Panasnya Perselingkuhan Putri Diana dengan Kapten James Hewitt: Semua Bermula dari Musim Panas

Panasnya Selingkuh Putri Diana dan Kapten James Hewitt: Semua Bermula dari Perjamuan di Penghujung Musim Panas 1986

Editor: Teddy Malaka
Intisari
Putri Diana - James Hewitt 

BANGKAPOS.COM – Seusai wawancara di BBC, 20 November 1995, ada orang yang benci, banyak pula yang bersimpati kepada Putri Wales (Lady Di).

Sungguhkah ia berniat mengkhianati perkawinan? Apakah ia berselingkuh karena suaminya juga berbuat hal yang sama?

Itulah yang terungkap dalam buku Princess in Love karya Anna Pasternak, yang ditulis berdasarkan wawancara dengan James Hewitt, pria yang – sekalipun dikecam dan kini dikucilkan – pernah mengisi kehampaan hati serta mengembalikan kepercayaan diri sang Putri.

Hampir tak ada celah aman bagi pasangan Wales, Pangeran Charles dan Putri Diana, untuk berlindung dari sorotan media massa. Masyarakat Inggris bahkan sudah tahu keretakan hubungan mereka sebelum perpisahan resmi diumumkan.

Perselingkuhan Charles dengan Ny. Camilla Parker-Bowles, yang terceritakan gamblang dalam biografi karya Jonathan Dimbleby, dari waktu ke waktu dikomentari, ditambahi, ditulis, dan dituliskan kembali, dalam versi yang selalu diperbarui.

Nyaris tak ada perbedaan antara gosip, isu, berita koran atau tabloid, dengan kenyataan sebenarnya. Bagi mereka yang terlibat, sungguh bagaikan siksaan. Seolah-olah media memaksa, "Jika Anda tak mau bicara, kami akan menuliskan apa yang kami ketahui."

Beban James Hewitt, barangkali lebih dari itu. Ia, yang menyimpan cerita pribadi soal hubungannya dengan Diana, perlahan namun pasti dicoreng-moreng media.

Ia tak hanya perlu atau tidak menjawab tantangan, melainkan bagaikan hidup dalam bejana gantung penuh karat. Cepat atau lambat korosi akan menggerogoti, sampai tahu-tahu rusak dan ia jatuh.

Tapi, sungguhkah ia pria penggali jurang perceraian yang harus dikutuk? Bukankah ia justru memberi sumbangan bagi kepercayaan dan harga diri Diana? Tidakkah ia justru memberikan sesuatu yang mestinya didapatkan Diana dari Charles?

Bukankah ia menjadi pendorong jiwa yang merana apalagi dalam diri seorang ibu bagi calon raja di masa datang? Apakah ia sendiri tak cukup kehilangan pangkat, jabatan, dan lingkungan gara-gara rasa cintanya kepada sang Putri?

Itulah beberapa hal yang dicuatkan oleh Anna Pasternak di bagian pengantar bukunya. Ia merangkum hasil beberapa kali pertemuannya dengan Kapten James Hewitt, tak semata-mata untuk memperkeruh air, melainkan agar pembaca menemukan kejernihan tanpa harus menyalahkan.

Menghapus trauma berkuda

Sebuah perjamuan di penghujung musim panas tahun 1986 mempertemukan Hewitt dengan Diana. Sang Putri, yang secara natural memiliki kekuatan besar untuk mempesona pria, entah kenapa, sore itu merasa menemukan seseorang untuk dipesonakan.

Kalau kebanyakan pria terhenti pada rasa kagum akan aura keemasan Diana tanpa berani mendekat, tidak demikian halnya Hewitt.

Kapten pada divisi perlengkapan pasukan Kerajaan Inggris itu memang bukan serdadu biasa. Ia cukup tenang untuk membungkuk dan menerima uluran tangan Diana. Kemudian, pembicaraan antara keduanya tak harus kaku dan penuh basa-basi.

Setengah jam Diana bercerita banyak hal tentang dirinya, pun menanggapi keberadaan Hewitt sebagai pengelola istal kuda pada divisi perlengkapan. Selain menjadi staf pada unit perlengkapan AD Inggris, punya seorang ibu yang juga mengelola istal kuda pacu di Devon, Hewitt pun pengendara kuda yang andal.

//

Karena itulah Diana menyatakan minat untuk berlatih naik kuda lagi, serta-merta terdorong untuk menghapus trauma masa kecil ketika jatuh dari kuda di Park House, rumah keluarga Spencer di Norfolk.

Perbincangan pun berakhir dengan janji untuk bertemu lagi dalam program yang sudah disepakati: berlatih naik kuda.

Sesungguhnya, sejak usia 20-an, saat ia getol berlatih naik kuda dan main polo, James Hewitt telah sering berhubungan dengan keluarga istana. Beberapa kali bertemu dengan Pangeran Charles, tokoh yang sangat dikagumi dan dihormatinya, dalam jalinan kawan sesama pengendara kuda.

