Kisah Duka Guru Honorer dari Dianiaya Orang Tua Siswa,Ditikam Hingga Gaji Hanya Rp 85 Ribu Per Bulan

Pada tahun 2019 ini, berapa berita menyedihkan perihal guru honorer sempat menjadi perbincangan.

Editor: nurhayati
Kolase
Guru Honorer 

Kisah Duka Guru Honorer dari Dianiaya Orang Tua Siswa,Ditikam Hingga Gaji Hanya Rp 85 Ribu Per Bulan

BANGKAPOS.COM-- Pada tahun 2019 ini, beberapa berita menyedihkan perihal guru honorer sempat menjadi perbincangan.

Kisah para guru honorer yang menyedihkan menjadi kenangan buruk yang mencoreng dunia pendidikan.

Padahal profesi sebagai seorang guru di mata masyarakat sangat terhormat terlepas dari statusnya baik honorer maupun pegawai negeri. Namun saat ini rasa hormat kepada guru mulai memudar,

Guru memiliki jasa yang luar biasa terhadap pendidikan dan kebudayaan anak-anak penerus bangsa.

Peristiwa memilukan yang dialami beberapa guru honorer ini dari dianiaya wali murid hingga ditikam murid hanya untuk digaji rendah.

 Tribunnewswiki.com mencatat setidaknya terdapat beberapa potret kelam guru honorer di Indonesia yang berlalu-lalang dalam pemberitaan dunia maya.

Berikut adalah beberapa kabar perihal guru honoreryang Tribunnewswiki.com dikutip dari Serambi News Aceh, Tribun Jogja,dan Kompas.com

1. Guru Honorer Ditampar Wali Murid

Dilaporkan oleh Serambi News, Rahmah (35) seorang guru honorer di Sekolah Dasar (SD) Negeri Jambi Baru, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, dikabarkan dianiaya oleh wali murid hingga mengalami luka memar dan shock berat.

Kabar menyedihkan ini menyelimuti dunia pendidikan di Kota Subulussalam tepat beberapa hari sebelum peringatan Hari Guru Nasional.

Informasi yang dihimpun Serambi News, penganiayaan terhadap Rahmah guru honorer tersebut terjadi Rabu (20/11/2019).

Namun, kejadian itu baru pada Sabtu (23/11/2019).

Kasus itu ramai diperbincangkan karena banyaknya warga mengecam aksi main hakim terhadap guru di Kota Sada Kata ini.

Apalagi peristiwa ini terjadi di tengah momen menjelang hari guru nasional.

Rahmah yang dikonfirmasi Serambinews.com, membenarkan kejadian penganiayaan terhadapnya yang dilakukan oleh wali murid.

Rahmah yang dihubungi masih dalam keadaan shock dan menceritakan kronologis hingga peristiwa pemukulan terhadapnya.

Rahmah mengaku hanya mengingat beberapa pemukulan yang dialaminya berupa penamparan hingga membuat memar dan kepalanya bengkak.

Selain itu, oknum wali murid berinisial SH alias MP itu juga mencubitnya hingga membiru.

Dikatakan, saat dianianya dia tidak tahu lagi lantaran bergumul hingga jilbabnya ikut tersingkap.

Peristiwa miris ini terjadi tepat di depan pintu gerbang sekolah.

Sayangnya, warga yang menyaksikan tidak ada yang melerai hingga Rahmah mengalami memar.

Bahkan akibat penganiayaan, Rahmah belum berani masuk ke sekolah karena masih trauma.

Rahmah juga masih mengaku ada yang sakit bagian kepala sehingga belum mampu ke sekolah.

Kalaupun ke sekolah, kata Rahmah, dia harus ditemani karena trauma dan khawatir terhadap wali murid yang menganiayanya.

Rahmah mengaku telah melaporkan ke Mapolsek Sultan Daulat atas penganiayaan yang menimpanya dengan nomor surat tanda laporan LP-B/12/XI/2019/Sek Sultan Daulat 2019 pada Kamis (21/11/2019) lalu.

Di kepolisian sempat ada upaya mediasi namun pelaku dikabarkan tidak mau menghadiri panggilan polisi.

Karena itu, Rahmah berharap kasus yang menimpanya ini dapat diproses hukum secara tuntas agar tidak ada lagi kejadian serupa menimpa guru lain di manapun.

”Saya berharap kasus ini diproses secara hukum sampai tuntas. Jangan sampai ada lagi kejadian sama yang menimpa guru. Terus terang kami trauma, saya masih shock, anak saya takut,” ujar Rahmah.

2. Guru Honorer Ditikam Muridnya

Bu Guru Wening Pamudji Asih ditikam siswanya sendiri
Bu Guru Wening Pamudji Asih ditikam siswanya sendiri (Instagram/Kolase)

Dilaporkan oleh Tribun Jogja, seorang pelajar SMA berinisial CB (16) di Lendah Kulonprogo nekat menusuk gurunya sendiri, WP (34), warga Srandakan Bantul.

Kapolsek Srandakan, Kompol B Muryanto, menjelaskan kronologi peristiwa yang terjadi pada Rabu (20/11/2019) malam.

Muryanto menjelaskan, insiden tersebut terjadi pada kisaran pukul 21.00 WIB.

Saat itu, korban diketahui tengah bersantai di dalam kamarnya.

Namun, tiba-tiba saja pelaku nekat menerobos masuk ke dalam kamar korban, sekaligus menghunuskan sebilah pisau.

Pelaku pun menusuk bagian perut korban dan langsung melarikan diri.

"Korban lantas berteriak kesakitan, sementara pelaku kabur dari TKP. Mertua korban langsung memberikan pertolongan pertama dan membawa korban menuju RS UII Pandak, Bantul," paparnya.

"Namun, karena luka yang diderita ternyata sangat serius ya, korban kemudian langsung dirujuk ke RSUP Sardjito, Sleman," imbuh Muryanto.

Pelaku yang sempat melarikan diri bisa diamankan dengan cepat oleh aparat kepolisan, akibat handphone, serta pisau tertinggal di tempat kejadian.

Polisi pun dengan mudah melacak kediaman pelaku yang ada di Lendah, Kulonprogo.

"Penjemputan pelaku berasal dari handphone yang tertinggal. Kita ketahui, ternyata (pelaku) berdomisili di Lendah dan langsung kita bawa menuju Polsek Srandakan. Sementara kasusnya masuk penganiayaan, yang diatur dalam Pasal 351 KUHP," katanya. 

Muryanto juga menuturkan pelaku yang masih berstatus pelajar SMA nekat menusuk sang guru karena dilatarbelakangi urusan asmara.

Diketahui, pelaku yang berinisial CB tak lain adalah anak didik korban yang menaruh rasa cinta pada gurunya sendiri.

"Pelaku bilang kalau dia sayang, cinta, sama Bu Guru. Tapi, cintanya ini kan tidak pernah direspon ya, karena korban sudah punya suami," ujar Kapolsek saat ditemui seusai olah tempat kejadian perkara (TKP).

Menurut Muryanto, informasi tersebut diperoleh setelah melakukan interogasi pada pelaku beberapa jam setelah penusukan terhadap Sang Guru.

"Tapi, karena umur pelaku ini masih 16 tahun, maka kita limpahkan ke Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) Polres Bantul. Jadi, dapat dipastikan, prosesnya tetap berjalan terus, sembari menunggu perintah dari Pak Kapolres," lanjut Muryanto.

3. Kehidupan Miris Guru Honorer dengan Gaji Rendah 

Gaji guru honorer yang rendah kerap kali menjadi pembicaraan di berbagai media.

Beberapa kabar menyoroti betapa gaji rendah dari guru-guru honorer tidak mampu mencukup kehidupannya, mulai dari guru honorer yang tinggal di kamar mandi sekolah hingga seorang guru yang digaji rendah di tempat terisolasi.

3.A. Guru Honorer tinggal di Toilet Sekolah

Nining Suryani (44) menunjukkan isi rumahnya yang menempati bagian toilet sekolah di SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten, Senin (15/7/2019)
Nining Suryani (44) menunjukkan isi rumahnya yang menempati bagian toilet sekolah di SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten, Senin (15/7/2019) ((Acep Nazmudin))

Nining Suryani (44), seorang guru honorer sebuah sekolah dasar, menjadi salah satu contoh kurangnya kesejahteraan untuk guru honorer.

Nining Suryani sebagai guru honorer di SDN Karyabuana 3 Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, ini terpaksa harus tinggal di dalam toilet sekolah lantaran tidak punya rumah.

Nining mengaku, gajinya sebesar Rp 350.000 tidak cukup untuk menyewa rumah.

Jadilah ia sebagai guru honorer yang tinggal di toilet walaupun sudah mengajar di sekolah tersebut selama 15 tahun.

Ibu dua anak ini punya alasan khusus mengapa tetap bertahan sebagai guru honorer kendati gajinya kecil.

Nining berharap untuk diangkat menjadi PNS dan mendapat penghasilan yang sesuai dengan pengabdiannya.

"Kalau nggak diangkat juga enggak apa-apa, setidaknya ada kebijakan dari pemerintah berapa kenaikan per bulan. Mau kecil mau besar, saya ikhlas terima," kata Nining saat ditemui di SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Senin (15/7/2019).

Namun tahun demi tahun mengajar, status Nining belum naik juga.

Berbagai upaya sudah dia lakukan, termasuk kuliah lagi untuk mendapatkan gelar sarjana.

Nining sempat merasa putus asa dan menyerah.

Apalagi usianya saat ini sudah melebihi batas ambang persyaratan menjadi PNS.

"Anak saya yang kedua sekarang masih sekolah di pesantren, tiap bulan butuh biaya," kata dia.

Sebelum tinggal di toilet sekolah, Nining tadinya tinggal di sebuah rumah petak di dekat sekolah.

Namun dua tahun lalu, rumah tersebut roboh lantaran sudah lapuk.

Tidak ada pilihan lain, bersama suaminya, Ebi Suhaebi (46), dia mengisi ruangan toilet di SDN Karyabuana 3 yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.

Tempat tersebut dia jadikan tempat tinggal sejak dua tahun lalu.

Nining mengaku tidak bisa menyewa rumah dengan kondisi keuangan yang minim.

Sementara suaminya hanya berkerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu.

Pihak sekolah tadinya sempat melarang, namun akhirnya mengizinkan lantaran tidak ada lagi tempat tinggal untuk Nining dan keluarganya.

"Kepala sekolah bantu beliin kayu, saya dan suami yang bangun, alhamdulillah bisa nyaman tinggal di sini," ujar dia.

3.B. Guru Honorer Jalan Kaki 3 Km ke Sekolah, Gaji Rp 85.000,-

Dilansir oleh Tribunnews, para guru honorer yang mengabdi di pedalaman Flores yang terisolasi hanya digaji sebanyak Rp 85.000 per bulan.

Salah satu guru, Maria Beta Nona Vin mengungkapkan perjuangannya.

"Itu uang Rp 85.000 juga kadang-kadang mandek sampai 3 bulan,” cerita Beti, sapaan akrab guru ini.

“Itu uang kan dari orang tua siswa. Jadi, kita tunggu kapan mereka bayar baru kita terima honor.”

Dirinya menceritakan kalau saat upah tersebut tak terbayar, maka dirinya harus mengandalkan ubi yang ditanamnya sendiri.

Beti memang menanam ubi yang diandalkannya jika tak mampu membeli beras.

Jarak rumah hingga ke sekolahnya pun mencapai 3 kilometer dan Beti menempuhnya dengan berjalan kaki.

Tak hanya itu, dirinya juga harus berjuang terisolasi dari listrik dan telepon.

"Di rumah kami pakai lampu pelita. Kalau malam kerja perangkat pembelajaran, kami andalkan lampu pelita saja. Susah sekali sebenarnya, tetapi karena sudah terbiasa, jadinya nyaman juga. Untuk yang punya hanphone itu harus pergi cas di orang yang ada mesin generator," tutur Beti.

Sinyal pun hanya bisa didapat bila berjalan kaki sejauh 3 kilometer lagi.

Dengan gaji seadanya, Beti tinggal di rumah sederhana dengan alas tikar belahan bambu.

Meski harus hidup dengan segala keterbatasan, Beti mengaku tetap semangat mengajar di sekolah tersebut.

"Capek sebenarnya, tetapi berpikir, pasti ada hikmah di balik perjuangan ini," ungkap Beti.

Ia berharap, ke depan pemerintah bisa menyambung jaringan listrik dan telepon ke Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, alamat SMPN 3 Waigete.

Pantauan Kompas.com, Beti tinggal di rumah yang sangat sederhana, beratapkan alang-alang, dinding belahan bambu, dan lantai tanah.  

Kamar istirahatnya juga sangat sederhana, hanya beralaskan tikar di atas belahan bambu.

Pakaian juga digantung tanpa lemari. Begitu pula dengan buku-buku.  

Alat masak Beti juga masih menggunakan tungku tradisonal dari batu.

Untuk memasak, ia menggunakan kayu api yang didapatkan dari kebun.

Beti juga terkadang menumbuk padi untuk menjadi beras. Di tempat itu memang tidak ada penggiling padi.  

Di tengah keterbatasan uang dan fasilitas, serta tidak adanya saluran informasi, Beti tetap bertahan untuk mengabdi di SMPN 3 Waigete, Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka.

Beberapa berita di atas mengungkap bahwa begitu kelam sejumlah potret guru honorer di Indonesia.

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)

 



 

Sumber: TribunnewsWiki
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved