Kisah Pangeran Diponegoro Gunakan Senjata Biologis, Banyak Prajurit Belanda Tewas
Sebagai tokoh besar yang pernah mengobarkan Perang Jawa (1825-1830), Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro lalu membangun kekuatan untuk melawan Belanda dan perang yang memakan korban ratusan ribu jiwa berkobar dari tahun 1825-1830.
Pada awalnya Pangeran Diponegoro yang menerapkan semua strategi perang mulai dari taktik infanteri, gerilya, perang terbuka, hingga perang spionase, berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Untuk pertama kalinya, Pangeran Diponegoro juga memperkenalkan pasukan wanita yang sanggup bertempur seperti prajurit kavaleri.
Naik kuda sambil membidikkan panah.
Musim yang merugikan Belanda seperti musim hujan dimanfaatkan laskar Pangeran Diponegoro untuk melancarkan serbuan besar-besaran sehingga mampu menimbulkan korban besar di pihak Belanda.
Musim penghujan juga digunakan oleh pasukan Diponegoro untuk melancarkan “perang biologi”.
Caranya aliran air yang menuju benteng Belanda “dikirimi” bangkai-bangkai binatang sehingga memunculkan penyakit seperti diare dan desentri.
Kerugian besar dalam jumlah personel yang diderita Belanda membuat pasukannya berkurang drastis.
Banyak prajurit yang tewas bukan karena senjata musuh tapi justru oleh keganasan alam akibat musim hujan dan wabah malaria serta kiriman bangkai-bangkai binatang.
Pada musim hujan, senjata api yang digunakan Belanda juga sering mengalami kemacetan sehingga kurang efektif.
Apalagi dalam perang melawan pasukan Napoleon di Eropa, Belanda juga mengalami kekalahan.
Untuk menambah jumlah pasukannya, Belanda kemudian merekrut prajurit dari Afrika dan Pantai Gading dan dikenal sebagai pasukan Belanda Hitam.
Untuk menuntaskan perlawanan Pangeran Diponegoro, Belanda juga mendatangkan tentaranya yang bermarkas di Sulawesi sehingga jumlah total kekuatannya mencapai 23.000 personel.
Jenderal De Kock yang dikenal sebagai komandan yang berpengalaman menghadapi pemberontak pun diturunkan.
Berkat sistem benteng yang diterapkan, De Kock berhasil memecah belah pasukan Diponegoro sehingga kekuatannya makin melemah. Menurunnya perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro ditandai dengan menyerahnya pemimpin spiritual perjuangan, Kyai Maja pada tahun 1829.