Awal 1981, ketika ia mewakili AD dan Pangeran Charles mewakili AL, keduanya bertemu dalam pertandingan polo. Lady Diana Spencer juga ikut menyaksikan tunangannya bertanding. Dunia mulai memperhatikan putri cantik itu.

James, yang tak punya saudara laki-laki (kedua kakak kembarnya yang 18 bulan lebih tua, perempuan, sementara ayahnya, John Hewitt, bekas anggota marinir, sering bertugas jauh sehingga ia jarang bertemu), merasa kehadiran Diana bagaikan bagian dari keluarganya.

Ia punya perasaan khusus pada Diana, sekalipun tak punya keberanian untuk mendekat secara fisik. Ketika pasangan Wales berbulan madu seusai "pernikahan dongeng" – dan James sebagai petugas keamanan, karena itu wajahnya muncul di televisi dalam acara Breakfast Time - Juli 1981, James mengirim telegram ucapan selamat.

James Hewitt tak bisa menjelaskan, apakah ucapan selamat itu dia kirimkan kepada Pangeran Charles ataukah mewakili kekagumannya kepada Diana. Mungkin juga bukan pertanda-apa-apa, karena James sebetulnya kurang sensitif terhadap wanita.

Ia jarang bergaul dengan lawan jenisnya ketika remaja. Baru punya pacar ketika berusia 19, itu pun tanpa keberanian mencium karena khawatir  akan mempermalukan si gadis.

Sepanjang waktu, seusai masa sekolah, ia mengabdi kepada ketentaraan. Namun, lewat ketentaraan pula ia merasa didekatkan dengan banyak hal dan manusia yang dikaguminya.

Suatu saat ketika piket di Istana Buckingham, misalnya, ia beberapa kali melihat Putri Wales dalam keadaan sangat biasa, tanpa tata rias dan bahkan tanpa alas kaki, bercengkerama dengan beberapa staf.

Beberapa hari setelah perbincangan sore di perjamuan, telepon di meja kerja Hewitt di barak, Knightsbridge berdering. Putri Wales menelepon, menanyakan keseriusan Hewitt untuk mengajarinya berkuda.

Hewitt menjawab penuh semangat. Sekaligus terkejut, karena beberapa hari belakangan, suara Diana selalu terngiang di telinganya. "Kalau begitu, siapkan semuanya, besok pagi kita latihan,"'kata sang Putri.

Diana berlatih bukan dalam kapasitas, jadwal, dan kesempatan dinas.  Kapten Hewitt pun ternyata instruktur yang tepat! Diana bukan lagi patung emas yang tak tersentuh, karena ia wanita biasa yang dekat dengan rasa takut, dan setiap kali mengulurkan tangan kepada Hewitt agar menahannya dari guncangan kuda.

Mulailah petualangan bagi keduanya, dan hampir selalu diakhiri dengan minum kopi bersama di mes perwira. Diana sangat suka, tanpa menyadari tiba-tiba seorang pria hadir dalam hidupnya. (Mayong Suryo Laksono – Intisari Februari 1996)

James Hewitt, Selingkuhan Putri Diana, Tapi di Mata William dan Harry Dianggap Pahlawan

Tak ada sesal atau rasa bersalah sejak kejadian di Istana Kensington.

Bagi Diana, peristiwa itu bahkan membawanya kepada keceriaan yang telah lama hilang dari hatinya. Ia merasa lebih segar, lebih kuat.

Dengan mengajak James Hewitt memasuki kehidupannya, mempersembahkan kebenaran kepadanya, dan menjalin kemurnian cinta, tak ada alasan untuk merasa bersalah.

Ia berpikir, seandainya pun muncul rasa, itu, lantas digabungkan dengan penderitaannya selama ini, apa yang dia dapat?

James dan Diana semakin dekat. Telepon di meja James lebih dari 2 kali berdering setiap hari, begitu pun undangan ke Kensington.

Diana makin sering mendatangi istal, sekalipun ia tahu, maksudnya bukan lagi untuk berlatih menunggang kuda.

James pun beberapa kali bertemu dengan kedua putra Diana. Keakraban antarmereka terjalin, karena, seperti halnya anak-anak lain, William dan Harry bercita-cita jadi tentara.

Bersama James pula William dan Harry berkenalan dengan kehidupan kavaleri dan kuda tunggang. Suatu  ketika James menghadiahi keduanya perlengkapan menunggahg kuda.

Jadilah James pahlawan bagi William dan Harry. Lebih dari itu, dorongan mereka untuk menyukainya adalah: sejak bertemu dengan Kapten Hewitt, ibunya tak lagi sering sedih.

Jalinan asmara antara Diana dan James makin kokoh. Pertemuan antara keduanya juga makin sering, meski tak ada orang tahu, karena mereka memegang rahasia dengan cara militer.

Tahun 1987, James naik pangkat menjadi mayor, dan ditempatkan di barak Combermere, belakang Istana Windsor. Tak soal bagi Diana untuk mengunjunginya. Bahkan Windsor Great Park lebih sepi dan lebih leluasa untuk berlatih kuda.

Jika orang jeli mengamati, pasti tahu perubahan dalam diri Diana. Dalam berdandan, berpenampilan; menempatkan diri, dan bicara di depan umum, bukan semata-mata karena kematangan seorang wanita 26 tahun. James banyak berperan memberi masukan.

Derita penyakit bulimia sang Putri pun tak memburuk, karena James memberi semangat untuk sembuh.

Disemangatinya sang Putri untuk tekun berobat kepada Dr. Maurice Lipsedge, spesialis penyakit problem makanan pada RS Guy's di London Tenggara.

Padahal, sebelumnya, Diana seperti tak hendak sembuh. dari penyakit yang dideritanya sejak tahun-tahun pertama perkawinan itu. Sejak kehadiran James, Diana jadi  takut sakit, takut kehilangan kesempatan untuk berduaan.

Ketergantungan Diana pada cenayang (dukun) dan paranormal pun berubah menjadi rasionalitas mengagumkan.

Enam bulan sudah affair berjalan. Keduanya bagai tak bisa dipisahkan. Sementara itu, kondisi pribadi keduanya berjalan ke arah sebaliknya.

Diana makin tak kunjung bisa mendekat ke Charles, sementara James tak kunjung memahami, apakah Diana juga berlaku bagi masa depannya.

James, yang juga hidup normal dan menjalin hubungan dengan gadis lain untuk  berkamuflase, tahu pasti bahwa hatinya hanya untuk Diana. Tapi sarnpai kapan?

la mendatangi ayahnya, John Hewitt, pensiunan kapten marinir dan mantan atlet pancalomba, untuk minta pendapat.

Sekalipun lebih dekat dengan ibunya - yang kini hidup terpisah dari ayahnya -, James menganggap, soal itu lebih tepat untuk dibicarakan dengan ayahnya.

Dialog antara sesama pria, lewat cara berpikir pria, dan melihat persoalan dengan kaca mata pria.

Ayahnya cukup bijak memberi pendapat. la melihat sisi James dan Diana secara imbang. la tahu persis, sekalipun menurut norma moral yang terbaik adalah mendorong James untuk meninggalkan Diana, ia tak melakukannya.

"Putri Wales hancur karena tak memperoleh tujuan perkawinan. Jika sekarang kamu mengakhiri hubungan, itu akan mengecewakannya, makin mencabik-cabik hatinya. Sungguh kesalahan yang tak termaafkan," katanya.

James memang tak sanggup meninggalkan Diana.

Di sisi lain, Diana pun makin tergantung pada sang kekasih.

Ada saatnya mereka bertahan, dan harus puas hanya bicara lewat telepon.

Namun ada pula saatnya, mereka berakhir pekan bersama.

Di Highgrove, tempat peristirahatan Diana, sang Putri sungguh mengalami saat-saat istimewa.

la tinggal seatap  dengan 3 laki-laki yang sangat dicintainya: James, William, dan Harry.

Tentu, Barbaraarnes, pengasuh kedua pangeran kecil, bukan orang bodoh untuk menyimpulkan sendiri, kenapa tentara tampan berstatus instruktur berkuda itu begitu dekat dengan sang Putri.

Di Devon, kota kecil tempat ibu dan kedua kakak perempuan James tinggal, pun Diana mengalami  saat istimewa. Keramahan, keakraban, rasa cinta yang tanpa dibuat-buat, tanpa formalitas berbalikan dengan suasana yang dia dapatkan di istana.

Bercinta di tempat tidur sempit di kamar James pun jadi sangat istimewa.

Terhadap James, Diana memang bukan pencinta penuh ketenangan.

Selalu ragu dengan tiap kali bertanya apakah dirinya cantik, apakah menarik, apakah seksi. Tak sekali - dua ia langsung menyergap dan menciumi James selagi William, dan Harry masih di balik pintu.

Ada kalanya ia meminta lagi, seketika dan saat itu juga, padahal ia sedang mandi dan James yang sudah berdandan rapi mendekatinya untuk pamit.

Pernah juga terjadi, Diana sangat ingin bercinta, sementara James sangat capek.

Merasa ditolak, Diana marah dan mieninggalkan James berhari-hari  tanpa kabar.

Detektif Ken Wharfe, yang telah lama setia mengawal dan ikut menyimpan rahasia sang Putri, mendadak dipindahtugaskan karena dianggap terlalu membela James dalam pertengkaran itu, serta salah ucap saat menenangkan hati sang Putri.

Terkadang James merasa kesal dan letih. Jiwa Putri Diana tak kunjung membaik, sementara ketergantungan pada dirinya berubah menjadi impuls-impuls mengejutkan.

Akankah ia meninggalkannya? Tidakkah ia ingat pesan ayahnya?

(Ditulis oleh Mayong Suiyo Laksono. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Februari 1996)

Sumber: Intisari
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved