Anggota Dewan Pers Sebut Salah Besar Jika Prabowo Anggap Media Tak Independen Beritakan Reuni 212

Keputusan media tak menjadikan reuni 212 sebagai berita utama menunjukkan independensi sebab media harus bebas dari tekanan.

Editor: fitriadi
TRIBUN KALTIM/FACHMI RACHMAN
Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto memberikan sambutan usai menyaksikan pengukuhan Relawan Gerakan Nasional Cinta Prabowo (GNCP) Kaltim di Balikpapan Sport and Convention Center (DOME), Minggu (25/11/2018). Prabowo Subianto beserta rombongan menyapa dan memberikan arahan kepada ribuan pendukungnya di Kaltim terkait Pilpres 2019. 

Utamakan program, bukan jargon

Pakar psikologi politik dari Universitas Indonsia, Hamdi Muluk, menyebut ada kemiripan gaya kampanye Prabowo Subianto dengan Donald Trump.

Ia menilai Prabowo "selalu mencitrakan dirinya sebagai seorang nasionalistik" dan membuat slogan yang hampir serupa, yakni Make Indonesia Great Again.

Hanya saja, jargon itu tak pas dilekatkan pada kondisi Indonesia.

Sebab Indonesia belum pernah mencapai posisi "hebat".

Baca: Cinta Ratu Hingga Gisel, Ini 10 Kasus Perceraian Artis Paling Menghebohkan Sepanjang 2018

Kalau pun ingin dibandingkan dengan era Soeharto, kata Hamdi, tidak realistis.

"Logikanya nggak nyambung. Memang kapan Indonesia great?"

"Kecuali seperti Cina yang sekarang menguasai perekonomian dunia."

"Indonesia sekarang itu, justru kondisi 20 tahun lalu Cina," imbuhnya.

Sikap sama juga ditunjukkan dengan menyebut media melakukan kebohongan dalam pidaton di acara peringatan Hari Disabilitas Internasional, Rabu (5/12/2018).

Merujuk kepada Donald Trump, ia berkali-kali menuding media menyebarkan berita miring tentang dirinya.

Bahkan terminologi berita palsu atau fake news dipopulerkannya.

"Kemiripan dua orang ini memang sama."

"Pengamatan banyak orang, sepanjang ini polanya sama."

"Tapi ada beberapa hal yang menetap di Prabowo, terlepas dari fenomena Trump, retorika tentang nasionalistiknya sama."

"Prabowo selalu mencitrakan dirinya sangat nasionalistik," jelas Hamdi Muluk.

Tapi menurut Hamdi Muluk, pernyataan kontroversi semacam itu tak terlalu diminati publik dan takkan berhasil meningkatkan popularitasnya.

Prabowo Subianto hadir di tengah massa Reuni Akbar 212, Minggu (2/12/2018).
Prabowo Subianto hadir di tengah massa Reuni Akbar 212, Minggu (2/12/2018). (Warta Kota/Rangga Baskoro)

Ia menyarankan Prabowo, agar menghadirkan program-program yang dibutuhkan masyarakat seperti bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan atau menaikkan pertumbuhan ekonomi.

"Popularitas Prabowo tuh sudah mentok."

"Elektabilitasnya saja terpaut 20 persen dari Jokowi."

"Jadi sebaiknya sekarang dia memunculkan narasi yang berdampak langsung ke masyarakat," sambungnya.

Dalam survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, tingkat keterpilihan Jokowi-Maruf sebesar 52,2 persen, sementara Prabowo-Sandi sebesar 29,5 persen.

Ini karena berbagai isu dan program yang disampaikan ke publik oleh dua kubu tidak punya efek elektoral yang signifikan.

Baca: 8 Cara Hilangkan Rasa Kesepian bagi Para Jomblo

Isu seperti Tampang Boyolali misalnya, sebanyak 65,8 persen responden menyatakan tidak suka dengan pernyataan tersebut.

Sementara mereka yang menyatakan suka hanya sebesar 9,3 persen.

Selain itu, pernyataan Prabowo yang mengatakan jika terpilih sebagai presiden tidak akan mengimpor juga hanya menyita perhatian publik sekitar 18,7 persen pemilih. (*)

Artikel ini telah tayang di BBC News Indonesia dengan judul Anggota Dewan Pers: 'Keliru besar kalau Prabowo sebut media memanipulasi demokrasi'

Sumber: BBC Indonesia
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved