Tribunners

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah?

Menurut penulis banyak remaja di Bangka Belitung justru lebih tertarik menyelami dan menjadi aktor yang aktif di sektor TI dan perkebunan sawit

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Herza Zul - Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Herza Zul - Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung

TANGGAL 2 Mei lalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pada momentum Hari Pendidikan Nasional tahun ini, penulis sebagai salah satu insan intelektual yang saat ini sebagian besar waktunya dihabiskan dengan urusan dunia kampus, merasa tergugah untuk menyampaikan hasil refleksi berkenaan dengan rendahnya angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), faktanya sudah beberapa tahun belakangan ini, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tercatat sebagai provinsi dengan APK perguruan tinggi terendah se-Indonesia (lihat saja di website bps.go.id).

Dalam tiga tahun terakhir ini saja, persentase APK perguruan tinggi pada provinsi yang kita cintai ini tidak bisa menyentuh angka 20 persen, sedangkan provinsi lainnya di Indonesia berada di angka lebih dari 20 persen. Artinya, dalam hal in, hanya sebagian kecil saja remaja lulus SMA/MA/SMK sederajat yang melanjutkan pendidikannya ke level perguruan tinggi, baik di kampus dalam daerah, luar daerah, atau luar negeri. Adapun angka pasti APK perguruan tinggi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam tiga tahun terakhir ini adalah 14,73 (2020), 15,23 (2021), dan 14,85 (2022) (bps.go,id, 2022).

Angka partisipasi kasar perguruan tinggi yang rendah ini menjadi penanda adanya problem yang serius berkenaan dengan remaja lulusan SMA/MA/SMK sederajat dan dunia pendidikan tinggi atau kampus. Pertanyaan yang patut kita refleksikan bersama adalah mengapa hanya sebagian kecil saja generasi muda dan penerus bangsa di Babel yang bisa merasakan dinamika perkuliahan? Sementara itu di daerah lainnya di Indonesia, seperti Kepulauan Riau APK perguruan tingginya bisa mencapai di atas 26 persen, Aceh mencapai 40 persen lebih, bahkan di Yogyakarta konsisten bisa mencapai angka di atas 70 persen. Sepintas, dari perbandingan ini, kita bisa mengatakan, berarti ada persoalan lokalitas khas Bangka Belitung yang turut berkontribusi menyebabkan persoalan ini terjadi.

Bukan Faktor Ketidakmampuan Ekonomi Orang Tua

Beberapa pemerhati/pengamat dengan mudah mengatakan bahwa faktor prinsipiel yang menyebabkan persoalan ini berulang terjadi di provinsi dengan semboyan "Serumpun Sebalai" ini adalah faktor ketidakmampuan ekonomi orang tua para siswa lulusan SMA/MA/SMK sederajat. Benarkan demikian?

Menurut penulis, persoalan ekonomi ini tidak bisa dianggap sebagai faktor utama yang berkontribusi menyebabkan munculnya masalah APK perguruan tinggi di Bangka Belitung menjadi rendah. Memang, dalam beberapa kasus, realitas yang tampak seperti menunjukkan bahwa siswa lulusan SMA/MA/SMK sederajat menjadi tidak kuliah itu karena ketidakmampuan orang tua mereka secara ekonomi untuk membiayainya (membayar uang kuliah tunggal/UKT dan biaya hidup selama kuliah).

Namun demikian, kita tidak boleh mengabaikan fakta yang menunjukkan tidak sedikit juga remaja yang berasal dari keluarga mampu secara ekonomi, tetapi mereka memilih untuk tidak melanjutkan kuliah. Bayangkan, orang tuanya punya kebun sawit berhektare-hektare atau punya usaha/bisnis yang menjanjikan, tempat tinggal yang jauh dari kata sederhana, lalu punya banyak kendaraan bermotor, dan bahkan mobil terparkir di halaman rumahnya, namun anak dari orang tua tersebut tidak kuliah. Realitas ini tidak sedikit lo terjadi di Bangka Belitung. Kalau tidak percaya, datang saja secara langsung ke kampung-kampung. Belum lagi kalau kita buka data statistik, rasa-rasanya Bangka Belitung bukanlah provinsi dengan persentase penduduk miskin terbanyak di Indonesia.

Artinya, dengan argumentasi di atas, pendapat yang mengatakan faktor ekonomi sebagai penyebab utama atau prinsipiel dari persoalan rendahnya APK perguruan tinggi di provinsi ini menjadi tidak kuat. Kalaupun misalnya dianggap faktor ekonomi, kita jangan mengabaikan bahwa pemerintah sudah cukup mengakomodasi kondisi ini dengan skema beasiswa atau bantuan pendidikan. Di level nasional ada bantuan biaya pendidikan atau beasiswa bagi anak kurang mampu yang berprestasi- dikenal dengan beasiswa KIP-K (dahulu disebut bidikmisi). Di level daerah, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga terus melanjutkan skema bantuan pendidikan untuk calon mahasiswa yang berprestasi baik di bidang akademik maupun nonakademik (khususnya bagi calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi), serta bagi calon mahasiswa penyandang disabilitas. Beasiswa ini memberikan kuota lebih banyak untuk mereka yang mau kuliah di kampus yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (babelprov.go.id, 2023).

Persoalan Lokalitas di Bangka Belitung

Hemat penulis, ada persoalan fundamental lain yang bisa dikatakan berkontribusi menyebabkan persoalan rendahnya APK perguruan tinggi di Bangka Belitung. Persoalan ini berkenaan dengan kondisi lokalitas di provinsi ini. Kalau dinarasikan kurang lebih begini.

Bukan rahasia umum jika di Bangka Belitung banyak remaja, khususnya mereka yang hidup di desa-desa, telah terjun ke dunia kerja di sektor tambang inkonvensional (TI) maupun ikut berkebun kelapa sawit dan/atau menjadi karyawan di perkebunan sawit milik perusahaan-perusahaan besar. Bangka Belitung saat ini memang dipenuhi dengan aktivitas TI dan perkebunan kelapa sawit. Daya tarik dua sektor ini memang tak bisa dinafikan mampu membuat para remaja untuk terjun dan terlibat di dalamnya.

Bukan semata-mata jika tidak terlibat aktivitas TI, pun berkebun sawit, mereka tak bisa makan atau bersekolah. Tidak begitu. Melainkan kedua sektor ini, menarik dalam banyak hal daripada berkuliah di kampus dengan berbagai macam dinamikanya. Kenapa kampus menjadi kalah daya tariknya? Bagi penulis ini berhubungan dengan beberapa hal.

Pertama, para guru di SMA/SMK/MA sederajat, barangkali belum begitu berhasil memberikan ilustrasi atau gambaran bagaimana perubahan yang bisa dibuat oleh aktor kampus (dosen-dosen) dan sistem pendidikan tinggi yang ada saat ini untuk masa depan anak-anak bangsa. Bagaimanapun sumber informasi tepercaya dan bisa memengaruhi mindset/cara pikir calon mahasiswa adalah para guru yang kerap berinteraksi dengan mereka.

Kedua, faktanya banyak sarjana dan lulusan diploma yang ada di tengah masyarakat kita saat ini kurang mampu menginspirasi para remaja untuk termotivasi dan semangat kuliah, lalu menjadi sarjana atau lulusan diploma juga. Bisa karena, mereka kurang kreatif (meski sudah ditempa sekian tahun di kampus), bisa karena sulitnya mereka mendapatkan pekerjaan, pun bisa karena para remaja kerap mendengar curhatan para sarjana atau lulusan diploma yang menunjukkan bagaimana dinamika di dunia kampus telah memperlihatkan sisi-sisi yang tidak relate dengan kebutuhan masyarakat, serta sistem dan aturan main kampus yang bisa membuat mahasiswa depresi.

Sumber: bangkapos
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved