Hut Korps Brimob
Bapak Brimob M Jasin, Tak Tergoda Berkilo-kilo Emas dan Permata Saat Tunaikan Tugas
Melihat emas dan berlian yang melimpah ruah itu Jasin tak tergoda. Sebenarnya bisa saja dia mengambil benda berharga tersebut
Penulis: Iwan Satriawan | Editor: Iwan Satriawan
Semasa pendudukan Jepang dia didapuk sebagai komandan kompi Pembela Tanah Air (PETA) di kota yang sama.
Usai proklamasi, Sabarudin ditunjuk menjadi kepala PTKR. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan.
Kepada para tawanan yang tak disukainya, Sabarudin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji.
Menurut Jasin, Sabarudin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.”
Bahkan Sabarudin menjadikan tawanan-tawanan perempuan sebagai budak. “Perempuan-perempuan muda Indo-Eropa dijadikan harem-haremnya,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid IV.
Kejam Sekaligus Dipuja
MESKI kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya.
“Rahasia kepemimpinannya adalah, dia mampu menghadapi dan memenuhi kebutuhan anak buahnya, meskipun untuk itu bila perlu ditempuh lewat cara yang ilegal,” tulis Moehkardi, pengajar sejarah Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri), dalam biografi R. Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya.
Markas Besar Angkatan Perang tampaknya berang dengan ulah semena-mena Sabarudin. Dalam keterangan di bukunya, Moehammad Jasin mendapat perintah dari Jenderal Soedirman untuk menangkap Sabarudin.
Perintah itu terlaksana. Sabarudin menyerah dalam pengepungan di Jawa Timur.
Lewat pengadilan militer di Yogyakarta, Sabarudin dijatuhi hukuman penjara. PTKR dibubarkan.
Dari penjara di Wirogunan, Yogyakarta, Sabarudin dipindah ke penjara Magelang. Semasa di penjara, pada 21 Juli 1947, Ambarawa diduduki Belanda.
Sabarudin memanfaatkan situasi gawat ini dengan membujuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta supaya dibebaskan. Dia bahkan ditugaskan membentuk laskar dengan syarat mau ditempatkan di Jawa Barat.
Dalam waktu tak lama dia berhasil mengumpulkan kembali sekompi anak buahnya. Bukannya pergi ke Jawa Barat, Sabarudin malah kembali ke Jawa Timur.
Peristiwa PKI 1948 di Madiun membuat pemerintahan pusat memperkuat militer. Laskar Sabarudin termasuk yang ikut direhabilitasi. Kesatuannya diakui sebagai Batalion 38 di dalam sebuah brigade yang dipimpin Letkol Surachmad.
Pada 1948, ketika Tan Malaka dibebaskan dan hendak melakukan gerilya di Jawa Timur, Sabarudin adalah yang mula-mula memberikan jaminan keselamatan kepadanya.
Menurut Moehkardi, Sabarudin fanatik kepada ajaran-ajaran Tan Malaka. Pendapat itu disangkal Poeze. “Ikatannya dengan Sabarudin mustahil dan tidak bisa dipercaya. Tapi dalam revolusi berlaku kaidah-kaidah lain, dan persekutuan semacam itu bisa saja terjadi, seperti juga Revolusi bisa menawarkan kesempatan kepada orang-orang semacam Sabarudin naik ke jenjang kekuasaan,” tulis Poeze.
Gerakan Tan Malaka yang antidiplomasi dianggap membahayakan Republik. Begitu pula dengan Sabarudin yang menyertainya.
Sepeninggal Tan Malaka yang ditembak mati di Kediri, Sabarudin dan pasukannya terus berada dalam pelarian di Jawa Timur.
Meski berkali-kali diimbau menyerahkan diri, Sabarudin kukuh menolak. Bahkan pasukannya melumpuhkan Batalion Banuredjo yang dikirim Surachmad untuk mengejar Sabarudin. Mayor Banuredjo tewas di tangan anak buah Sabarudin di Kalipare, Malang Selatan.
Kematian Banuredjo menambah murka Surachmad dan para komandan brigade di Jawa Timur lainnya. Dan Sabarudin, meski berhasil meloloskan diri, makin terdesak oleh tentara yang terus mengejarnya.
November 1949 pasukannya terjepit di Kawi Selatan, Malang. Kolonel Soengkono, panglima dan gubernur militer di Jawa Timur, membujuk Sabarudin lewat surat.
Isi surat tersebut ialah perintah supaya Sabarudin menghadap Soengkono di Surabaya, hendak diajak membahas upaya perundingan gencatan senjata antara TNI-Belanda.
Kali ini Sabarudin melunak. Menurut Poeze, dia telah berniat “kembali bertindak sebagai seorang tentara yang loyal”.
Dengan menunggang kuda, Sabarudin turun gunung menuju Surabaya. Tapi sesampainya di Surabaya, Soengkono sudah bertolak ke Nganjuk, tempat dilangsungkannya perundingan gencatan senjata itu.
Sabarudin menemui tentara Belanda yang juga akan berangkat ke Nganjuk untuk perundingan. Mengingat pangkatnya yang lumayan tinggi, dia diperlakukan dengan hormat oleh Belanda. Bahkan dia difasilitasi mobil dan berbarengan dengan delegasi Belanda berangkat ke Nganjuk.
Di Nganjuk, usai perundingan, Soengkono mengajak Sabarudin menuju markasnya di Ngluyu, juga di kabupaten yang sama.
Pada kesempatan itu beberapa pengikutnya yang masih bersimpati turut memohon kepada Soengkono supaya Sabarudin dimaafkan. Namun, Soengkono sudah mengambil keputusan. Sabarudin ditahan.
Surachmad yang masih menyimpan dendam kepada Sabarudin turut mendengar bahwa Sabarudin hendak dihukum tahanan.
Dia menganggap hukuman itu tak tak cukup setimpal. “Ketika Surachmad mendengar kejadian tersebut, ia memerintahkan CPM (Corps Polisi Militer –red) yang di bawah komandonya untuk mengambil Sabarudin dan membawanya ke Madiun untuk diadili,” tulis Poeze.
Sekitar 24 November 1949, sesuai kehendak Surachmad, anggota CPM menyeret Sabarudin ke Madiun. “Dalam perjalanan menuju Madiun, di Wilangan, Sabarudin dieksekusi sesudah pengadilan militer di medan perang menjatuhkan hukuman mati,” tulis Poeze. Berakhirlah petualangan Sabarudin.(*)