Bangka Pos Hari Ini

KPSI Tolak Perppu Cipta Kerja , Perppu Ciptaker Rampas Uang Pesangon

Di Perppu ini, jumlah pesangon justru menjadi lebih kecil dari aturan sebelumnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Editor: nurhayati
Dok/Bangka Pos
Halaman Harian Pagi Bangka Pos 

BANGKAPOS.COM -- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani
Nena Wea menuding isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun2022 tentang Cipta Kerja sangat berbeda jauh dari draft usulan yang dibuat bersama federasi buruh.

Menurutnya, Perppu itu perlu didukung, namun tidak dengan isinya yang merugikan pekerja.

Salah satunya, Perppu Cipta Kerja mengatur pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Di Perppu ini, jumlah pesangon justru menjadi lebih kecil dari aturan sebelumnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Selama hampir empat bulan ini kami sudah menyampaikan formula pengupahan. Pada saat perjalanannya di minggu pertama Januari harusnya kami bertemu. Ternyata Perppu yang dikeluarkan berbeda 99 persen dengan draft yang telah diserahkan ke pemerintah,”
ucap Andi Gani di Kantor DPP KSPSI, Jakarta, Selasa (3/1/2023).

Andi Gani mengaku bingung siapa yang mengubah isi dari draft sehingga isinya sangat berbeda dari harapan buruh.

Kata dia, bukan hanya federasi buruh saja yang tidak tahu menahu, tetapi juga kalangan pengusaha.

“Kami menyikapi yang pertama mulai tadi malam saya melakukan komunikasi singkat ini dengan beberapa pihak Kemnaker dan benar mereka tidak tahu isi Perppu itu,” ungkapnya.

Andi Gani mengatakan ada beberapa poin penting dalam Perppu yang baru saja diterbitkan di pengujung tahun 2022 itu.

Di antaranya soal penetapan upah minimum yang ada di dalam Pasal 88 bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.

Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota.

“Kata ‘dapat’ ini bisa menimbulkan celah, di mana gubernur bisa saja tidak menetapkan kenaikan upah minimum,” urai Andi Gani.

Selain itu, formula kenaikan upah yang tercantum pada Pasal 88D Perppu Cipta Kerja disebutkan variabel perhitungan upah berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indikator tertentu.

“Sementara tidak ada penjelasan tertentu seperti siapa pihak yang menetapkan indikator tersebut maupun dasar kajiannya,” ungkap Andi Gani lagi.

KSPSI juga mengkritisi Pasal 64 sampai Pasal 66 soal pekerja alih daya atau outsourcing. Dalam Perppu itu tidak ada dijelaskan secara detail jenis pekerjaan apa saja yang boleh dilakukan oleh pekerja alih daya atau outsourcing.

“Kami meminta pemerintah agar mengembalikan aturan pekerja alih daya ke UU Ketenagakerjaan yang membatasi lima jenis pekerjaan yakni sopir, petugas kebersihan, security, catering, dan jasa migas pertambangan,” ucap Andi
Gani.

Cuti Panjang

Hal lain yang menjadi sorotan KSPSI yakni penghapusan cuti panjang bagi pekerja dan besaran pesangon di Perppu Cipta Kerja tidak ada bedanya dengan UU Ciptaker.

“Ini berdampak kepada pekerja yang tidak bisa melakukan perundingan atas pesangon yang biasanya diterima dua atau tiga kali lebih besar dari ketentuan sesuai dengan kemampuan perusahaan,” imbuh Pimpinan Konfederasi Buruh ASEAN (ATUC) ini.

Andi Gani meragukan persoalan Perppu Cipta Kerja ini bisa segera selesai mengingat sudah memasuki tahun politik di mana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sibuk mempersiapkan masa kampanye.

Untuk itu, KSPSI sebagai federasi besar di Indonesia mengupayakan untuk bertemu Presiden Joko Widodo untuk bisa memperlihatkan draft yang berbeda dari usulan. Pihaknya berharap perumusan aturan turunan Perppu tersebut agar melibatkan seluruh stakeholder termasuk
serikat pekerja/buruh.

“Federasi buruh akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika protes Perppu Ciptaker tidak didengar,” tutur Andi Gani.

Soal aksi massa turun ke jalan, KSPSI masih menunggu bagaimana sikap pemerintah atas suara penolakan yang dilakukan kaum buruh.

Andi Gani juga meyakini Presiden Jokowi tidak mengetahui isi dari Perppu Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sudah ditandatanganinya.

“Mungkin Pak Presiden hanya dikasih tahu poinpoin besarnya tetap tidak tahu apa saja isinya,” pungkas dia.

Mengatur Pesangon

Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Pimpinan Andi Gani Nena Wea, Hermanto Ahmad menuturkan Perppu Cipta Kerja juga mengatur pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Hermanto menilai jumlah pesangon justru menjadi lebih kecil dari aturan sebelumnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu sebanyak 32,2 kali.

Dalam beleid anyar, pemberian pesangon menjadi 19 kali ditanggung pengusaha dan 6
kali menjadi tanggungan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan.

“Di UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 96 itu mengatakan bahwa kalau pensiun meninggal dunia dan lain sebagainya mendapat gaji 32,2 kali, dengan UU yang baru itu maksimal cuma 19 karena dia tidak menyebabkan perkaliannya,” ucap Hermanto.

Dia mengatakan bahwa disebutkan di Perppu itu akan diatur untuk pertemuan pemerintah. “Nah kita khawatir pertemuan pemerintah itu tidak akan sama dengan apa yang tertulis di
draft. Tetapi kalau sudah jelas misalnya 20 bulan 28 bulan 24 kai perubahannya mungkin akan jauh lebih kecil daripada yang ada sekarang jadi perubahanperubahan ini sangat sulit,”
kata Hermanto.

Hermanto menegaskan bagi pekerja sudah masa kerjanya lama dan lain sebagainya kemudian meninggal dunia di aturan lama bisa mendapat pesangon.

Mempercepat Perbaikan

Sementara itu, pemerintah mengaku memilih melakukan perbaikan melalui Perppu ketimbang
melakukan revisi undangundang.

Menteri Koordinator Bidang Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah memutuskan
mempercepat perbaikan UU Cipta Kerja dengan Perppu karena isi materinya tidak ada unsur-unsur koruptif.

“Jadi saudara undang-undang Ciptaker itu kami percepat karena itu sebenarnya tidak ada unsurunsur koruptifnya,” kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa,
(3/1/2023).

Mahfud mengatakan UU Cipta Kerja dibuat untuk kepentingan investasi dan
mempermudah pekerja.

Dalam proses perbaikan UU Cipta Kerja, pemerintah telah berdiskusi dengan berbagai elemen.

“(UU) itu semuanya ingin melayani kecepatan investasi. siapa coba? justru ingin mempermudah pekerja. Malah dalam proses perbaikan itu kita sudah diskusi apa yang diinginkan, masukkan semua sehingga nanti di Perppu sudah dibahas semuanya,”
kata Mahfud.

Mahfud mengatakan kritik terhadap UU Cipta Kerja sebagian datang dari akademisi.

Ia mengapresiasi hal tersebut karena dalam negara demokrasi kritik itu wajar dan bagus. Hanya saja menurut Mahfud, apabila pemerintah menjawab kritik tersebut maka jangan
dicap sewenang-wenang.

“Apakah Perppu apakah undang-undang pasti dikritik. itu sudah biasa dan itu bagus. ini demokrasi yang maju tapi kita juga kalau pemerintah menjawab itu bukan sewenang-wenang. Jadi, mari adu argumen,” pungkasnya.

(Tribun Network/Reynas Abdila) work/Reynas Abdila)

Pemerintah Terkesan Ambil Jalan Pintas

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UndangUndang Cipta Kerja.

Perppu itu diterbitkan untuk menggantikan Undang-undang Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) diperintahkan untuk diperbaiki selama kurun waktu dua tahun

Pengamat Kebijakan Publik, Yoseph Billie Dosiwoda menyoroti prosedur penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja itu.

Menurutnya, dengan menerbitkan Perppu itu pemerintah terkesan mengambil jalan pintas yang tidak etis bagi jalannya demokrasi.

“Perppu Cipta Kerja ini mengabaikan asas demokrasi deliberatif karena tidak dibahas bersama DPR,” ucap Yoseph Billie saat dikonfirmasi, Selasa (3/1/2023).

Yoseph menilai pemerintah mengabaikan ruang partisipasi publik yang lebih luas, di
mana publik semestinya bisa dilibatkan mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja apabila mengikuti proses revisi di DPR sebagai lembaga representasi rakyat.

“Lalu pemerintah juga telah mengabaikan keputusan MK, di mana yang sebelumnya telah berpendapat menghormati dan akan mengikuti keputusan MK soal revisi Undang-undang
Cipta Kerja bukan mengingkari,” urainya.

Berdasarkan landasan aturan Pasal 22 UUD 1945 ayat 1 yaitu; “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Karena UU Cipta Kerja ini menyangkut kepentingan yang lebih luas bagi kegiatan
ekonomi baik sektor pekerja atau buruh dan pengusaha.

Namun kalau dilihat dari putusan MK Nomor 91/PUUXVIII/2020 sejak putusan
tersebut diucapkan yaitu tanggal 25 November 2021 adalah “Makna inkonstitusional bersyarat dalam Putusan MK tersebut adalah dalam 2 tahun, apabila UU Cipta Kerja tidak diubah
sesuai dengan Putusan MK tersebut, maka secara hukum UU Cipta Kerja menjadi
inkonstitusional secara permanen (tidak berlaku)”.

“Jadi Pemerintah diberikan ruang kesempatan dalam putusan MK untuk memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sampai 25 November 2023 bukan amanah
menerbitkan Perppu yang justru keadaan saat ini tidak ihwal kegentingan memaksa
atau terjadi kekosongan hukum atau istilah lain keadaan genting sesuai dengan
Konstitusi pasal 22 UUD 1945,” imbuh Direktur Eksekutif CREED ini.

(Tribun Network/Reynas Abdila)

Merugikan Pekerja

  • KSPSI menolak isi Perppu No.2 Tahun 2022
  • Berbeda jauh dari draft usulan yang dibuat bersama
  • Sejumlah isinya dinilai sangat merugikan pekerja
    KSPSI tunggu sikap pemerintah
  • Pemerintah tidak merevisi tapi lakukan perbaikan

Poin-Poin Penolakan

  • Jumlah pesangon menjadi lebih kecil dari aturan sebelumnya yaitu sebanyak 32,2 kali menjadi 19 kali ditanggung pengusaha dan 6 kali menjadi tanggungan program
    Jaminan Kehilangan Pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan
  • Penetapan upah minimum dalam Pasal 88 bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
  • Formula kenaikan upah pada Pasal 88D disebutkan variabel perhitungan upah berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indikator tertentu. Tidak ada penjelasan tertentu seperti siapa pihak yang menetapkan indikator tersebut maupun dasar kajian.
  • Pasal 64 sampai Pasal 66 soal outsourcing. Tidak dijelaskan secara detail jenis pekerjaan
    yang boleh dilakukan oleh pekerja alih daya atau outsourcing.
  • Penghapusan cuti panjang bagi pekerja dan besaran pesangon di Perppu Cipta Kerja tidak ada bedanya dengan UU Ciptaker.
Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved