2 Wanita Bercadar dan Seorang Pria Berdiri di Tempat Umum, Minta Dipeluk, Ini yang Terjadi
Aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini meninggalkan bekas atau luka bagi bangsa Indonesia.
BANGKAPOS.COM - Aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini meninggalkan bekas atau luka bagi bangsa Indonesia.
Aparat dari Kepolisian kian gencar melakukan pemeriksaan dan razia diberbagai tempat.
Kasus bom di Gereja Surabaya memberi rasa ragu kepada beberapa masyarakat akan adanya perempuan bercadar.
Pasalnya, pelaku bom di Surabaya saat itu menggunakan cadar dan meledakan diri.
Namun baru-baru ini sebuah sosial experimen yang dibagikan di Facebook oleh akun Via Stranger viral.
Dalam video tersebut terlihat dua orang wanita bercadar tengah memegang selembar kertas bertuliskan ajakan untuk memeluk mereka jika merasa aman.
Serta seorang pria bercelana loreng sambil memakai penutup mata ikut menemani kedua wanita tersebut.
Ketiganya berdiri di depan sebuah rumah makan di mana sering menjadi tempat banyak orang melintas.
Beberapa menit kemudian setiap orang yang melintas mampi dan memeluk kedua wanita tersebut.
Pria yang berdiri agak berjarak dengan duan wanita tersebut juga mendapat pelukan dari orang lain.
Video tersebut membuat banyak netizen terharu, bahkan kedua wanita dalam video tersebut tampak menangis.
Sesekali tangan keduanya menyapu mata yang terlihat meneteskan air mata.
Dalam video tersebut mereka hanya ingin menunjukan bahwa tak semua yang berpakaian seperti itu adalah teroris.
Berikut videonya:
Perempuan Bercadar Bukan Ancaman
Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin meminta agar perempuan pengguna cadar memahami kondisi sebagian masyarakat saat ini yang mungkin memiliki pandangan tertentu menyusul terjadinya serangan bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur selama dua hari terakhir.
"Tentu bagi pengguna cadar itu sendiri, agar betul-betul bisa memahami situasi dan lingkungannya karena sekarang sebagian masyarakat kita ada semacam keresahan atau kekhawatiran, atau mungkin bahkan kecurigaan terhadap mereka-mereka yang menggunakan cadar," kata Lukman di kantornya, seperti dilansir CNN, Selasa (15/5).
Dengan demikian, Lukman mengimbau kepada pengguna cadar menjaga sikapnya agar tidak menarik perhatian. Menag mengimbau, mereka bisa memberi rasa aman terhadap sekitar dan menunjukkan bahwa tidak semua pengguna cadar berbuat atau melakukan tindakan teror.
"Maka sudah pada tempatnya bagi mereka-mereka yang menggunakan cadar untuk bisa memberikan rasa aman kepada lingkungannya dengan berbagai cara, tentu menunjukkan bahwa dirinya sama sekali bukanlah ancaman terkait dengan keselamatan dan keamanan lingkungan dia berada," kata Lukman.
Para perempuan pengguna cadar, kata Lukman, juga harus bisa membaur seperti biasa, terutama di lingkungan sekitarnya.
"Sehingga semua kita merasa aman meskipun ada sesama kita yang menggunakan cadar," ujarnya.
Di sisi lain Lukman mengimbau masyarakat tak perlu merasa risau, khawatir, bahkan curiga terhadap sosok bercadar. Lukman juga meminta masyarakat untuk menghormati seseorang yang menggunakan cadar karena alasan keyakinan pemahaman keagamaan.
"Oleh karenanya, terhadap saudara-saudara kita yang menggunakan cadar, kita hargai dan hormati dia karena itu adalah haknya untuk melaksanakan pengamalan dari pemahaman agama yang dimiliki dan diyakininya," kata Lukman.
Teror di Mana-mana Kami Tetap Bersama, Lihat, Rumah Ibadah Kami Tanpa Tembok Pemisah
Mata ini berkaca saat melihat teror bom di mana-mana.
Angin yang bertiup seolah terus menbawa berita duka.
Puing-puing ledakan bom di Surabaya membuat membuat saya kecewa.
Kecewa kepada mereka yang ingin bangsa ini menderita.
Tangis di mana-mana mengiringi kepergian keluarga tercinta. Bukan masalah duka prihatin foto korban terluka terus dibagikan ke mana-mana.

Jari tanganku tak pernah bosan menulis keberagaman negeri ini.
Ditengah suasana tanah air yang di isi beberapa orang yang tak paham arti kerukunan tangan saya semakin ingin terus dan terus menulis mahalnya arti sebuah kerukunan.
Tepat di Sudut Desa saya, di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara. Terdapat dua bangunan yang saling berhimpitan, bukan Toko, apalagi Mal.
Itu hanya dua Rumah ibadah Muslim dan Kristen.
Ya Gereja dan Masjid itu berdiri tegak tanpa tembok pemisah.
Di Desa Kami berbagai suku, Ras dan Agama berbaur menjadi satu.
Saat IdulFitri, pemuda Gereja berjaga depan Masjid saat Salat Ied.
Saat Natal, dengan kopiah para umat Muslim menunggu kami pulang Gereja untuk berjabat tangan mereka pun ikut berjaga saat kami tengah ibadah.
Saat ibadah Minggu bagi Nasrani, Masjid tak menyalakan pengeras suara.
Saat adzan terdengar kami saling mengingatkan agar tak ada yang membuat keributan.
Sangat teduh Desaku dari perselisihan antar umat beragama.
Ketika Tv menyiarkan para pendemo membawa nama Agama, kami disini hanya menyapu dada dan saling mengingatkan antar umat beragama.
Ketika teror bom di mana-mana kami terus saling sapa dan saling menguatkan.
Tak pernah kami membawa Agama manapun ketika ada teror bom. Kami tahu tak ada Agama yang mengajarkan membunuh dan menyakiti sesama.
Kami tahu, mereka (teroris) itu buta, buta hati, buta pikiran dan akal sehat.
Enta Tuhan apa yang mereka puja, yang pasti kami tak ingin mereka sampai memecah bela.
Ketika ujaran kebencian yang memecah belah berbaris di wall Sosial Media, kami hanya melihat tanpa ada rasa ingin membagikan.
Kami membela negeri bukan membawa nama Nasrani, bukan juga mengaku Hindu, Budha, atau Muslim. Kami bersuara lantang menjaga NKRI dengan nama ibu Pertiwi, Indonesia yang kami cintai.
Kami tak mau hidup dengan saling memanas-manasi, kami tahu Kerukunan itu mahal.
Kami tak mau desa kami hancur Karena tak memiliki Toleransi termasuk Negara ini.
Ada ratusan bahkan ribuan orang yang tak ingin kita tenang.
Melihat kita bertikai membuat mereka senang.
Melihat kita saling menyakiti membuat mereka semakin menjadi.
Melihat kita terluka membuat mereka tertawa.
Ingatlah saudara, kita ada di Indonesia, negara yang penuh keberagaman, kerukunan dan banyak lagi hal yang menjadi contoh negara lain.
Tuhan sengaja menciptakan kita dari Sabang sampai Merauke dengan penuh perbedaan.
Agar kita paham, arti menghargai, mengasihi, menerima, meski kita berbeda.
Dua bangunan di desa saya ini selalu menjadi kebanggaan.
Bangunan ini hanya sebuah simbol, bahwa kami di sini tak pernah mengerti dan tak mau mengerti apa itu saling membenci.
Kami belajar saling mengasihi, bukan memusuhi. Kami berbagi, bukan saling mencaci maki.
Andai saja kita bisa menjadi seperti bangunan ini, meski dalam satu lahan tapi tak ada satu tiang pun yang memisahkan, meski dalam perbedaan.
Kami tak pernah takut teror, kami tak pernah takut teroris.
Yang kami takut saat kasih dan kedamaian kita hilang.
Saat teror bom membuat kita takut, mereka tertawa melihat kita menderita.
Meski kita beda, namun kita tetap sama, dan ada di Tanah yang sama, Indonesia tercinta.
Mari kita jaga kerukunan, jangan mudah dipecah belah. Jangan mudah kita terprovokasi, karena hanya untuk kepentingan pribadi orang-orang yang tak punya hati.
Tulisan: Valdy Suak Wartawan Tribun Manado