The King of Spice yang Mendunia Itu Berawal Dari Muntok Lalu Menyebar ke Seluruh Babel
Sentranya di Bangka Selatan, penghasil dua pertiga lada Bangka Belitung, mayoritas dari kebun-kebun rakyat yang melibatkan sekitar 57.000
Mereka sehari-hari bekerja di tambang timah dan pada waktu senggang menanam dan merawat tanaman ladanya. Karena dinilai menguntungkan dan memberikan manfaat secara ekonomi, selanjutnya orang-orang Tionghoa secara intensif membudidayakan lada di dekat tempat tinggal mereka.
Mereka memberikan pupuk kandang dan pupuk hijau pada tanaman ladanya sehingga produksinya pun tinggi. Selain itu, mereka juga mempekerjakan kuli-kuli tambang yang kurang cakap bekerja di tambang timah untuk merawat kebun-kebun lada.
Pada awal abad ke-20, petani pribumi Melayu mulai tertarik menanam lada. Hal itu tak bisa lepas dari mudahnya mengurus tanaman lada dan cocok diintegrasikan dengan tanaman ladang serta komoditas itu lebih mudah dijual dengan harga tinggi.
Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda memberikan kemudahan kepada warga pribumi untuk menanam lada sehingga lada menjadi tanaman yang disukai pribumi.
Kemudahan itu berupa pemberian intensif bagi pribumi dan tidak perlu izin menanam lada seperti yang dikenakan kepada orang Tionghoa.
Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda hanya mengenakan syarat agar lokasi kebun harus paling sedikit berjarak 1,5 kilometer dari tambang timah dan pekebun lada tidak dikenai pajak penanaman lada. Pajak hanya dipungut oleh penguasa lokal 1 persen dari penjualan.
Kebijakan itu dimaksudkan untuk mencegah orang-orang Tionghoa yang bekerja di tambang timah ikut-ikutan menanam lada atau menjadi pekerja kebun. Orang-orang Tionghoa yang terkenal ulet dan sulit diperoleh itu tenaganya sangat dibutuhkan untuk menggali bijih timah di tambang-tambang.
Selanjutnya, petani pribumi menanam lada dalam skala perkebunan besar dengan menggunakan tenaga kerja upahan. Kebun-kebun lada pun arealnya semakin luas dan berkembang hampir di seluruh wilayah di Pulau Bangka.
Kemudian, lada disebarluaskan ke Pulau Belitung dan Manggar yang tercatat sebagai daerah pertama yang menanam lada.
Tahun 1920-an, perkebunan lada di Bangka dan Belitung mencapai masa keemasannya. Tahun 1926, misalnya, jumlah tanaman lada mencapai 7 juta pohon. Setahun kemudian bertambah menjadi 9 juta pohon dan berkembang hampir tiga kali lipat menjadi 20 juta pohon pada 1931.
Alhasil, ekspor lada dari Banga Belitung pada tahun 1931 pun tercatat lebih dari 12.000 ton, sementara ekspor lada Hindia Belanda kala itu 14.000 ton.
Tidak mengherankan di era 1930-an, ekspor lada dari Bangka mendominasi ekspor lada Hindia Belanda. Hindia Belanda pun berkibar menjadi negara pengekspor lada nomor satu di dunia, khususnya setelah penanaman intensif di Pulau Bangka dan Lampung.
Hampir sepertiga ekspor lada Hindia Belanda dipasok ke Amerika. Sementara Singapura pasar terbesar kedua dengan volume hampir 25 persen, disusul Jerman 17 persen dan Belanda 11 persen. Sebanyak 65 persen ekspor lada Hindia Belanda itu berasal dari Bangka.
Seiring dengan memburuknya perekonomian dunia dan terjadi Perang Dunia II, kejayaan lada provinsi itu berangsur surut. Bahkan, di masa penjajahan Jepang (1942-1945), perkebunan lada pun hancur dan tak terurus.
Saat itu, tanaman lada di Bangka hanya tersisa 100.000 pohon atau hanya 0,5 persen dibandingkan dengan masa keemasannya yang mencapai 20 juta pohon.