Tribunners
Keterkaitan Ombudsman dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Islam
Pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman pada dasarnya selaras dengan pengawasan yang disebut dalam fiqih siyasah "al bi al ma'ruf wa al nahy munkar"
SEIRING dengan waktu, lembaga Ombudsman telah berdiri sebanyak 170 di berbagai belahan dunia. Meskipun pada saat ini pengaruh ilmu-ilmu Barat begitu mendominasi terhadap perkembangan Ombudsman sebagai lembaga negara pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik pada tata pemerintahan modern, akan tetapi penting sekali untuk membahas tentang pengawasan Ombudsman dan pelayanan publik dilihat dari perspektif Islam.
Ombudsman RI terbentuk dengan semangat nilai-nilai demokrasi dan telah diadopsi kelembagaan melalui sistem birokrasi modern. Akan tetapi, sejarah berdirinya Ombudsman seluruh dunia tidak terlepas dari pengaruh sistem pemerintahan Islam yang digagas dan dijalankan oleh Umar bin Khattab.
Gagasan tersebut adalah Qudhi al Qudhaat, yaitu seorang pemimpin memiliki tugas melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibentuk Al-Hisbah, yaitu suatu lembaga yang mengontrol khusus perilaku atau kehidupan publik, menegakkan keadilan dan kebenaran (Ihawal, 2021:37). Masyarakat dapat menyampaikan permasalahan kebijakan penguasa kepada utusan yang diperintah oleh Umar bin Khattab, kemudian memberikan nasihat berdasarkan masukan kepada penguasa untuk memperbaiki kebijakan tersebut.
Cikal bakal terbentuknya Ombudsman secara universal, berawal dari Raja Charles dari Swedia mengungsi ke Turki yang kemudian mempelajari konsep Qudhi al Qudhaat. Setibanya kembali ke negaranya, Raja Charles XII membentuk Ombudsman tahun 1809 yang bertugas menerima keluhan warga negaranya terkait kerja perangkat kerajaan.
Kata Ombudsman, berasal dari bahasa Skandinavia kuno, yang bermakna perwakilan, proxy, wali amanat. Raja Charles XII mengirimkan perwakilan dari kerajaan untuk mendengarkan keluhan warganya yang kemudian menjadi masukan perbaikan pemerintahan agar kebutuhan dan kepentingan rakyatnya terpenuhi secara baik sekaligus mengawasi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan bawahannya.
Tugas dan fungsi Ombudsman dalam perspektif Islam
Pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman pada dasarnya selaras dengan pengawasan yang disebut dalam fiqih siyasah "al bi al ma'ruf wa al nahy munkar" yaitu mengimbau kepada yang makruf (kebaikan) dan mencegah kepada yang mungkar (keburukan). Lembaga yang mengawasi terkait kemaslahatan umat disebut lembaga Wilayat Hisbah. Secara definisi, hisbah sebagai "memerintahkan hal-hal yang baik (makruf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan". Petugas hisbah disebut muhtasib yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan (Sari, 2018).
Dalam menjalankan tugas dalam kerangka lembaga Wilayah Hisbah, Ombudsman memiliki tugas menerima pengaduan masyarakat terkait dugaan malaadministrasi pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik dalam rangka meningkatkan dan memperbaiki kualitas penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, Ombudsman juga dapat memberikan saran kepada penyelenggara pelayanan publik dalam rangka pencegahan malaadministrasi melalui kajian cepat dan kajian sistemik. Perlu digarisbawahi bahwa Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif dalam menjalankan tugasnya sehingga penyelenggara negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dapat menyelesaikan laporan atas dugaan malaadministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Karakteristik pelayanan publik menurut perspektif Islam
Jailani (2013) secara garis besar menjelaskan keterkaitan pelayanan publik berdasarkan perspektif Islam dilihat dari dua pendekatan, yaitu teleologi dan deontologi. Secara teleologi beranjak dari pemahaman suatu tindakan atau keputusan dilihat dari baik atau buruknya kemanfaatan yang dihasilkan. Dalam hal ini pelayanan publik mesti diukur dari implementasi pemenuhan komponen standar pelayanan publik dan perilaku pelaksana pelayanan publik dalam menjalankan tugasnya.
Tidak hanya sampai di situ saja pelayanan publik juga mesti memperhatikan kebutuhan warga negara juga terpenuhi dan berkualitas, tidak sekadar menunaikan tugasnya berdasarkan standar operasional prosedur semata. Oleh karena itu, untuk mengukur dan menilai suatu tindakan dan keputusan yang mengarah malaadministrasi, maka diperlukan lembaga yang mengawasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik.
Adapun secara deontologi berdasarkan pada prinsip-prinsip moral yang ditegakkan sebagai kebenaran dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan atau tindakan yang telah dilakukan. Pendekatan ini berdasarkan pada nilai moral yang mengikat.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, terdapat dua asas yang menjadi pedoman penyelenggara pelayanan publik dalam menjalankan tugasnya, yaitu Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik UU 30 Tahun 2014 dan Asas-asas Pelayanan Publik UU 25 Tahun 2009. Dua asas ini menjadi pedoman dasar bagi Ombudsman RI untuk menganalisis suatu laporan masyarakat apakah terdapat dugaan malaadmnistrasi atau tidak.
Pada dua pendekatan ini pada intinya menekankan dalam penyelenggaraan pelayanan publik mesti memperhatikan norma-norma peraturan dan moral sebagai landasan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pelayanan publik. Seorang pelayan publik (public service) senantiasa menjalankan tugasnya untuk menjaga tata tertib administrasi untuk menghindari tindakan malaadmistrasi dalam memberikan pelayanan, serta menyusun dan menetapkan keputusan atau tindakan dalam yang sesuai harapan dan kebutuhan warga negara secara arif dan bijaksana. (*)
