Kisah Amelia Yani Putri Jenderal Ahmad Yani 20 Tahun Obati Luka Batin Seusai Ayahnya Dibantai PKI
Amelia A Yani menceritakan kisahnya mengobati luka batin karena memori peristiwa pembunuhan ayahnya itu masih terngiang di ingatannya.
BANGKAPOS.COM - Gugurnya jenderal TNI Ahmad Yani di tangan antek-antek PKI memang menyisakan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia khususnya pihak keluarga.
Aksi pemberontakan berdarah yang dilakukan oleh PKI itu memiliki memori pedih di ingatan keluarga jenderal TNI Ahmad Yani
Dilansir dari Sosok.id dalam artikel '20 Tahun Menyendiri di Desa Terpencil, Putri Ahmad Yani Mencoba Obati Traumatis Peristiwa G30S/PKI', salah satunya dirasakan oleh Amelia Achmad Yani.
Amelia Ahmad Yani merupakan salah satu putri dari sang jenderal.

Ia sempat menceritakan kisahnya mengobati luka batin karena memori peristiwa pembunuhan ayahnya itu masih terngiang di ingatannya
Amelia Yani sempat tinggal lebih dari 20 tahun di sebuah desa kecil untuk menepi dari keramaian kota.
Dalam mengobati luka batinnya, Amelia Yani pindah ke sebuah dusun di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada tahun 1998.
• Marah Aksi Barbar PKI, Ahmad Yani Perintahkan Kopassus Asah Pisau Komandomu, Bersihkan Senjatamu
Tinggal di desa selama lebih dari 20 tahun membuatnya dapat menyembuhkan dirinya dari rasa dendam, amarah, dan benci.
"Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik."
"Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki.
Itu hilang. Di desa, itu hilang. Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia,"
"Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah. Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang.
Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa,"
"Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu.
Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana," ungkap Amelia

Setelah 20 tahun berlalu, Amelia dan anaknya kemudian pindah kembali ke Jakarta.
"Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta," kata Amelia.
• Ramai Soal G 30S/PKI, Begini Jadinya Ketika Anak Jenderal Ahmad Yani dan DN Aidit Bertemu
Dilansir dari wikipedia, Amelia Yani lahir di Magelang, Jawa Tengah, 22 Desember 1949.
Ia adalah pegawai negeri sipil dan politisi berkebangsaan Indonesia.
Dia saat ini menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bosnia–Herzegovina.
Ia adalah puteri pahlawan revolusi Jenderal Jenderal Ahmad Yani.
Dia pernah memimpin (Ketua Umum) DPP Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) sejak November 2007.
Amelia Ahmad Yani juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang aktif, ia tercatat sebagai pengurus di berbagai organisasi usaha.
Jenderal TNI Ahmad Yani Bersimbah Darah
Jenderal TNI Ahmad Yani sempat berdebat sengit saat rumahnya dikepung tentara yang ternyata antek PKI
Namun, perdebatan itu justru membuat sang jenderal bersimbah darah karena ditembak oleh para tentara tersebut
Dilansir dari Sosok.grid.id dalam artikel 'Kala Anak Ahmad Yani Kisahkan Detik-detik Mendebarkan G30S/PKI, Irawan Sura Eddy: Pak Bangun Pak, Ada Tjakrabirawa Mencari Bapak', tragedi ini terjadi di Jalan Lembang, Jakarta pada Jumat (1/10/1965)
Rumah yang ditinggali oleh Panglima Angkatan Darat kala itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi saksi bisu peristiwa berdarah yang pernah terjadi di Indonesia.
• Anak Bungsu Jenderal Ahmad Yani Beberkan Tragedi Berdarah Menimpa Sang Ayah
Putra Ahmad Yani, Irawan Sura Eddy kala itu berusia 7 tahun terbangun dan mendapati ia sendirian kemudian bergegas mencari ibundanya.
