Breaking News

Berita Pangkalpinang

Januari-Juli 2022, Ada 40 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Pangkalpinang

Kasus kekerasan anak dan perempuan di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2022 mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya.

Penulis: Cepi Marlianto | Editor: nurhayati
Dok/Bangkapos.com
ilustrasi kekerasan terhadap anak 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Kasus kekerasan anak dan perempuan di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2022 mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya.

Sepanjang semester pertama, Januari-Juli 2022 kasus yang dilaporkan mencapai 40 kasus.

Jumlah tersebut sama seperti yang terjadi sepanjang Januari-Desember tahun 2021 lalu.

Sekretaris Daerah Kota Pangkalpinang, Radmida Dawam mengatakan, 40 kasus tersebut berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami perempuan dan anak, penganiayaan (dialami perempuan dan anak), pelecehan seksual, serta pencabulan.

“Januari sampai dengan bulan Juli ini terjadi 40 orang menjadi korban kekerasan,” kata dia kepada Bangkapos.com, Jumat (26/8/2022).

Baca juga: Sekelompok Pelajar Siswi dan SMA di Pangkalpinang Terlibat Kasus Prostitusi Online, Ini Kata Pemkot

Baca juga: Pemkot Pangkalpinang Tak Legalkan Praktik Prostitusi, Teluk Bayur dan Parit Enam Ilegal

Radmida mengungkapkan, dari 40 kasus tersebut 17 kasus di antaranya dialami oleh perempuan dan 23 kasus lainnya dialami oleh anak-anak.

Banyaknya kasus itu lantaran seiring semakin sadarnya masyarakat untuk melaporkan kasus tersebut ke dinas terkait.

Kesadaran itu, kata dia diantaranya didorong dengan adanya banyak pemberitaan di media mengenai kekerasan pada anak dan perempuan.

Akhirnya mereka berani mengadukan kasus apapun kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan. Dimana kekerasan dapat terjadi secara fisik maupun secara psikis, kekerasan seksual dan keterlantaran.

“Jadi ditelantarkan itu sesuatu kekerasan. Itu salah satu yang terjadi jadi angka ini membuat kita miris, kita perlu perhatikan,” terang Radmida.

Lebih jauh menurutnya, ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan baik kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pertama yakni diera globalisasi dan digitalisasi seperti saat ini yang berdampak sangat tinggi. Kemudian faktor ekonomi dan pendidikan.

Karena ekonomi ini menyebabkan sejumlah orang nekat melakukan tindakan kekerasan. Bahkan sejumlah orangtua sampai melakukan eksploitasi kepada anak-anak mereka untuk bekerja, mulai dari penjual tisu hingga kerupuk di persimpangan lampu merah.

Dimana pelaku eksploitasi dapat dijerat dengan Undang-Undang terhadap perempuan, perlindungan anak. Apabila menjadikan anak untuk eksploitasi di bidang ekonomi.

“Hal inilah yang harus kita berikan pemahaman, tidak hanya kepada masyarakat, tokoh agama, orangtua. Terutama bagaimana melindungi dan juga mengawasi anak-anak baik di dalam rumah tangga maupun anak-anak yang ada di masyarakat,” urainya.

Di sisi lain ada banyak dampak buruk yang ditimbulkan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Terutama dampak psikis, menimbulkan rasa traumanya luar biasa.

Sumber: bangkapos.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved