Virus Corona
KISAH 'Manusia Gerobak' saat Pandemi Covid-19, Rongsokan Tak Laku Tunggu Kebaikan Pengguna Jalan
Kesulitan cari kerja di kampung, Tatang (38) pilih jadi manusia gerobak. Tatang merupakan bapak dua anak asal Karawang, Jawa Barat.
BANGKAPOS.COM - Kesulitan cari kerja di kampung, Tatang (38) pilih jadi manusia gerobak.
Tatang merupakan bapak dua anak asal Karawang, Jawa Barat.
Selepas lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), ia sempat bekerja sebagai penjahit di sebuah konveksi.
Namun, konveksi tersebut tak mampu bersaing dan bangkrut.
"Saya bingung mau kerja apalagi. Akhirnya merantau aja mumpung waktu itu masih bujangan. Saya ke Tangerang dulu cari konveksi juga," ceritanya kepada TribunJakarta.com, Rabu (29/4/2020).
Kala itu, Tatang mendapatkan gaji sebesar Rp 300 ribu perminggunya.
"Alhamdulillah dapat dan borongan gitu sistemnya. Lumayan seminggu dapat Rp 300 ribu," lanjutnya.
Sayangnya, beberapa tahun kemudian konveksi tersebut tutup dan pindah. Ia pun memutuskan kembali ke kampung sambil melamar pekerjaan.

"Akhirnya dapat kerja di pabrik pembuatan tabung gas. Tapi ya gitu, itu juga enggak lama. Jadi asal belum lama kerja pabriknya tutup, padahal saya sudah nikah dan punya anak," ungkapnya.
Imbasnya, Tatang sempat menganggur dan mengandalkan hidup dari hasil gaji istrinya, Enung (30) yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi.
"Pas nganggur, saya masih ngandelin uang dari istri. Kan dia jadi TKW dari 2009. Gajinya waktu itu sekira Rp 1,2 juta. Saya cukupi saja karena waktu itu anak saya masih satu si Ikbal aja," jelasnya.
Selanjutnya, tepat di tahun 2014, Enung kembali ke tanah air dan ingin fokus mengurus anak.
Saat itulah membuat Tatang berpikir akan bekerja apa.

"Akhirnya saya merantau lagi ke Tangerang di tahun 2014 dan dapat kerja jahit tapi di konveksi rumahan. Di situ lumayan lama dari 2014 sampai 2016," katanya.
Merasa upah yang diterimanya terlalu minim, Tatang akhirnya menerima ajakan kakak iparnya, Edi untuk menjadi manusia gerobak.
"Saya cerita sama saudara saya, penghasilan kecil sementara anak nambah lagi, ada Ikbal sama Alin. Nah dari situ kakak ipar saya nawarin jadi manusia gerobak," katanya.
"Awalnya saya enggak ngerti apaan. Dia jelasin kalau kerjanya jadi pemulung barang bekas pakai gerobak. Bagusnya enggak tidur di situ, kita disiapin bedeng ua semacam rumah ala kadarnya dari pengepul," ungkapnya.
Tawaran tersebut pun diambilnya, sejak tahun 2017,Tatang memboyong keluarganya kecuali Ikbal ke Kota Bekasi. Sementara ia bekerja sebagai pemulung.
"Kalau sekarang sudah jarang yang tidur di gerobak. Sebab rata-rata disediakan rumah sama pengepulnya atau bosnya. Meskipun enggak bagus tapi masih bisa buat tidur. Jadi wajar aja makin banyak jumlahnya tiap tahun," jelasnya.
"Ibarat kata kita enggak sewa rumah di kota orang. Tapi masih bisa cari uang lebih biar kata diawal pasti malu karena jadi pemulung atau disebut orang manusia gerobak," jelasnya.
2 Bulan Rongsokan Tak Laku

Selama di Kota Bekasi, Enung membantu ekonomi suaminya dengan menjadi buruh cuci.
Tiap bulan ia diupah sebesar Rp 700 ribu.
Sayangnya, sejak pandemi Covid-19, ia tak menerima gaji full karena bekerja hanya sampai siang.
Sementara sejumlah rumah memberhentikan jasanya dengan alasan mencegah penyebaran atau penularan Covid-19.
Keadaan pun semakin diperparah ketika seluruh barang bekas yang dikumpulkan tak bisa dijual.
"Sudah dua bulan enggak ada pemasukan. Kita sudah enggak nimbangin barang di bos. Sebab banyak pabrik yang biasa daur ulang tutup," katanya.
"Makanya dua bulan terakhir saya pusing mikirin makan sama uang buat anak istri. Padahal biasanya sekali nimbang itu sebulan bisa dapat Rp 600 ribu," lanjutnya.
Untuk itu, saat ini ia bersama Enung memilih untuk mengemper di pinggir jalan dan mengharapkan dapat bantuan sembako dari pengguna jalan.
"Sejak dua bulan saya ubah pola keluar rumah. Biasanya habis subuh sekarang jadi siang sampai sore. Kita begini supaya dapat sembako aja dari orang lewat. Sebab kalau enggak begitu, kita enggak makan," ungkapnya.
"Sebenarnya malu, tapi daripada anak kelaparan mendingan ngemper begini sambil nunggu yang bagi-bagi sembako gratis demi kita makan. Apalagi sekarang banyak manusia gerobak musiman, jadi kitanya benar-benar harus cepat datang ketika ada pengguna jalan yang bagiin sembako," tandasnya. (*)
https://jakarta.tribunnews.com/2020/04/29/cerita-manusia-gerobak-saat-pandemi-covid-19-rongsokan-tak-laku-berharap-dari-pengguna-jalan?page=all