Tribunners

Positioning Politik dan Segmentasi Pemilih dalam Ruang Kepemiluan

Segmentasi pemilih menjadi satu syarat utama yang harus dilakukan oleh para organisasi politik maupun para aktor politik yang akan bertarung

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Ariandi A Zulkarnain, S.I.P., M.Si. - Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Ariandi A Zulkarnain, S.I.P., M.Si. - Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung

MEMBICARAKAN ruang kepemiluan maka tidak akan luput dengan percakapan membahas kompleksitas publik, dengan dinamika dan perkembangan yang terjadi maka memahami interaksi antarelemen di masyarakat menjadi satu hal yang cukup penting untuk diperhatikan baik oleh partai politik maupun para calon eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, para calon yang akan bertarung pada pemilu mendatang sudah bisa mulai memetakan produk politik apa yang akan ditanamkan dalam benak para pemilih.

Politik hari ini masih jauh dari orientasi terhadap kebutuhan publik sehingga suasana pemilu harus masuk ke dalam benak pemilih dengan persaingan yang mengarah pada semua dan memiliki kecenderungan politik yang pragmatis dan transaksional. Persaingan politik menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam sebuah alam demokrasi sehingga menuntut siapa pun yang akan bertarung harus lebih kreatif dan membawa inovasi dalam mencapai kemajuan. Ruang pemilu yang kompleks seharusnya melembagakan segmentasi pemilih menjadi programatik dan penuh dengan kebaruan.

Situasi politik hari ini justru membutuhkan sebuah konsep yang disebut sebagai konsep kelangkaan (scarcity) sehingga publik dengan sangat mudah dapat mencari dan menemukan pembeda antara satu pihak dengan pihak yang lain baik dalam branding maupun produk politik yang dibawa. Untuk menghadirkan pembeda tersebut maka para peserta pemilu, baik politisi maupun partai politik, harus menentukan positioning politiknya sehingga mampu menempatkan produk politiknya sebagai tawaran perubahan dan perbaikan dari kebutuhan yang publik inginkan. Maka program politik yang dibawa dalam ruang pemilu harus menempatkan rakyat atau publik sebagai sebuah subjek, tidak lagi objek politik sebab antara keinginan masyarakat dan public-policy harus terjadi arus dua arah.

Positioning Politik

Positioning adalah sebuah mantra yang penting bagi orang-orang pemasaran di abad ke-20 (Rhenald Kasali, 1999). Menurut definisi dalam political marketing bahwa positioning adalah tindakan yang lakukan untuk menanamkan citra tertentu ke dalam benak para pemilih agar tawaran terhadap produk politik yang dibawa oleh kontestan memiliki posisi yang jelas, khas dan meaningful. Positioning politik yang baik akan membuat pembeda dan memiliki keunggulan dibanding kontestan yang lain baik partai politik maupun para kandidat.

Tentu untuk menemukan pembeda tersebut ada beberapa syarat yang menjadi pembeda berharga sehingga setiap kontestan dapat ditandai dengan mudah oleh publik terkait produk yang ditawarkan. (Arman Nursal, 2004):

* Penting (important). Perbedaan yang dibawa dalam ruang pemilu harus bernilai penting bagi para konstituen politik yang menjadi target.
* Istimewa (distinctive). Setiap pesaing politik membangun narasi bahwa produk yang dibawa selalu memiliki keistimewaan, namun tidak dapat dirasakan oleh seluruh segmentasi voters sehingga keistimewaan yang dibawa harus memiliki keistimewaan yang jelas.
* Superior. Setiap produk politik harus mampu mendominasi kebermanfaat dalam produk politik yang lain.
* Dapat dikomunikasikan (communicable). Yang tidak kalah penting produk politik yang ditentukan dalam mencapai targeting dan positioning politik harus mudah dipahami dan dikomunikasikan baik kepada konstituen maupun media.
* Preemptive, perbedaan dalam produk politik yang dibawa memiliki perbedaan yang tidak mudah ditiru oleh pihak lain.
* Jumlah pemilih signifikan, dari semua produk yang disampaikan kepada voters pada akhirnya harus mampu mendapatkan suara yang signifikan.

Maka kreativitas dalam ruang kampanye dan marketing politik harus diawali dengan narasi positioning politik yang jelas sehingga kemudian targeting dan makna yang ingin disampaikan dalam produk politik sampai kepada voters. Positioning dapat dimulai dengan mendefinisikan nilai-nilai inti (core values defining). Nilai-nilai inti dikembangkan dari identitas dan segmentasi voters seperti identitas kelas, agama, etnis, atau kelompok sosial lainnya.

Selain membangun positioning yang baru dalam benak pemilih upaya memperbarui dan menemukan kembali nilai-nilai yang lama dan disesuaikan dalam konteks dan menemukan nilai yang baru tentu juga memiliki arti yang penting bagi para pemilih. Dalam literatur politik, positioning juga dapat dimaknai menyatukan hal-hal yang banyak dan memperbanyak yang satu.

Menurut Rhenald Kasali (1996), positioning adalah upaya mencari jendela di otak para pemilih. Positioning berhubungan dengan bagaimana para pemilih menempatkan tawaran politik dalam otaknya, khayalannya, sehingga calon pemilih memiliki penilaian tertentu dan mengidentifikasi dirinya dengan produk politik yang dibawa oleh para kontestan.

Politik harus menjadi ajang persaingan ide dan gagasan dalam ruang pembangunan meskipun setiap ide dan gagasan akan berujung pada percakapan tentang kekuasaan. Pemilu 2024 yang sudah menuju masa-masa sibuk akan diisi dengan narasi-narasi politik yang menjadi sajian di dalamnya. Tantangan terhadap ruang pemilu hari ini justru berjalan dua arah baik dari peserta pemilu maupun pemilih pemilu itu sendiri, politik menjadi ruang semu ketika pemilu justru teralienasi dari percakapan tawaran pembangunan.

Politik dijalankan dalam kasta lebih rendah dengan mengedepankan politik uang dan transaksional meskipun tidak menyeluruh dilakukan oleh semua pihak. Dengan keterasingan itu pemilu justru terputus dari kemajuan dan pembangunan. Padahal dalam iklim demokrasi, pemilu justru harus muncul sebagai sarana menuju negara yang paripurna bagi semua masyarakat, dan dapat berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Segmentasi Pemilih

Segmentasi pemilih menjadi satu syarat utama yang harus dilakukan oleh para organisasi politik maupun para aktor politik yang akan bertarung dalam kepemiluan guna mengidentifikasi dan memetakan karakteristik para pemilih atau konstituen politik. Pemetaan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek geografis, demografis, dan keberpihakan pemilih. Pemetaan ini menjadi penting mengingat dalam politik representatif kebutuhan munculnya representasi voters mencerminkan karakteristik produk politik dan program yang dibawa apakah sangat ideologis atau bahkan sangat sosiologis pada kebutuhan masyarakat atau konstituen politiknya.

Dengan mengidentifikasi segmen pemilih dalam aspek geografis, institusi politik dan kandidat dapat menemukan konsentrasi penduduk di suatu wilayah, penyebarannya, dan kondisi geografisnya. Kemudian dalam aspek demografis dapat mengelompokkan pemilih ke dalam tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, kelas sosial, literasi politik, agama, dan etnis. Adapun memahami keberpihakan pemilih dilihat ke dalam pendukung tradisional, pendukung partai, jumlah massa mengambang (floating mass), dan bisa juga pada persentase golput.

Setiap kandidat baik partai politik maupun para calon dituntut untuk memahami segmentasi pemilih dengan baik, sebab tidak semua segmen pemilih akan mampu diakomodasi mengingat heterogenitas yang kompleks di masyarakat sehingga butuh fokus untuk menemukan konstituen yang potensial menghasilkan suara dan produk politik akan relevan bagi konstituen tersebut. Kemudian perlu disadari bahwa sumber daya politik baik partai maupun kandidat memiliki keterbatasan. Dengan menyadari hal tersebut maka pemilu sebaiknya dijalankan dengan prioritas terhadap ketersediaan sumber daya yang ada.

Selain itu, dengan memahami karakteristik pemilih yang tersegmentasi maka akan memudahkan menemukan pembeda produk politik yang dibawa oleh para pesaing. Hal ini yang kemudian membuat pemilih dengan mudah mengidentifikasi produk politik menjadi dukungan atau suara.

Secara sederhana dalam ruang politik dasar segmentasi pemilih dapat dipahami dalam beberapa hal yakni geografi (masyarakat disegmentasi berdasarkan geografis dan kerapatan populasi), demografi (konstituen politik dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan kelas sosial), psikografi (melihat kebiasaan pemilih, lifestyle, dan perilaku terhadap isu politik).

Selanjutnya, perilaku (behaviour) (dalam hal ini pemilih dilihat dari pengambilan keputusan, intensitas ketertarikan dan keterlibatan isu politik), sosial budaya (pengelompokan dilakukan untuk melihat karakter sosial dan budaya seperti suku, etnik, dan ritual), dan sebab akibat (melihat pengelompokan pemilih dari perspektif pemilih terhadap isu isu politik tertentu).

Dengan memahami beberapa segmentasi tersebut diharapkan ruang pemilu 2024 dapat menjadi ruang representasi politik bagi pada pemilih untuk lebih dominan memberikan pengaruh ketimbang mendapat pengaruh dalam tawaran politik yang dijalankan. Politik yang berorientasi publik sejatinya harus menjadi arena pertarungan produk politik yang memiliki signifikasi terhadap penyelesaian persoalan pembangunan di masyarakat. Namun, pada kenyataannya ini justru menjauh dari tujuan itu, maka sudah waktunya pesta demokrasi harus diwarnai dengan partisipasi dua arah, yakni dari para kandidat maupun pemilih itu sendiri sebab jika keduanya berjalan dengan baik maka politik akan memberikan harapan perbaikan dan memberikan dampak terhadap pembangunan bangsa ke depan. (*)

Sumber: bangkapos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved