The King of Spice yang Mendunia Itu Berawal Dari Muntok Lalu Menyebar ke Seluruh Babel
Sentranya di Bangka Selatan, penghasil dua pertiga lada Bangka Belitung, mayoritas dari kebun-kebun rakyat yang melibatkan sekitar 57.000
Setelah Perang Dunia II usai dan Indonesia meraih kemerdekaan, perkebunan lada Bangka Belitung kembali digalakkan dan terus meluas hingga tahun 1980-an. Tahun 1970-an diperkirakan terdapat 6.100 hektar lahan yang ditanami lada, areal itu makin bertambah menjadi 23.000 hektar atau 46 juta pohon tahun 1985.
Hal itu terjadi setelah pemerintah menempuh kebijakan intensifikasi lada di Bangka tahun 1974-1976. Penyuluhan pertanian pun tidak kecil peranannya dalam mempertahankan eksistensi produksi lada Bangka.
Tahun 1980-an, lada Bangka kembali mencapai masa kejayaannya saat harga lada Rp 12.000 per kg. Ekspor lada dari Banga Belitung tahun 1985 pun mencapai 11.000 ton, senilai 36 juta dollar AS atau mendekati masa keemasannya tahun 1930-an. Banyak masyarakat Bangka mendadak kaya dari usaha lada.
Mereka berlomba-lomba membeli barang-barang mewah, mulai dari perangkat rumah tangga hingga elektronik. Barang-barang mewah itu pun akhirnya jadi pajangan karena desanya belum berlistrik. Bahkan, banyak anak muda yang hanya memakai sepeda motor baru untuk tiga bulan dan selanjutnya dijual murah karena bosan.
Ketika harga lada kembali anjlok tahun 1990-an dan sempat menyentuh harga terendah Rp 4.000 per kg, petani lalu beramai-ramai meninggalkan kebun-kebun lada, membuat ribuan tanaman lada terbengkalai dan menjadi semak belukar. Jika tahun 1980-an masih tercatat terdapat 47.439 hektar tanaman lada, menjelang akhir 1992 tinggal tersisa kurang dari separuhnya.
Harga lada kembali membaik pada 1995 dan menyentuh harga tertingginya, Rp 60.000 per kg, tahun 1998. Lada kembali menjadi tumpuan hidup sebagian masyarakat Bangka. Petani pun kembali memperluas kebun ladanya. Tahun 1999, luas kebun lada di Bangka Belitung sekitar 49.000 hektar dan menghasilkan 30.000 ton lada putih.
Kini, luas lada di Bangka Belitung mencapai 48.011 hektar, sementara luas perkebunan lada di seluruh Tanah Air mencapai 168.000. Artinya, tak kurang dari 28 persen areal lada di Indonesia diusahakan di Bangka Belitung.
Kontribusi lada itu bisa jadi terus bertambah melihat potensi areal yang bisa ditanami lada di provinsi ini mencapai 237.500 hektar atau 14,8 persen dari luas daratan Bangka Belitung.
Dengan produksi 31.408 ton dan produktivitas 1,26 ton per hektar pada tahun 2016, Bangka Belitung tercatat sebagai penghasil lada terbesar nasional.
Sepertiga produksinya diekspor ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Perancis, Jerman, Jepang, China, dan Singapura. Saat ini di tingkat petani harga lada mencapai Rp 107.000 per kg, sementara di tingkat internasional harga Muntok White Pepper mencapai 8,2 dollar AS per kg.
Kendala
Lada di Bangka Belitung sebagian besar dihasilkan dari lima varietas lada yang banyak dibudidayakan petani, yaitu Lampung Daun Lebar (LDL), Lampung Daun Kecil (LDK), Chunuk, Merapin, dan Jambi. Selain kelima varietas itu, petani lada kini juga menanam varietas unggul yang dilepas pemerintah, yakni Petaling 1, Petaling 2, Natar 1, Natar 2, dan Bengkayang.
Meski harga lada terbilang tinggi, perluasan kebun lada di Bangka Belitung berjalan lambat. Kendalanya adalah tingginya biaya investasi lada, seperti penggunaan tiang panjat mati untuk merambatkan tanaman lada yang mencapai 2.000 batang per hektar senilai Rp 50 juta.
Tiang itu harus sering diganti karena masa pakainya hanya 3 tahun akibat lapuk. Padahal, jika menggunakan tiang panjat hidup berupa pohon yang mampu hidup kembali setelah ditebang, itu bisa menghemat biaya produksi.
Faktor lainnya adalah penggunaan bibit lada. Selama ini petani lada menggunakan setek bibit 7 ruas, padahal jika mengunakan bibit 1 ruas, biaya bibitnya bisa lebih murah. Selain itu, perluasan lahan perkebunan sawit turut menghambat perluasan lahan lada.