Sosok Ini Ungkap Dalang Bom Surabaya Sebenarnya dan Pengakuan Mengejutkan Teman Dita
Kedua, terkait dalang pengeboman yang disebutkan secara gamblang inisialnya oleh David.
BANGKAPOS.COM -- Seorang jurnalis koresponden media asing ABC Australia, David Lipson, menuliskan cuitan tentang dalang pengeboman di Surabaya.
Rabu (16/5/2018), David menuliskan sejumlah cuitan tentang kelanjutan kasus yang telah menewaskan sejumlah orang ini.
Pertama, terkait keterangan yang diberikan oleh Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian,
yang akan mengajak personel Komando Pasukan Khusus (Kopassus) untuk
bergabung memburu teroris.
"Indonesia's Police Chief Tito has confirmed an anti-terrorist detachment of Kopassus
(military's special forces unit) has joined the hunt for associates of
the Surabaya bombings. Many Indonesians will be uneasy about Kopassus knocking on doors again".
Kedua, terkait dalang pengeboman yang disebutkan secara gamblang inisialnya oleh David.
David menuliskan Dita Oeprianto (sebelumnya ditulis Dita Supriyanto, red) bukan dalang pengeboman.
Seseorang berinisial AU diduga sebagai pelaku yang lebih senior yang merencanakan aksi ini.
"Indonesian police say they've captured the leader of JAD in East Java. His initials are AU.
They had been saying Dito (father of church bombing family) was the leader, but seems
there's someone more senior".
Pada cuitan terakhir, David menuliskan ralat penulisan nama Dita yang sebelumnya ia tulis Dito.
"I mean Dita, not Dito. Fat fingers".
Diberitakan sebelumnya, Dita menjadi pelaku bom bunuh diri yang menyerang tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018).
Tidak sendiri, Dita yang merupakan warga Rungkut, Surabaya, juga mengajak anggota keluarganya terdiri istri dan empat anaknya.
Dikuti TribunSolo.com dari Kompas.com, kepastian identitas pelaku diungkap oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
"Alhamdulilah, dari identifikasi sudah diketahui. Pelaku satu keluarga yang
melakukan serangan ke tiga gereja," sebut Tito saat mendampingi Presiden RI Joko
Widodo di RS Bhayangkara Polda Jatim, Minggu(13/5/2018) petang.
Terkait sosok Dita, seorang netter dengan akun Facebook, Ahmad Faiz Zainuddin, yang
mengaku sebagai adik kelas Dita semasa sekolah SMA mengungkap masa lalu Dita semasa sekolah.
Menurut Ahmad, Dita sudah terpapar paham radikal sejak SMA.
Berikut pengakuannya sebagaimana dikutip TribunSolo.com dari akun facebooknya, Senin (14/5/2018).
"Dari Islam Muram dan Seram, Menuju Islam Cinta nan Ramah
Dita Oepriarto adalah Kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya Lulusan ‘91
Dia bersama-sama istri dan 4 orang anaknya berbagi tugas meledakkan diri di 3 gereja di
surabaya. Keluarga yg nampak baik2 dan normal seperti keluarga muslim yg lain,
seperti juga keluarga saya dan anda ini ternyata dibenaknya telah tertanam paham
radikal ekstrim.
Dan akhirnya kekhawatiran saya sejak 25 tahun lalu benar2 terjadi saat ini.
...
Dan dari semua versi tadi, yg paling saya khawatirkan adalah versi kakak kelas saya
mendiang Dita Supriyanto yg jadi ketua Anshorut Daulah cabang Surabaya ini. Saya
sedih sekali akhirnya ini benar2 terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika
akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak “jihad” dia,
karena benih2 ekstrimisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu.
Dia mengingatkan saya pada kakak kelas lain, ketua rohis SMA 5 Surabaya waktu itu,
yg menolak ikut upacara bendera karena menganggap hormat bendera adalah syirik,
ikut bernyanyi lagu kebangsaan adalah bid’ah dan pemerintah Indonesia ini adalah thoghut.
Waktu itu sepertinya pihak sekolah tidak menganggap terlalu serius. Karena memang
belum ada bom2 teroris seperti sekarang. semua sekedar “gerakan pemikiran”.
Memang dia dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) unt diajak diskusi, tapi kalau
sebuah ideologi sudah tertancap kuat, seribu nasehat ndak akan masuk ke hati. Dan
Akhirnya pihak sekolah menyerah, toh dia tidak bertindak anarkis, bahkan terkenal cerdas, lemah lembut dan baik hati.
Akhirnya Ketua rohis saya ini tiap upacara bendera i’tikaf di mushola sekolah. Btw
kadang saya kalau lagi males upacara, ikut menemani dia di mushola dan ikut
mendegarkan siraman rohaninya. Dan yg seperti ketua rohis saya ini tidak hanya di
SMA 5, tapi yg saya tahu ada di hampir semua SMA dan kampus di surabaya atau
bahkan di seluruh Indonesia.
Yg ingin saya katakan, Terorisme dan budaya kekerasan yg kita alami saat ini adalah
panen raya dari benih2 ekstrimisme-radikalisme yg telah ditanam sejak 30-an
tahun yg lalu di sekolah2 dan kampus2. Saya tidak tahu kondisi sekolah dan kampus saat
ini, tapi itulah yg saya rasakan jaman saya SMA dan kuliah dulu.
Mohon jangan salah paham, main stream-nya pergerakan islam di sekolah dan kampus
ini tidak se-ekstrim kakak kelas saya tersebut. Tapi ada cukup banyak yg sifatnya
sembunyi2 dimana saya waktu itu ikut merasakan ngaji bersama mereka.
Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dng tempat2 yg sangat akrab di telinga
dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yg terasa begitu dekat dengan
memori masa2 SMA-Kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa
Ekstrimisme, Radikalisme, bahkan Terorisme ini sudah menjadi “Clear and Present
Danger”. Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yg terjadi nun jauh di
negeri seberang. Ini sudah terjadi disini dan saat ini disekitar kita.
Maka kita harus menetralisir kegilaan ini sampai ke akar2nya. Tidak ada gunanya kita
melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya ndak paham
islam, ini bukan bagian dari ajaran islam, ini pasti cuman adu domba, dll.
Nyatanya pelakunya masih sholat subuh berjamaah di mushola, lalu satu keluarga
berpelukan sebelum mereka menyebar ke 3 gereja unt meledakkan diri.
..."
(TribunSolo.com/Noorchasanah A)