Kisah Muntok White Pepper yang Terhimpit Timah dan Perkebunan Sawit
Bagi pelaku usaha lada, sawit adalah ancaman baru terhadap lada Bangka Belitung setelah tambang.
Mereka ingin hutan produksi milik negara bisa tetap digarap oleh warga desa, bukan oleh perusahaan swasta atau bahkan swasta asing.
Protes terhadap masuknya sawit di Kundi berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Warga bahkan telah menetapkan tanggal 15 Agustus sebagai hari perjuangan menentang sawit, sekaligus hari pelaksanaan pesta adat.
Lewat peraturan desa, warga menjaga sekitar 4 hektar hutan adat dan memegang aturan terkait pemanfaatan hutan di sekitar desa.
Anjlok
Bagi pelaku usaha lada, sawit adalah ancaman baru terhadap lada Bangka Belitung setelah tambang. Zafrizal, Kepala Sekretariat Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Bangka Belitung, menyebutkan, setelah perkebunan sawit masuk tahun 1997 dan berkembang luas pada tahun 2000-an, tren ekspor lada dari Bangka Belitung terus turun.
Catatan Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI), berdasarkan jumlah lada yang dikapalkan ke luar negeri sejak 1991, volume tertinggi ekspor lada putih dari Bangka Belitung terjadi tahun 2002 sebesar 42.190 ton.
Setelah itu, jumlahnya terus turun, tak pernah lebih dari 10.000 ton sejak tahun 2006.
Empat tahun terakhir, ekspor lada asal Bangka Belitung pun terus turun, dari 8.785 ton tahun 2013 menjadi 8.051 ton tahun 2014, 7.039 ton tahun 2015, dan 6.519 ton tahun lalu.
Ekspor antara lain ke Amerika Serikat, Belanda, Perancis, Jerman, Inggris, Italia, Singapura, dan Vietnam.
Jika data ekspor AELI menunjukkan tren penurunan, data produksi lada dari Dinas Pertanian Provinsi Bangka Belitung justru terus naik. Dinas Pertanian mencatat kenaikan produksi lada dari 33.596 ton tahun 2013, kemudian 33.828 ton tahun 2014, dan 36.211 ton tahun 2016.
Menurut Zolaliena, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Bangka Belitung, peningkatan produksi terjadi sejalan dengan revitalisasi lada yang ditempuh pemerintah dan petani sejak tahun 2011.
Ketidaksinkronan data produksi lada mengundang tanya pembeli di luar negeri. Menurut Ketua BP3L Bangka Belitung Zainal Arifin, pembeli dari Eropa beberapa kali datang untuk mengecek panen di lapangan.
”Mereka (pembeli) tak percaya bahwa barangnya sedikit, seolah kami sengaja menyembunyikannya untuk mendongkrak harga jual, padahal memang tidak banyak,” kata Zainal yang juga Ketua AELI Bangka Belitung.
Penurunan produksi juga sejalan dengan berkurangnya jumlah eksportir di Bangka Belitung. Data AELI, pada tahun 1990-an tercatat ada 45 eksportir, sekarang tinggal 5 eksportir.
Penurunan produksi lada sejalan dengan perluasan kebun sawit. Berdasarkan data Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Bangka Belitung, luas perkebunan sawit bertambah rata-rata 10 persen per tahun, sementara perkebunan lada hanya bertambah 4 persen per tahun.