Tetapi sang ibunda tak ada, karena sedang berada du rumah lainnya di Jalan Taman Surapati.
Maka ia membangunkan Mbok Mirah, pembantu dirumah Ahmad Yani kala itu untuk menemaninya duduk di ruang keluarga belakang.
Eddy ingin menunggu sang ibu pulang kerumah agar bisa melanjutkan tidur malamnya.
Detik selanjutnya, terdengar suara gaduh dari tempat penjagaan rumah dinas Panglima Angkatan Darat tersebut.
Heningnya malam itu terpecah oleh kegaduhan tersebut oleh kedatangan sepasukan tentara tak dikenal dengan cepat masuk ke halaman rumah.
Dalam buku "Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966", menuliskan bagaimana tentara yang berseragam Cakrabirawa dengan senjata lengkap tersebut datang ke rumah sang Jenderal.
Tentara yang dipimpin Pembantu Letnan Satu Mukidjan dan Sersan Raswad segera masuk ke dalam rumah melalui belakang.
Pintu belakang rumah sengaja tak dikunci sebab Nyoya Yayu Rullah Ahmad Yani belum pulang kerumah.
Sepasukan tentara tersebut segera bergerak mengepung rumah dari segala penjuru.
Bertemulah anggota tentara tersebut dengan Eddy dan Mbok Milah yang kala itu sedang duduk di ruang belakang dan tak jauh dari pintu belakang rumah.
Mereka pun bertanya keberadaan ayah dari bocah berusia tujuh tahun tersebut.
"Bapak masih tidur", jawab Mbok Milah, dikutip dari buku "Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966".
Dengan mengatasnamakan perintah presiden Soekarno untuk segera menjemput Ahmad Yani, mereka meminta agar sang jenderal segera dibangunkan.
Pembantu rumah tangga tersebut terdiam dan tak beranjak dari tempat duduknya.
Tentara-tentara itupun meminta Eddy untuk membangunkan sang ayah yang masih terlelap dalam tidurnya.
Dengan menggoyangkan kaki ayahnya tersebut bocah laki-laki itu membangunkan ayahnya sembari berkata, "Pak bangun pak. Ada Tjakrabirawa mencari bapak. Bapak diminta datang ke Istana".
Ahmad Yani perlahan membuka mata dan bertanya ada apa sepagi ini ada tentara datang mengganggu istirahatnya.
Sang Jenderal melihat melalui jendela kaca yang menghubungkan ruang makan dengan ruang belakang.
Ternyata pasukan tersebut telah masuk kedalam rumah dan siap siaga membawa senjata yang mereka genggam.
Eddy dengan perasaan takut langsung berlari ke ruang belakang dan berdiri didekat kolam ikan.
Dari tempat ini ia bisa mendengar jelas percakapan antara Jenderal dengan prajurit-prajurit tersebut.
Panglima Angkatan Darat itupun mendekati tentara-tentara yang telah memenuhi rumahnya.
Perdebatan sengit pun terjadi hingga kemarahan Ahmad Yani terdengar oleh Eddy
Beberapa saat kemudian tembakan pun terdengar, membuat Sang Jenderal tersungkur di lantai ruang makan kediamannya tersebut.
Sontak saudara-saudara Eddy terbangun dan keluar ke ruang makan, mereka mendapati ayahnya tengah diseret dan bersimpah darah.
Salah satu dari tentara tersebut membentak saudara-saudara Eddy untuk masuk kembali ke kamar masing-masing.
Mereka diancam akan ditembak kalau tak mengindahkan perintah tersebut.
Dini hari pukul 04.00 1 Oktober 1965 menjadi peristiwa yang tak dapat dilupakan oleh Irawan Sura Eddy atas meninggalnya ayahandanya.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Kehidupan Putri Jenderal TNI Ahmad Yani Seusai Sang Ayah Dibantai PKI, 20 Tahun Mengobati Luka Batin