Berita Bangka Selatan

Pola Asuh Jadi Penyebab Tingginya Prevalensi Stunting di Bangka Selatan

Penyebab terjadinya stunting didominasi akibat pola asuh yang buruk. Menurutnya, pola asuh sangat penting dan berdampak terhadap stunting.

Penulis: Cepi Marlianto | Editor: khamelia
(Bangkapos.com/Cepi Marlianto)
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Bangka Selatan, dr Agus Pranawa. 

BANGKAPOS.COM, BANGKA – Intervensi penurunan prevalensi stunting bakal diupayakan oleh Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan. Pasalnya, prevalensi stunting berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 Bangka Selatan paling tertinggi se-Kepulauan Bangka Belitung. Dengan persentase sebesar 23 persen.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Bangka Selatan, dr Agus Pranawa berujar ada beberapa penyebab yang membuat prevalensi stunting di daerah itu meningkat.

Penyebab terjadinya stunting didominasi akibat pola asuh yang buruk. Menurutnya, pola asuh sangat penting dan berdampak terhadap stunting.

“Ada beberapa hal yang menjadi penyebab salah satunya adalah pola asuh,” kata dia kepada Bangkapos.com, Rabu (7/6/2023).

Agus mengatakan, berdasarkan penemuan di lapangan di beberapa daerah lokus stunting di Bangka Selatan, ada kelompok keluarga yang secara finansial cukup. Namun tidak memberikan pola asuh yang baik. Sehingga sumber daya yang mereka miliki tidak bisa meningkatkan status gizi anak yang kemudian menyebabkan stunting.

Pola asuh yang buruk ini juga dipengaruhi oleh letak geografis, seperti daerah-daerah terpencil. Akibatnya banyak warga yang belum mendapatkan informasi dan edukasi mengenai pola asuh.

Sehingga masyarakat merasa tidak ada masalah dengan anaknya. Baik anaknya kurus atau tidak sesuai tinggi badan di usianya itu dianggap biasa atau karena keturunan.

“Selain pola asuh juga dipengaruhi oleh pola makan,  serta sanitasi dan akses air bersih,” jelas Agus.

Lebih lanjut, stunting adalah permasalahan yang kompleks. Selain faktor kesehatan, banyak faktor non-kesehatan yang menyebabkan tingginya kasus stunting di daerah. Seperti tingkat ekonomi rendah dan ketersediaan bahan pangan. Untuk menangani stunting ini, perlunya melakukan identifikasi dan menganalisis masalah di sektor masing-masing.

Sekaligus membuat rencana serta melaksanakan tindak lanjut untuk mengatasi permasalahan yang ada. Serta meningkatkan konvergensi dalam intervensi spesifik dan sensitif melalui delapan aksi percepatan penurunan stunting. Lalu memastikan bahwa setiap program yang mendukung indikator intervensi spesifik berjalan dengan baik.

“Intervensi kita sudah diskusi dengan Bu wakil bupati. Rencana ke depannya kita membuat inovasi. Nanti kita  akan turun ke lokus stunting ke lima desa. Bedengung, Malik, Irat, Rias dan Serdang,” ucapnya.

Kendati demikian kata Agus, bidang kesehatan terlibat dalam intervensi spesifik yang berkontribusi 30 persen dalam penanganan stunting. Pemberian ASI eksklusif juga perlu dioptimalkan. Karena masih ada ibu-ibu yang belum menyadari pentingnya untuk memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya hingga usia enam bulan.

ASI boleh dilanjutkan sampai usia dua tahun, namun berikan juga makanan pendamping ASI. Jangan lupa pantau tumbuh kembangnya dengan membawa buah hati ke Posyandu setiap bulan.

“Target kita prevalensi stunting dari 23 persen dapat turun menjadi 14 persen pada tahun 2024. Setidaknya sama dengan target nasional,” kata Agus. (Bangkapos.com/Cepi Marlianto)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved