Ceng Beng

Ceng Beng, Ketika Demi Bhakti Kepada Leluhur Ribuan Warga Mudik ke Bangka

Menurutnya perayaan Cheng Beng ini lebih ramai dibanding dengan perayaan tahun baru China, bahkan warga Tionghoa

Penulis: Iwan Satriawan | Editor: Iwan Satriawan
bangkapos.com/Agus Nuryadhyn
Warga keturunan Tionghoa memadati pekuburan Sentosa Pangkalpinang melakukan tradisi sembahyang kubur (Ceng Beng). 

BANGKAPOS.COM, BANGKAPOS--Nama Amung Tjandra (91), seorang tokoh yang dilahirkan dengan nama Tjen Hon Liong ini dikenal sebagai tokoh lintas generasi, lintas etnis, dan lintas agama dalam perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dari tahun 50-an sampai 2.000.

Mengingat besok merupakan puncak perayaan Cheng Beng, Bangkapos,com mencoba untuk berkunjung dan bertanya makna dari Cheng Beng kepada pejuang yang sudah sepuh ini, namun tetap bugar dan selalu ber api-api jika berbicara tentang perjuangan.

Warga keturunan Tionghoa melakukan ritual sembahyang kubur (cheng beng) di pekuburan Kemujan Sungailiat Kabupaten Bangka Rabu (4/4/2018)
Warga keturunan Tionghoa melakukan ritual sembahyang kubur (cheng beng) di pekuburan Kemujan Sungailiat Kabupaten Bangka Rabu (4/4/2018) (Bangkapos/Deddy Marjaya)

Amun Tjandra mengatakan jika perayaan Cheng Beng secara garis besar menurutnya adalah melayat atau berkunjung ke makam para leluhur, hal ini dikarenakan masyarakat keturunan Tionghoa adalah masyarakat yang sangat menghargai leluhur.

Menurutnya perayaan Cheng Beng ini lebih ramai dibanding dengan perayaan tahun baru China, bahkan warga Tionghoa yang berada di luar negeri baik itu dari Singapura, Hongkong, dan Amerika sengaja pulang ke Bangka Belitung, khusus untuk mencari makam leluhurnya.

"Jadi untuk asal usul detailnya sejak kapan, dimana, bisa ditanyakan dengan yang lebih paham. Tapi intinya dalam perayaan ini mereka (warga Tionghoa) kembali pulang dari mana saja,

untuk mencari makam leluhurnya sebagai tanda terima kasih, dan penghargaan yang mendalam dari yang masih hidup. Jadi murni penghargaan dan pengabdian bagi orang tua," jelas Amung, Kamis (4/4/2019) saat ditemui di kediamannya.

Saking hormatnya masyarakat Tionghoa kepada orang tua, Amung mengatakan jika pada saat menulis surat, masyarakat Tionghoa itu seolah-olah sedang berlutut dihadapan orang tuanya.

Menurut Amung, sebenarnya tidak ada kewajiban untuk merayakan Cheng Beng ini, namun hal ini lebih kepada nurani yang memanggil.

Sehingga jika tidak ikut dalam perayaan Cheng Beng ini terasa ada yang kurang dalam kehidupan.

Ia menambahkan biasanya dari tahun ke tahun mereka yang merayakan Cheng Beng selalu berkumpul memenuhi undangan di Rumah Dinas walikota, dan warga Bangka yang berada di Hongkong yang pulang itu tak kurang dari 5.000-10.000 orang.

Amung pun menitipkan pesan kepada masyarakat Tionghoa yang akan merayakan puncak perayaan Cheng Beng esok hari.

Amung berpesan jika perayaan Cheng Beng selain sebagai tanda bakti dan penghormatan kepada para leluhur.

Ia berharap agar perayaan Cheng Beng juga bisa menjadi momentum hidup damai, dan sebagai warga Indonesia. Kita bisa membangun daerah dimana kita tinggal.

"Jadi kalau mereka tinggal di Bangka Belitung, tapi belum sempat memeperjuangkan Bangka Belitung, isilah Bangka Belitung ini dengan pembangunan. Sebagai sense of belonging atau rasa memiliki.

Kalau kita merasa memiliki Bangka Belitung ini. Maka lakukanlah apa yang kita bisa."imbuhnya.

Halaman
123
Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved