang berjalan mondar-mandir di kamar.
Kepala langsung remuk
Tiba-tiba saja, bug! Jeje merasakan sebuah pukulan benda keras menghantam kepalanya. Begitu keras, hingga darah mengucur dan membuat ia tak sadarkan diri lagi.
Pukulan yang dilakukan berkali-kali oleh Rio itu menggunakan dua martil, satu di tangan kiri, satunya di kanan.
Dalam beberapa pukulan saja, kepala Jeje sudah remuk. Darah dan isi kepala berhamburan. Percikannya mengenai kursi, meja, kasur, bahkan sampai ke dinding.
Tubuh ayah tiga anak yang sudah berusia belasan tahun itu akhirnya tergolek bersimbah darah di kursi. Melihat itu, Rio langsung membuang martil di lantai.
la meraih selimut dan sprei kasur untuk mengelap tangannya yang belepotan darah, lalu kain yang merah basah itu digunakan untuk menutupi tubuh korbannya.
Merasa kurang bersih, Rio menuju kamar mandi dan cuci tangan di wastafel.
Tok, tok, tok! "Pak Jeje! Pak Jeje!"
Terdengar pelayan hotel memanggil-manggil sambil mengetuk pintu kamar.
Suara yang sempat membuat Rio terkejut.
"Sebentar, saya masih ngobrol-ngobrol," katanya menjawab sambil terus membersihkan tangannya.
Mendengarnya, pelayan segera meninggalkan kamar dan berjalan ke arah depan hotel.
Merasa situasi sudah aman, Rio bergegas.